Jakarta—Perusahaan minyak asing benar-benar menjadi raja di Indonesia. Bayangkan, sebanyak 74 persen dari lapak bisnis migas di hulu atau pengeboran dikuasai asing. Sementara perusahaan nasional hanya menguasai 22 persen dan sisanya konsorsium asing dan lokal.
Berbanding terbalik dengan kondisi untuk kegiatan hilir migas, sebanyak 98 persen dilakukan oleh perusahaan nasional. Hanya 2 persen yang dilakukan oleh perusahaan asing dikarenakan SPBU di Indonesia masih dikuasai asing.
Anggota Komisi VII DPR Dewi Aryani menegaskan, pemerintah harus segera mengamankan sumber energi dengan beberapa cara.
Pertama, menempatkan energi sebagai leading sektor dalam pembuatan kebijakan lainnya. Kedua, renegosiasi seluruh kontrak karya. Ketiga, penguatan kelembagaan di sektor migas. BP Migas diperan lebih kuat, operator minyak dan gas nasional di perkuat.
Keempat, revenue BUMN bidang Migas sebagian persentasenya untuk fokus pengembangan energi baru terbarukan. Kelima, fondasi seluruh pembuatan kebijakan energi harus konsisten menempatkan UUD 45 pasal 33 ayat 2 sebagai fokus pemahaman mendasar.
“Keseluruhan usulan di atas di tuangkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang hingga kini belum juga disahkan oleh Presiden selalu Ketua Dewan Energi Nasional (DEN). Pemerintah harus mampu melaksanakan itu semua, kalau tidak ya mundur saja,” cetusnya kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, pembahasan revisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas sedang dilaksanakan DPR. Beberapa pihak melontarkan pendapat bahwa UU No.22/2001 harus dirombak total karena bertentangan dengan UUD 1945.
“Ya memang harus dirombak, supaya berpihak kepada Indonesia dan bisa menguntungkan rakyat indonesia,” ujar Dewi.
Politisi PDIP ini menjelaskan, banyak pihak terutama sektor energi di Indonesia sampai saat ini masih dirundung ketidakjelasan orientasi pengelolaan. Pemerintah terkesan setengah-setengah menanam keseriusan untuk membawa sektor energi sebagai sektor yang seharusnya diprioritaskan.
Padahal, jika Pemerintah memahami bahwa energi memiliki interkonektivitas yang kompleks dengan berbagai sektor kehidupan yang lain, maka seharusnya niatan untuk mereposisi sektor energi sebagai leading sector tidak lagi setengah-setengah.
“Pada kenyataannya, sikap Pemerintah selama ini mengesampingkan kebijakan energi. Padahal, selangkaan energi disebabkan oleh salah tata kelola energi,” ujarnya.
Bagi pakar pemerintah Erman Rajagukguk, UU Migas tak bertentangan dengan UUD 1945. Yang penting dilakukan saat ini meneliti kembali kontrak kerja samanya, sehingga akan kelihatan apakah kontrak kerja sama tersebut menguntungkan Indonesia atau tidak. Namun, kalaupun kontrak kerja sama diketahui tidak benar, semisal karena masalah cost recovery, hal itu bisa dilakukan penyempurnaan.
“Undang-Undang Migas sudah baik. Yang perlu diteliti kontrak kerja samanya menguntungkan kita atau tidak. Kekhawatiran saya mengapa tidak negara yang turun tangan, bisa merugikan negara beserta asetnya. BP Migas lah yang berkontrak, bukan negara,” terang Erman.[rmol]
Belum ada komentar