30 Tahun Mengantre ke Tanah Suci

Melaksanakan Ibadah Haji (Foto Ist)
Melaksanakan Ibadah Haji (Foto Ist)

Tahun ini—seperti lebih dari seabad silam—Indonesia mengirimkan jemaah haji untuk menunaikan rukun kelima dalam Islam tersebut.

Inilah salah satu ritual penting umat Islam di dunia, untuk kembali kepada semangat pengorbanan. Sebanyak 1,8 juta orang berkumpul, memanjatkan doa, meski didera suhu 42 derajat celcius. Jumlah itu setara dengan penduduk Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Iduladha pada 10 Dzulhijjah dirayakan sehari setelah pelaksanaan puncak ibadah haji, Wukuf Arafah, yang ditunaikan oleh para jemaah di Arab Saudi. Pada saat mengalirnya darah hewan kurban, para jemaah haji bergerak ke daerah Mina untuk melakukan pelemparan terhadap “Jamrah Aqabah”. Di sini lekat dengan istilah Lebaran Haji.

Di dalam tenda misi haji Indonesia di Arafah, Wakil Rais Am PBNU, KH Miftahul Akhyar, mengingatkan para jemaah tentang sifat manusia yang sering lupa terhadap persamaan di antara mereka. Manusia sering tercerai-berai karena kekuatan, kekayaan, keluarga, tanah dan ras, seolah kehidupan mereka hanyalah sekadar eksistensi.

“Di padang Arafah ini semua bangsa dan kelompok bergabung lebur menjadi satu kaum, umat. Semua ke’aku’an telah mati di Miqat dan yang berkelanjutan adalah ‘kita’. Dan mereka semua secara serentak bermunajat menghadap sang Maha Kuasa Allah SWT. Akhirnya; satu adalah semua dan semua adalah satu. Setiap manusia adalah sama,” demikian KH Miftahul Akhyar, Minggu (11/9/2016).

Pada Minggu tersebut, muslim berpakaian ihram dari seluruh dunia berkumpul di Padang Arafah, yang berjarak sekitar 15km dari Mekkah. Pada momen ini, biasanya ulama besar Arab Saudi, Abdul Aziz al-Sheikh, menyampaikan khotbah. Namun kali ini ia absen setelah 35 tahun, karena kondisi kesehatan yang tak memungkinkan.

Tahun ini, 1437 Hijriyah atau 2016 Masehi—seperti lebih dari seabad silam—Indonesia mengirimkan jemaah untuk menunaikan rukun Islam kelima tersebut. Dari mulai ribuan, hingga ratusan ribu jemaah pada awal 1990-an. Dalam catatan Kementerian Agama (Kemenag), jemaah Indonesia sudah berangkat haji sejak 1880, pada era penjajahan.

Kuota yang diberikan pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia pada 2016 adalah 168.800 orang, dibagi dalam 155.200 jemaah haji reguler, dan 13.600 jemaah haji khusus. Jemaah haji reguler adalah jemaah haji yang dikelola pemerintah, sedangkan jemaah haji khusus yang diberangkatkan pihak swasta. Tentu saja atas izin dan pengawasan pemerintah, melalui Kemenag.

Sistem kuota haji ini disepakati dalam KTT OKI (saat masih bernama Organisasi Konferensi Islam) pada 1987. Perhitungannya, satu berbanding seribu, atau satu per mil dari penduduk muslim suatu negara, berhak mendapatkan kesempatan berhaji.

Kuota haji Indonesia untuk 2016 dan seluruh negara sama seperti tahun lalu, mengalami pengurangan sebesar 20 persen. Pasalnya, pemugaran besar-besaran di kompleks Masjidil Haram sejak 2013. Seharusnya kuota normal untuk Indonesia sebesar 211 ribu jemaah.

Cara menghitung kuota dengan azas proporsionalitas tersebut, menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, sudah tidak relevan lagi. Alasannya, ada sejumlah negara yang tidak maksimal menyerap kuotanya. Sementara ada negara lain yang antreannya panjang. Kuota yang ada, tak sebanding dengan animo masyarakat yang ingin berhaji.

Indonesia memang selalu mendapatkan kuota terbesar, namun masih terlalu kecil dibanding animonya. Saat ini saja, ada antrean lebih dari tiga juta calon jemaah haji dari seluruh penjuru nusantara. Dengan aturan kuota saat ini, calon haji dari Kalimantan Selatan, misalnya, harus mengantre hingga 29 tahun ke depan. Dari Nusa Tenggara Barat dan Aceh, bisa menunggu sampai 25 tahun lagi.

Panjangnya antrean ini, menyebabkan 177 calon jemaah haji Indonesia tertipu. Mereka menggunakan kuota haji Filipina, dengan janji bisa lebih cepat, aman dan legal. Para tersangka penipuan merekrut calon jemaah haji dan menerima pembayaran ibadah haji khusus tanpa hak, dan tidak sesuai ketentuan.

Menteri Agama pada era Kabinet Indonesia Bersatu II, Suryadharma Ali, pernah berupaya mendapatkan kompensasi penambahan kuota haji pada 2017 sebesar 160 persen. Artinya, bila kompensasi tersebut disetujui, pemerintah dapat memberangkatkan 370.000 jemaah pada 2017.

Belakangan, Presiden Joko Widodo kembali menyempatkan bertemu Wakil Putera Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Mohammed bin Salman bin Abdul Aziz Al-Saud, di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Hangzhou, China (4/9/2016). Ia kembali meminta tambahan kuota haji. Permintaan tersebut, sayangnya belum bisa dijawab seketika.

BERHAJI TEMPO DOELOE

Ibadah Haji di Tanah Suci
Ibadah Haji di Tanah Suci. (Foto Ist)

Pada masa sebelum kemerdekaan, Indonesia pernah mengirimkan lebih dari 50 ribu jemaah (1925). Mulai dari enam ribuan jemaah pada 1888, lalu bertambah sejak awal abad ke-20 menjadi puluhan ribu. Saat itu, diperkirakan jumlah penduduk di koloni yang masih bernama Hindia Belanda itu pada 1905, 1930, dan 1940, mencapai 40,4 juta, 60,7 juta, dan 70,5 juta. Bandingkan dengan jumlah penduduk saat ini, yang nyaris empat kali lipat lebih banyak.

Saat itu, jemaah harus naik kapal barang menuju Arab Saudi melalui Jeddah. Jemaah berangkat dari pelabuhan haji di Indonesia, salah satunya Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, yang awalnya bernama pelabuhan Emmahaven. Hanya kapal milik tiga perusahaan Belanda: Nederland, Rotterdamsche, dan Oceaan Maatschappij, yang boleh berlayar.

Monopoli pengangkutan jemaah haji Indonesia oleh ketiga perusahaan, terkenal dengan sebutan Kapal Kongsi Tiga. Tercatat dalam sejarah haji Indonesia, pada 1921 ada upaya pergerakan umat untuk melakukan perbaikan yang dipelopori KH Ahmad Dahlan atas keterbatasan fasilitas yang diberikan Belanda, melalui kapal milik Kapal Kongsi Tiga.

Namanya kapal barang, jemaah haji harus rela diangkut bersama barang dagangan, termasuk hewan ternak, selama kurang lebih sebulan berlayar ke Tanah Suci. Meski begitu, tidak menyurutkan keinginan umat masa itu untuk beribadah haji. Dalam keterbatasan fasilitas dan bayang-bayang kolonialisme Belanda, jumlah jemaah haji Indonesia bahkan meningkat sejak 1905.

Bukan saja soal kapal yang mengenaskan, jemaah haji saat itu ditampung di Pulau Onrust. Pulau Onrust dan sekitarnya adalah salah satu pulau dari gugusan Pulau Seribu. Sejak 1848 Pulau Onrust dan sekitarnya difungsikan sebagai Pangkalan Angkatan Laut, namun hancur akibat gelombang Tidal letusan gunung Krakatau pada 1883. Baru pada 1911 sampai 1933, Pulau Onrust berubah fungsi menjadi Karantina Haji.

Selain Muhammadiyah yang gencar meminta perbaikan layanan haji pada 1920-an, Nahdhatul Ulama (berdiri 31 Januari 1926 di Jawa Timur) juga menjalin hubungan dengan Arab Saudi melalui delegasinya, KH Abdul Wahab Abdullah dan Syeikh Ahmad Chainaim Al Amir. Mereka menghadap Raja Saudi untuk meminta kemudahan dan kepastian tarif haji, yang kala itu diselenggarakan para syeikh.

Pada 1932, lahirlah dasar hukum pemberian izin bagi organisasi bangsa Indonesia untuk mengadakan pelayaran haji dan perdagangan. Lalu pada 1948, memasuki era kemerdekaan, pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Agama di bawah pimpinan Menteri Agama kala itu, KH Masjkur, mengirim misi haji pertama ke Mekkah.

Dalam catatan sejarah haji Kementerian Agama, sempat terjadi penurunan jumlah jemaah setelah 1925. Sebelas tahun sejak 1937, bahkan tak ditemukan catatan jumlah calon haji yang berangkat ke Tanah Suci. Hal ini tak lepas dari situasi saat itu; kondisi perekonomian bangsa dan rakyat Indonesia dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.

Selain itu, karena baru merdeka, negara dalam penataan, dan bangsa Indonesia harus menghadapi perang kemerdekaan. Masyumi, pimpinan KH Hasjim Asj’ari, sempat mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ibadah haji dihentikan selama keadaan genting tersebut.

Keppres No. 53/1951 menandai pengambilalihan seluruh penyelenggaraan ibadah haji dari swasta oleh pemerintah. Setahun kemudian dibentuklah perusahaan pelayaran PT. Pelayaran Muslim, sebagai satu-satunya Panitia Haji dan diberlakukan sistem kuota. Pada masa ini pula transportasi udara turut mengirim jemaah ke Arab Saudi.

Mulai 1979 dan seterusnya, transportasi udara sudah jadi pilihan utama. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan No. SK-72/OT.001/Phb-79, memutuskan untuk meniadakan pengangkutan jemaah haji dengan kapal laut.

Keputusan ini tak lama pascabangkrutnya PT Arafat, perusahaan pengangkut jemaah haji sejak 1964. Perusahaan itu mengalami kesulitan keuangan, dan pada 1976 gagal memberangkatkan haji karena pailit. PT. Arafat yang bergerak di bidang pelayaran dan khusus melayani perjalanan haji, biasanya memberangkatkan 15.000 jemaah.

Meski demikian, kapal laut masih jadi pilihan bagi negara lain. Menurut catatan Saudi Press Agency (h/t ilmfeed.com), pada 2015 jemaah haji yang tiba melalui transportasi udara berjumlah 888.165 orang, 12.802 melalui jalur darat, dan 8.637 melalui laut.

Lonjakan jumlah jemaah haji, kembali terjadi pada 1974, masa Orde Baru. Meski mengalami fluktuasi hingga 1990, jumlah jemaah haji Indonesia mencapai lebih dari 60 ribu per tahun. Setelah itu, jumlahnya terus meroket. Adapun penurunan sejak 2013, karena Arab Saudi mengurangi 20 persen kuota.

Sebagai catatan, angka jemaah haji ini tak termasuk yang melakukan umrah. RItual yang disebut haji kecil itu, juga melakukan kunjungan ke tempat suci sebagai bagian dari upacara naik haji, dilakukan setiba di Mekkah dengan cara berihram, tawaf, sai, dan bercukur, tanpa wukuf di padang Arafah. Pelaksanaannya bisa bersamaan dengan waktu haji, tetapi bisa sewaktu-waktu di luar musim haji.

Perubahan moda transportasi, tampaknya bukan satu-satunya alasan dalam hal fluktuasi ongkos naik haji atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Dalam catatan Kemenag, pada 1949 ongkos rata-rata di Indonesia hanya Rp3.395. Sulit mencari padanannya dengan harga saat ini, karena tak ditemukan data Indeks Harga Konsumen pada tahun itu.

Perbandingan yang bisa ditemukan adalah harga emas, yang saat itu nilainya lebih kurang USD40 per Troy Ounce, atau Rp173 ribu per gram, dengan kurs pada 2015. Perbandingan lebih akurat menggunakan data CPI (Consumer Price Index) atau Indeks Harga Konsumen (IHK) Badan Pusat Statistik pada 1969. Menurut data itu, BPIH rata-rata pada 1970 sebesar Rp380.000, setara Rp43.537.216 sesuai kondisi pada 2015.

Sanering uang yang dilakukan pada 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp500 dan Rp1.000 menjadi Rp50 dan Rp100, mencoba menahan laju inflasi yang terus berlangsung hingga awal 1960-an. Pada 1965 Presiden Soekarno kembali melakukan kebijakan yang sama, menyunat tiga nol di belakang angka rupiah.

Ongkos naik haji pun ikut melambung tinggi. Pada 1960, ongkos naik haji berkisar Rp39 ribu, menjadi Rp2,3 juta pada 1964. Setelah itu, ongkos rata-rata naik haji trennya cenderung meningkat secara konsisten hingga mencapai Rp38 juta. Namun kenaikan jumlah jemaah terus terjadi, menyebabkan antrean pun semakin panjang.

BPIH TURUN

Pada tahun ini, Dewan Perwakilan Rakyat RI melalui Komisi VIII kembali menyepakati penurunan BPIH. Besaran ongkos haji 2016 rata-rata Rp34.641.304, atau setara dengan USD2.585 dengan kurs satu dolar AS sama dengan Rp13.400. Maka tahun ini BPIH kembali mengalami penurunan, sebesar USD132.

Pada tahun sebelumnya, nilai BPIH adalah USD2.717, atau turun USD502 dibanding 2014 yang mencapai USD3.219. Ongkos itu meliputi biaya penerbangan, biaya pemondokan di Mekkah, dan biaya hidup.

Disebut rata-rata, karena angka BPIH bisa berbeda di setiap embarkasi. Pada 2016 terdiri dari 12 lokasi keberangkatan jemaah haji. Dari embarkasi Aceh, misalnya, menurut Keputusan Presiden No. 21/2016, sebesar Rp31.117.461, sedangkan dari Makassar, bisa mencapai Rp38.905.808.

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, Abdul Jamil, menyatakan penyelenggaraan haji tahun ini diupayakan lebih maksimal meski BPIH turun. Pembenahan embarkasi penuh di 12 lokasi, pelatihan kepada petugas untuk melayani jemaah, termasuk membimbing dan memberi perlindungan.

Sebanyak 119 hotel di Mekkah siap menampung jemaah Indonesia. Penyewaan hotel juga dilakukan di Madinah, yang jaraknya tidak lebih dari 650 meter ke Masjid Nabawi. Jemaah pun bisa jalan kaki ke masjid. Peningkatan juga dalam hal transportasi, dengan bus yang lebih besar, lebih dingin, dan bagasi lebih luas dibanding pada 2015.

JEMAAH LOKAL

Bagi jemaah lokal—yang berasal dari Arab Saudi—ongkos untuk beribadah haji berkisar SAR3.000 (Rp10.476.203) hingga SAR11.890 atau sekitar Rp41.520.685. Harga akan menentukan fasilitas tambahan bagi jemaah. Ketentuan ini dibuat oleh pemerintah Arab Saudi, melalui Kementerian Haji dan Umrah.

Adapun Pemerintah Arab Saudi menargetkan 2,7 juta jemaah yang datang pada musim haji 2020. Mereka serius mengutamakan sektor yang menyumbang pendapatan kedua terbesar setelah minyak dan gas itu. Fokusnya, penyelenggaraan haji sebagai pendapatan utama, mengantisipasi ketergantungan terhadap minyak dan gas bumi.

Masalahnya, Arab Saudi belakangan mengalami krisis ekonomi. Pihak Kerajaan menghadapi defisit yang bisa mencapai USD87 miliar tahun ini. Harga minyak yang terus merosot telah berdampak serius pada perekonomian Saudi, karena merupakan 80 persen dari pendapatan kerajaan. Mereka kini harus berhemat, bahkan harus berutang.

Sektor pariwisata, selama ini menyumbang sekitar USD22,6 miliar (sekitar Rp298 triliun) terhadap Produk Domestik Bruto Arab Saudi. Adapun kegiatan haji dan umrah berkontribusi sekitar USD12 miliar (Rp158 triliun) di antaranya. Setelah pemugaran dua kompleks masjid utama di Mekkah dan Madinah, pendapatan dari sektor ini diharapkan meningkat dua kali lipat.

Anggota Komite Nasional Pariwisata Arab Saudi, Abdul Ghani Al-Ansari, menegaskan pentingnya merestrukturisasi sektor ini menjadi penyumbang utama bagi ekonomi negerinya. Dilansir media setempat Saudi Gazette, ia menyatakan bahwa pendapatan saat musim haji dan umrah potensinya kian melejit dan dampaknya positif terhadap lapangan kerja di Arab Saudi.

“Kapasitas total hostel dan apartemen di Mekkah dan Madinah belum digunakan secara optimal, karena perencanaan yang lemah,” kata Al-Ansari kepada Saudi Gazette. Mekkah saat ini mampu menampung 12 juta jemaah, sedangkan Madinah baru mampu menampung 230.000 pengunjung.

Seluruh proyek pemugaran diperkirakan selesai pada 2020. Terutama Bandara Internasional King Abdulaziz dan Masjidil Haram, pemugarannya diharapkan selesai pada 2017 atau 2018. Menurut ekonomis, Abdullah Katib, pendapatan tahunan Arab Saudi dari musim haji turun dalam lima tahun terakhir lantaran pemugaran ini.

Bila pemugaran selesai, kuota diperkirakan akan kembali normal. Paling tidak, Indonesia bisa kembali mengirim 200-an ribu jemaah tiap tahun. Apalagi bila kompensasi kuota sebesar 160 persen juga terealisasi, jemaah yang sudah puluhan tahun mengantre semakin dekat menuju Tanah Suci.[]Beritagar/Rahadian P Paramit

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait