PM, Banda Aceh – Mewujudkan penyelesaian permasalahan masa lalu terutama keadilan bagi korban konflik serta mengoptimalkan inplementasi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) dan seluruh aturan turunannya merupakan agenda strategis semua pemangku kepentingan saat ini dalam merawat damai di Bumi Iskandar Muda. Selain itu, menyahuti kebutuhan masyarakat serta memperkuat kohesi sosial juga merupakan agenda penting lainnya dalam merawat damai di Aceh.
Pernyataan tersebut merupakan intisari dari pernyataan Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar dalam sambutannya di hari perdamaian Aceh, Ahad, 15 Agustus 2021. Seperti diketahui, perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI) selama puluhan tahun berakhir dengan kesepakatan damai pascatsunami melanda Aceh. Kedua pihak yang bertikai, dengan difasilitasi oleh CMI, akhirnya sepakat menandatangani kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia, tepatnya pada 15 Agustus 2005 lalu.
Dalam kesepakatan tersebut melahirkan beberapa poin yang dianggap saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kesepakatan inilah belakangan dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki sebelum disalin ulang dengan berbagai perubahan, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh–atau akrab disebut UUPA di kalangan eks kombatan.
MoU Helsinki merupakan kesepakatan damai yang berisi tentang beberapa klausul seperti penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, partisipasi politik, ekonomi, peraturan perundang-undangan, HAM, Amnesti dan Reintegrasi ke dalam masyarakat, pengaturan keamanan, pembentukan Misi Monitoring Aceh, dan penyelesaian perselisihan.
Dari sekian banyak kesepakatan damai tersebut, ada beberapa poin yang dinilai tidak berjalan secara maksimal hingga saat ini. Di antaranya pada poin 1.1.4 tentang perbatasan Aceh yang merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. Selanjutnya poin 1.1.5 tentang, “Aceh memiliki hak untuk menggunakan symbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.”
Poin lain yang disepakati dalam MoU Helsinki adalah tentang Ekonomi seperti pada 1.3.1, “Aceh berhak memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).”
Kemudian pada poin 1.3.3 dimana disebutkan, “Aceh memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut territorial di sekitar Aceh.”
Selanjutnya tentang hal tersebut dipertegas lagi dalam poin 1.3.4 yaitu “Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut territorial sekitar Aceh.”
Di bidang ekonomi, kedua pihak juga sepakat bahwa Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh. Selanjutnya juga disepakati bahwa Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya.
Baik GAM maupun RI pada 15 Agustus 2005 lalu juga sepakat bahwa “Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.” Tentang kesepakatan ini tertuang dalam poin 1.4.5 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Poin lain yang disepakati di Helsinki adalah tentang reintegrasi eks kombatan GAM ke dalam masyarakat. Beberapa poin yang dimaksud seperti, “Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.”
Selanjutnya MoU Helsinki juga melahirkan kesepakatan tentang alokasi tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak.
Tentang hal itu tertuang dalam poin 3.2.5, dimana Pemerintah Aceh disebutkan akan memanfaatkan tanah dan dana untuk semua mantan pasukan GAM. Selain itu, eks kombatan GAM, tahanan politik, dan korban konflik dari kalangan sipil juga berhak mendapat pekerjaan atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.
Tak hanya itu, kedua belah pihak juga menyepakati tentang hak bagi pasukan GAM untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional.
Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar, dalam sambutan yang disampaikan secara virtual dari Meuligoenya mengatakan, Aceh telah melalui berbagai tantangan dan dinamika baik dari eksternal maupun internal di usia 16 tahun damai berlangsung di Tanoh Rencong. Menurutnya berbagai tantangan tersebut berhasil dilalui semua elemen di Aceh dengan pengorbanan tenaga dan pikiran.
“Pengorbanan tersebut bukan tanpa hasilnya, kita memperoleh banyak hasil dari dinamika ini, walaupun kita juga mengalami banyak kegagalannya karena kita memang memiliki kelemahan dan keterbatasan,” kata Malik Mahmud.
Penyerahan Lahan
Sementara itu, Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Fakhrurrazi Yusuf, mengatakan, pihaknya siap untuk terus menjalankan tugas dalam rangka mewujudkan reintegrasi Aceh dengan melakukan berbagai program untuk keberlanjutan perdamaian dan membangun Aceh lebih baik lagi.
Fakhrurrazi mengatakan, salah satu program yang telah pihaknya lakukan adalah memberikan lahan pertanian untuk mantan kombatan, tahanan politik dan korban konflik. Program tersebut, kata dia, sesuai dengan amanat MoU Helnsinki.
“Salama tahun 2019 sampai 2021 kami telah melakukan setifikasi dan menyerahkan 3.575 hektar lahan di Aceh Utara, Aceh Timur, Pidie Jaya kepada mereka yang diamanatkan dalam MoU Helsinki,” kata Fakhrurrazi.
Ia mengatakan, untuk tahun depan pihaknya kembali akan menyerahkan 1.000 hektar lahan di Nagan Raya kepada mantan kombatan, tahanan politik dan korban konflik. Bupati setempat telah menyediakan lahan tersebut.
Selain itu, kata Fakhrurazi, pada tahun 2021 ini BRA telah memberikan bantuan kepada 463 orang masyarakat Aceh yang terdampak konflik. Pada tahun yang sama juga pihaknya menyerahkan bantuan sosial kepada 200 orang anak yatim.
Berbagai upaya merawat perdamaian Aceh terus dilakukan BRA. Fakhrurrazi bilang, dalam tahun ini pihaknya gencar mensosialisasikan sejarah perdamaian dan konflik Aceh kepada siswa SMA dan SMP. Hal tersebut dianggap penting agar generasi muda mengetahui sejarah dan menjadikan pelajaran untuk pembangunan Aceh.
Sementara itu, Asisten Administrasi Umum Sekretaris Daerah Aceh, Iskandar mewakili Gubernur Aceh mengatakan, perdamaian benar-benar menjadi fondasi dalam menyukseskan pembangunan menuju Aceh yang bermartabat. Meskipun berbagai tantangan kerap muncul selama 16 tahun usia perdamaian.
“Terutama sejak dua tahun terakhir ketika pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Aceh,” ujar Iskandar.
Iskandar mengatakan, untuk merawat perdamaian, maka aspek bina damai perlu menjadi tanggung jawab berbagai elemen penting di Aceh. Kolaborasi berbagai pihak dalam menanggulangi wabah covid-19 juga menjadi salah satu bagian dalam melaksanakan bina damai di Aceh.
“Dalam hal ini Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan SKPA terkait lainnya harus mampu mengintegrasikan pendekatan yang terbaik terhadap permasalahan yang terjadi dalam upaya penanganan pandemi di masa damai,” ujar Iskandar.
Selain itu, menurut Iskandar, optimalisasi penggunaan sumber daya yang ada saat ini merupakan hal penting dalam upaya membina perdamaian di tengah meningkatnya ketidakpastian yang disebabkan oleh pandemi.
“Kita patut bersyukur, bahwa kesuksesan bina damai yang berkelanjutan pasca konflik di Aceh telah mendapat perhatian dan dijadikan model bagi beberapa kawasan negara di Asia Tenggara, seperti Myanmar dan Filipina,” kata Iskandar.
“Bahkan tak sedikit para peneliti dunia menjadikan Aceh sebagai laboratorium dalam melakukan riset dan studi kajian terkait konflik dan perdamaian,” lanjutnya lagi.
Dalam kesempatan tersebut, mewakili Pemerintah Aceh, Iskandar menyampaikan terimakasih dan apresiasi mendalam kepada seluruh tokoh perdamaian Aceh, baik nasional maupun di tingkat lokal. Ia mengajak seluruh komponen masyarakat Aceh, agar terus bersatu padu, bahu membahu menjaga dan merawat perdamaian dengan kebersamaan.[]
Belum ada komentar