CERPEN
Karya Lodins
Peminat Sastra dan Sejarah Aceh
Hari hampir menjamah malam. Ini senja ketujuh bulan Zulqaidah. Aku dihadang seekor singa jantan. Raja rimba ini terlihat lebih kuat daripada yang mengejutkanku kemarin, tetapi melarikan diri sebelum kami sempat bertarung.
Jantungku berdegup-degup kencang. Aku diam mematung, memerhatikan gerakan binatang di hadapanku dengan seksama. Walaupun tengah menghadapi keadaan seperti ini, tidak ada keinginanku untuk melarikan diri.
Aku tidak akan kembali ke jurung dalam tanah yang panjang nan sempit bertanah kuning di mana pertualangan ini kumulai.
Samar-samar terlihat, singa berbulu jagat itu mencengkram tanah sekuat tenaganya. Kuku-kuku kedua kaki depannya ditusuk ke tanah berwarna kuning dan berbatu. Dagunya hampir menyentuh kakinya sendiri. Sesekali, saat menyeringai, terlihat gigi-gigi runcing yang biasa dipakainya untuk memutuskan leher rusa atau mengunyah tulang-belulang mangsa.
Dari celah taring-taring itu terdengar desisan. Perlahan, singa jantan itu membetulkan letak kaki belakangnya. Ia berancang-ancang menyerang. Dari tatapan mata tajamnya kutafsirkan bahwa ia tidak main-main, seakan binatang itu baru puas setelah mencabik-cabik tubuhku.
Dalam sekejap, si raja rimba dari belantara gurun Libya itu pun melesat ke tempatku berdiri. Kedua kaki depannya diangkat tinggi-tinggi seraya mengeluarkan kuku-kuku, ingin menampar dan mencengkram kepalaku. Gerakannya cepat dan lincah.
Aku berkelit ke sana kemari sampai secara kebetulan, sebelum beberapa terkaman singa itu mengenaiku, aku telah menangkap daun telinganya. Lalu aku melompat ke punggung si raja rimba.
Singa itu meronta dan melompat berkali-kali, ingin menghempaskanku ke tanah berbatu. Namun kali ini usaha
kerasnya tidak berguna. Akhirnya ia kelelahan dan tunduk padaku. Kini, si singa menjadi kendaraanku.
Langkah-langkah singa itu terus membawaku menelusuri jurung-jurung dalam tanah. Kami pun tiba di sebuah ruang gua yang berbentuk kubus. Kami berhenti. Mataku terus menilik lekukan dinding-dinding ruangan yang temaram.
“Mungkin ada sesuatu hal di sini?” Aku menduga-duga.
Namun sebelum aku usai meraba-raba dengan pikiran, samar-samar kulihat sebuah benda muncul di hadapanku. Kutatap lekat-lekat, ternyata itu sebuah topi perang yang terbuat dari emas, seperti yang dipakai para Sultan Utsmaniah ketika terjun ke medan peperangan.
Topi itu dipegang oleh sebuah tangan sebelah kanan yang hanya terlihat oleh mata sipitku sampai pada sikunya. Tubuh orang yang memberikan topi tersebut tidak terlihat sama sekali. Aku mengambil pelindung kepala itu dan memakainya.
Kemudian tangan itu menghulurkan lagi sebilah pedang lurus yang terbuat dari berbagai campuran jenis logam kuat. Kilatan cahaya dari bilah matanya yang berwarna putih kekuning-kuningan membuat mataku silau sehingga mata sipitku harus kusipitkan lagi. Dengan memalingkan wajah dan melihat dengan sudut mata, kuambillah pedang itu.
Kuikatkan pedang itu ke pundak kananku. Kuambil berbagai peralatan perang lain yang dihulurkan tangan tersebut.
“Apakah aku akan jadi admiral?” Demikian batinku merasa-rasa.
***
Aku keluar dari goa batu dan berdiri pinggir pintunya. Kutatap wajah langit. Awan-awan berwarna kelabu bergulung-gulung tidak tentu arah, mendung. Iklim musim suram yang telah ratusan tahun meniupkan peperangan demi peperangan belumlah berganti. Hari ini, aku ditugaskan untuk menuntaskannya.
Tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai. Dari ketinggian ini kulihat ke bawah. Jutaan rakyat berada di bawah sana. Wajah-wajah mereka menghadap ke arahku dengan penuh harapan. Suara-suara dari sorak-sorai itu hampir menyerupai gemuruh petir di antara celah-celah kepulan awan mendung di angkasa raya.
Bau tanah di bawah memabukkanku. Seakan seluruh muka bumi di sini telah berubah jadi lumpur. Hidungku tidak mencium bau lada yang tergudang di bawah apalagi kasturi yang biasa dipakai oleh ratu di istana ini. Tumpukan-tumpukan kayu bangunan yang terbakar pun berserakan di mana-mana. Seakan, peperangan silam itu masih berlangsung.
Di tepi bangunan yang menghadap ke arah selatan ini, perlahan-lahan kurentangkan tangan ke sisi masing-masing sejajar dengan bahu. Aku berjinjit, dan ujung jari kaki mengangkat tubuhku ke atas. Perlahan-lahan, kurebahkan tubuhku ke depan. Terjun ke tanah di mana rakyat tengah menantiku.
Aku menjatuhkan diri dengan ringan, melayang berputar-putar hingga tangan-tangan kuat milik orang yang berada di bawah menangkap tubuhku yang hinggap. Aku merasa tangan mereka mengarahkanku ke suatu tempat. Lalu perlahan aku berjalan di udara dan berhenti di suatu sudut kota di bagian utara.
Aku hinggap di atap sebuah gedung berlantai tiga tepatnya di kaki sebuah tiang yang di atasnya sebuah bendera dua warna. Sesekali bendera itu dihembus oleh angin supaya bisa berkibar.
“Bismillahi masya Allah la haula wa la quwwata illa billah,” aku memegang tiang tersebut dan mematahkannya, lalu menombak ke bawah. Maka musnahlah sejuta elegi duka lara dalam ingatan-ingatan rakyat negeri yang terus dilanda perang ini. *
Telah disiarkan PIKIRAN MERDEKA edisi cetak September 2015.
Belum ada komentar