Dengan kekuatan militer Aceh sendiri, Sultan Ibrahim Mansur Syah berhasil merebut kembali Deli, Serdang, Langkat, Nias, dan beberapa kawasan lain di Sumatra Utara dari tangan Belanda.
Oleh: Muhajir Ibnu Marzuki Ketua Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh).
Ibrahim Mansur Syah atau Tuanku Ibrahim merupakan anak dari pada Sultan Jauhar Alam Syah, Kesultnaan Aceh Darussalam. Ia diperkirakan lahir sekitar tahun 1808 Masehi. Pada tahun 1841 (1257 H) orang bijaksana ini ditabalkan menjadi Sultan Aceh Darussalam menggantikan Sultan Alaidin Sulaiman Ali Iskandar Syah yang mengundurkan diri.
Sultan Ibrahim Mansur Syah yang berjiwa besar bersikukuh mengembalikan kegemilangan Kesultanan Aceh seperti dahulu kala. Ia sangat membenci penjajahan dan berusaha merebut kembali negeri-negeri dalam lindungan Aceh yang telah dirampas oleh penjajah Belanda, seperti Trumon, Singkil, Baru, dan Nias.
Sultan pemberani dan ahli strategi ini menerapkan kebijakan ketat terhadap kapal-kapal asing yang memasuki perairan Aceh. Atas kecakapan dan kebijaksanaannya, dalam rentang tahun 1853 – 1854, Sultan Ibrahim Mansur Syah berhasil memulihkan kondisi politik dan keamanan di pesisir Timur Aceh, khususnya Deli, Serdang dan Langkat, yang dulunya telah dipaksa bekerja sama dengan Belanda.
Baca Juga: Said Abdullah Di Meulek, Pengatur Administrasi Kerajaan Aceh
Setelah ia menjabat sultan, negeri-negeri tersebut kembali mengakui dan tunduk di bawah kedaulatan Aceh dengan memakai bendera (alam) Aceh di kapal perangnya. Karena kesetiaan ini, Panglima Husin selaku utusan Sultan Aceh memberi anugerah gelar kepada Tengku Ngah Langkat yang juga Pangeran Mangku Negara Raja Muda Langkat, menjadi Pangeran Indra Diraja Amir.
Sultan Usman Deli diberi kuasa oleh Sultan Aceh menjadi wakil Sultan dan digelar Deli dengan “Deli Serambi Aceh”. Sultan Basaru’ddin Serdang mandapat titel wazir Sultan Aceh.
Usaha untuk mempertahan kedaulatan dan kehormatan Aceh tiada hentinya diusahakan oleh Sultan Ibrahim Mansur. Pada tahun 1849 Sultan mengirim Muhammad Rus (Ghuts) yang lebih dikenal dengan Sidi Muhammad sebagai utusan Aceh untuk diplomasi ke berbagai negara seperti Turki, Perancis, dan berbagai negeri lainnya.
Mengenai Muhammad Rus sendiri diceritakan sebagai pribadi yang ambisius dan sangat benci akan imperialisme Belanda di nusantara. Bahkan Sidi Muhammad meramalkan bendera Aceh tak lama lagi akan berkibar di Betawi (Jakarta).
Ringkasan penulisan ini hanya memfokuskan diri pada 3 sumber yaitu dari buku H. M. Zainuddin berjudul Tarich Atjeh dan Nusantara, buku H. M. Said berjudul Aceh Sepanjang Abad, H. M. Nur El Ibrahimy berjudul Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh.
Dalam tahun 1853, seorang pemimpin Nederlandache Handel Mij, P. J.G. Sam bertinjau ke Aceh dengan kapal yang bernama “Sumatra” dan disambut baik oleh Sultan Aceh, walaupun kondisi politik Aceh – Belanda tengah memanas akibat Belanda mencaplok kawasan Sumatera Timur dari Aceh.
Baca Juga: Mangkatnya Sultan Alaiddin Mahmudsyah
Pertemuan antara Sam dan Sultan Aceh tidak membuahkan hasil apapun, dikarenakan Sam datang tanpa membawa surat rekomendasi dari Betawi (Jakarta) maupun dari Padang dalam kunjungannya ini.
Tahun 1855, Belanda mengirim kapal perang “de Haai” di bawah pimpinan Letkol Laut Courier dit Dubekart untuk mengadakan pendekatan dengan Sultan Aceh agar tercapainya suatu ikatan persahabatan antara Aceh dan Belanda.
Misi Courier dit Dubekart ini gagal sebab sikap Belanda yang terlalu angkuh dan sombong dalam berdiplomasi. Belanda mengharap Sultan Aceh terlebih dahulu meminta ikatan persahabatan. Namun Sultan Aceh memperingatkan Belanda agar mengembalikan Singkil dan Barus kepada Aceh. Bahkan Sultan Ibrahim Mansur Syah mengancam merebut kembali negeri-negeri tersebut jika Belanda tidak mengembalikannya.
Setelah beberapa kali Belanda memohon-mohon persahabatan dengan Aceh, akhirnya Sultan Ibrahim Mansur Syah sepakat untuk menjalin hubungan dengan mereka pada tahun 1857. Hubungan tersebut ditandai dengan perjanjian tertulis berisi sembilan buah pasal yang tidak mungkin disebutkan di sni.
***
Baca sejarah: Istana Darud Dunia yang Tak Berjejak
Perjanjian Belanda-Aceh pada tahun 1857 merantai kaki Belanda agar tetap menjaga baik hubungan dengan Aceh dan memeranginya. Ternyata, Belanda memanfaatkan perjanjian itu hanya untuk mengulur waktu dan memecah belah Aceh dari dalam.
Setelah perjanjian itu disepakati dengan mudahnya Belanda menginjak kedaulatan Aceh di pesisir Sumatera Timur bahkan di tahun 1873 Belanda menyerang wilayah inti Kerajaan Aceh. Malang bagi Aceh, di tahun 1870 orang yang ditakui Belanda, Sultan Ibrahim Mansur Syah, pun wafat.
Dua orang puteranya laki-laki telah lehih dulu meninggal dunia menyebabkan ia tidak mempunyai ahliwaris pengganti tahta kesultanan. Karena itu para pembesar kerajaan yang berwenang bermufakat dan memutuskan, Tuanku Mahmud putera Sultan Ali Iskandar Syah, naik tahta. Umur Tuanku Mahmud waktu itu masih sekitar 14 tahun.
Keadaan tersebut melemahkan Aceh, ditambah beberapa Ulee Balang tidak mendukung sultan -diyakini karena pengaruh politik pecah belah Belanda. Kesempatan ini diambil oleh Belanda untuk segera menyerang Aceh secara langsung.
Pada 26 Maret 1873, secara resmi Belanda menyatakan perang untuk Aceh Darussalam, suatu hal yang tidak berani dilakukannya apabila Sultan Ibrahim Mansur Syah masih hidup.[]
– – –
Artikel ini telah disiarkan pada Pikiran Merdeka edisi cetak, September 2015. Ikuti artikel tentang Sejarah Aceh dan Sejarah lainnya.
Belum ada komentar