Hai, cermatilah kalimat berikut: “Saya tak punya prinsip hidup, karena saya tak tahu besok saya hidup”. Menggugah betul. Ungkapan ini milik seorang pemuda yang menjadi tulang punggung keluarga sejak kelas tiga SMA, setelah ayahnya meninggal karena sakit.
Maka, usai menamatkan pendidikan di SMA Sibreh, pemuda itu tak menyambungnya ke jenjang lebih tinggi, melainkan pilih bekerja untuk membiayai sekolah adiknya, Dewi.
Pertengahan 2004, ia tertarik melanjutkan tradisi usaha roti selai (selanjutnya: sele) di Samahani. Sebab sejak ia lahir, di kampungnya sudah ada orang yang menjual penganan kenyal kering itu. Dia pun belajar pada orang yang pertama membuat sele roti khas Samahani.
“Kalau mau belajar, tiga hari harus sudah bisa. Kalau tidak, saya tak lagi kemari menjagarimu,” kata Cek Han pada pemuda itu. Oke, ia pun setuju dan belajar.
Beberapa bulan sebelum tsunami meyapu sebagian Aceh, Cek Han mengajarinya di Kedai Kopi Dua Saudara, saat itu belum ada dapur khusus memasak sele. Dari situlah, Adi—sapaan Suliadi, pemuda yang mengaku tak punya prinsip hidup tadi—belajar meracik sele khas Samahani.
Ilmu sudah ada. Tunggu apa lagi? Adi dan sepupunya pun bekerja di Dua Saudara milik Fauzan, di jalan Banda Aceh-Medan KM 18,5 Pasar Samahani, Aceh Besar. Sepupunya sangat mirip dengannya, putih langsat, bertubuh agak kecil. Sapaannya juga Adi. Nama lengkapnya saja beda, Supriadi.
Adi membocorkan satu rahasia yang menghasilkan rasa sele Samahani tak bosan di lidah. Ia mengutip cerita Cek Han yang kini berusia 80-an dan berkebun di Lamteuba, bahwa sele Samahani akan sangat lezat bila diolah dengan telur kampung atau telur bebek.
“Cuma,” kata Adi pada Pikiran Merdeka di akhir pekan ketiga April 2012, “kami mesti jual sepuluh ribu rupiah per bungkus.” Sekarang, mereka menjualnya Rp6 ribu saja per roti, dan menggunakan telur ras sebagai bahannya.
Siang yang adem itu, “Kalau telur kampung, bukannya tak ada pembeli, tapi kami tak sanggup membeli telur kampung,” kata Adi. Harga telur kampung Rp2 ribu per butir, dua kali harga telur ras.
Kembali ke usahanya. Pada tahun pertama produksi, Adi dan Adi menjual Rp2.500 per roti. Hanya laku 100 bata (batangan) roti per hari. Dua tahun berikutnya, roti sele laku 300 bata per hari dengan harga Rp3.500. Usaha mereka naik daun awal 2009. Roti sele Samahani bisa laku 600-700 bata per harinya dengan harga Rp6 ribu. Kini, terjual minimal 600 batangan roti per hari.
Sejak membuka usaha, mereka memasok roti dari Pendi (disapa Bang Pendi). Pendi memproduksi roti tawar di rumahnya, sekira 100 meter dari Kedai Dua Saudara, di bibir jalan menuju Dayah Ruhul Falah.
Oya, mulai 2005, Suliadi tinggal sendiri. Supriadi berhenti dan memilih buka warung kopi sebelum menjadi kontraktor sejak 2008. Suliadi tetap di Dua Saudara, hingga kemudian Bahri bergabung.
Berat juga perjuangan Adi mempertahankan usahanya. Sebab tak cuma di Dua Saudara jual roti sele Samahani. Semua kedai kopi di Pasar Samahani melakukan hal yang sama. Ada sekitar enam. Tak enteng bersaing.
“Kadang setelah belanja bahan untuk sele, kami tak lagi punya uang untuk makan nasi,” ungkap Adi. “Ya, sabar aja,” sambungnya.
Agar tetap maju, Adi menyuguhkan perbedaan pada pembeli. Lihatlah pembungkusnya. Dua Saudara mencetaknya khusus di Banda Aceh dengan harga Rp200 per eks. Satu sisi, kertasnya abu-abu melompong. Satu lagi berwarna hijau daun; dua pohon kelapa lebat saling condong merangkul kata Dua Saudara atau disingkat DS.
Sementara, roti sele Samahani yang dibeli di tempat lain tak akan mendapati pembungkus demikian, kecuali berbagai ragam kertas koran, semisal roti sele Samahani yang dijual di Gampong Mulia Banda Aceh, juga Darussalam.
Adi juga pernah berkeinginan mengemas roti sele Dua Saudara dan melabelkannya, lalu menjualnya di berbagai supermarket hingga tercatat di daftar makanan Indonesia. “Cuma, kami harus membuat sele yang benar-benar bermutu,”—ia diam sejenak, “dan itu sulit.”
Sele yang benar-benar bermutu itu, maksudnya yang tahan lama. “Yaitu tahan atau tak basi hingga empat hari. Bisa aja sih. Cuma tak ada waktu, sebab harus memasaknya hingga 10 jam, minimal,” kata Adi. “Kapan menjual rotinya?” dia menyela.
Sementara sele yang dibuat sekarang hanya bertahan dua hari, karena memasaknya 5 jam saja. Namun tetap menarik minat beli masyarakat Aceh. Biasanya penumpang angkutan umum dari Pidie, Bireuen, Aceh Utara, hingga Aceh Timur, singgah di muka kedai milik keluarga bupati terpililh Aceh Besar periode 2012-2017 Adun Mukhlis itu.
Sering juga pembeli yang membawanya ke Medan dan Jawa sebagai oleh-oleh kuliner dari Aceh. Musisi Achmad Albar juga pernah singgah dan mencicipi roti sele khas Samahani di Dua Saudara. Begitupula dengan kebanyakan pejabat di Aceh. Seperti tampak pada foto-foto yang dipajang di dinding luar dapur sele: tertempel public figur yang pernah singgah di Dua Saudara.
Apa sih rahasianya? “Tidak bisa saya ceritakan, karena sele ini khas kami,” tegas Adi. Hanya resepnya yang boleh diketahui. Sebab meski resepnya sama, namun cita rasa akan berbeda. Tergantung racikan dan takaran komposisinya menurut sang koki.
Adi anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Muhammad Ali (alm) dan Khadijah. Ia tinggal di Gampong Lam Ara Tunong, Mukim Samahani, Kecamatan Kuta Malaka, Aceh Besar. Sekali lagi, ia adalah tulang punggung keluarga yang mengaku tak punya prinsip hidup, tapi sabar menjalani usahanya.[]Makmur Dimila
Ini Resepnya, Cobalah!
Bahri, pemuda Lam Ara Cut, Samahani, Kuta Malaka. Ia koki sele roti di Dua Saudara. Berbodi sedang. Hari itu mengenakan kaos belang berkerah, berwarna hijau-hitam, kontras dengan ruangan dapur sele Dua Saudara yang merah-hitam. Sele yang berwarna seperti kuning telur kampung mengandung Omega 3, menghasilkan paduan warna yang menarik di ruang dapur ukuran dua kali tiga meter itu.
Bahri memberikan resep sele khas Samahani. Untuk ukuran satu langseng buleng (Aceh: sangku), sekali masak menghabiskan satu lempeng telur, 10 sachet tepung vanili 1 gram, santan 13 kelapa, 6 bungkus tepung banta (tepung jagung) ukuran 60 gram, dan satu set gincu sebagai pewarna, ditambah gula secukupnya dan daun pandan sebagai pewangi.
Satu langseng buleng ukuran 12 kg bisa menampung bakal sele untuk 100 bata roti. Dua Saudara per harinya dua kali masak, sehingga menghasilkan sele untuk 600 bata roti. Sekali naik api, sanggup menghasilkan sele untuk 300 roti dalam tiga sangku 12 kg. Dimasak selama lima jam. Sele itu tahan dua hari.
Sele roti khas Samahani mirip serikaya. Bedanya, serikaya tidak pakai gincu. “Boleh sih serikaya pakai gincu, cuma warnanya tak bagus,” kata Bahri, di ruang masak yang pengap. Resepnya boleh saja ditiru, “tapi hasilnya itu tergantung cara meraciknya,” kata pemuda kelahiran 1980 ini.
Bahri belajar meramu sele Samahani dari Adi (Suliadi), yang dua tahun lebih putik darinya. “Guru siuroe—guru sehari,” gurau Bahri. Selamat mencoba![]Makmur Dimila
Belum ada komentar