TEPAT pada hari Jum’at tanggal 1 Ramadhan 610 Hijriah atau bertepatan 22 April 1205 Masehi, Banda Aceh dideklarasikan sebagai sebuah nama kota tua. Disudut kampung yang kini bernama Gampong Pande, disitulah asal usulnya berada sejak 809 tahun silam.
Delapan abad lebih sudah berlalu, nama Kecamatan Kutaraja hingga kini pun masih melekat diingatan masyarakat kota, sebuah sebutan yang dulunya populer pada masa Belanda, tepatnya pada masa Van Swieten.
Gampong Pande telah menyimpan sederet sejarah masa lampau, dari mulai tsunami yang pernah terjadi berkali-kali hingga pada kemegahan pemukiman tua yang begitu tersohor pada masanya.
Pada suatu hari beberapa tahun lalu, saya pernah bertandang ke Gampong Pande, bisa dihitung lebih dari lebih dari dua kali. Beberapa tempat yang memang sangat sakral dulunya juga saya lewati, seperti monumen prasasti (plakat) yang berada di dekat laut atau yang konon disebut titik nol Banda Aceh hingga ke sejumlah komplek makam-makam para raja.
“Disinoe asai muasai mula jeut Kuta Banda Aceh teumpat geupeudong keurajeuen Aceh Darussalam le Soleuthan Johansyah bak uroe phon puasa Ramadhan thon 601 Hijriah (Di sini cikal bakal Kota Banda Aceh, tempat awal asal mula Kerajaan Aceh Darussalam, didirikan oleh Sultan Johansyah pada 1 Ramadhan 601 H),” begitulah yang tertulis di plakat tersebut.
Nama Pande bukan sembarang nama, pande diambil dari bahasa Melayu dan kalau diartikan dalam bahasa Indonesia berarti pandai, karena dulunya di kampung ini sebagian besar masyarakat adalah orang-orang yang lihai dalam menempa, mencetak atau sekedar mencetak benda-benda dari logam, emas, dan juga batu-batu mulia serta pengrajin ukiran batu nisan.
Makanya tidak heran, jika sejumlah peninggalan kuno masih bisa ditemukan di Gampong Pande, sampai-sampai ada orang yang rela berkubang lumpur turun ke areal tambak untuk mencari ‘harta karun’ masa lalu yang tersembunyi seperti yang pernah diberitakan beberapa waktu lalu.
Singkat cerita, Gampong Pande telah menjadi romansa masa lalu. Apakah benar titik nol sejarah Banda Aceh kini juga telah berpindah? Kita akan dengan mudah menemukan titik nol Banda Aceh diseberang jembatan Pante Pirak tepatnya di depan masuk ke kantor Polisi Militer AD.
Wujud kota tua di Banda Aceh hingga kini tidak ada yang bisa kita telusuri lagi, atau mungkin sejarah kota tua itu hanya sekedar tinggal kenangan dalam ulasan sejarah tempo dulu.
Kini Kutaraja telah lama memasuki usia senja, tidak mungkin kita akan terus berdebat panjang soal nama Bandar (Banda) Aceh Darussalam, asal usul nama Aceh, hingga menjadi Banda Aceh seperti sekarang ini yang terus menggalakkan untuk menjadi kota Madani. Kota yang warganya beriman dan berakhlak mulia, mampu menjaga persatuan dan kesatuan, toleran dalam perbedaan, serta taat hukum dan memiliki ruang publik yang luas.
Konon pada masa hidup almarhum Hasyim KS pernah menyebutkan, “Kita tidak tahu apakah ketika tahun 1205 M sebagai awal ditetapkan lahirnya kota Banda Aceh, apakah nama tersebut memang Banda Aceh (Bandar Aceh) atau ada yang lain. Kalau direnung-renungkan, kiranya jauh lebih tua Banda Aceh dengan Malaka, atawa pusat kerajaan Islam Moghul di Delhi India maupun beberapa kesultanan di Indonesia Bagian Timur. Tapi mana sisa-sisa sebuah kota yang berpredikat bandar itu?”
Tanpa harus berpanjang lebar, akhir kata selamat ulang tahun Kota Banda Aceh. Semoga kita tidak pernah lupa akan jasa para leluhur dari pendiri kota tua ini. Layaknya semangat dari kota Madani “a place blessed with natural beauty and as a spiritual gateway” kini dan nanti.[]
Belum ada komentar