[quote]Oleh Khairil Miswar[/quote]
Setelah melalui polemik panjang tentang keterlibatan calon independen dalam Pemilukada Aceh 9 April 2012 akhirnya MK dengan fatwanya yang qath`i (pasti) dalam konteks hukum Republik Indonesia telah dianggap berhasil melahirkan keputusan hukum yang lumayan bijak. Meskipun keputusan MK tersebut ditentang oleh sebagian pihak, namun penentangan tersebut tidak membuahkan hasil apa–apa dan terkesan hanya membuang energi.
Walau penuh onak duri dan sempat terhenti di persimpangan jalan namun proses pelaksanaan Pemilukada di Aceh terus berjalan. Partai yang sebelumnya menyatakan menolak keterlibatan independen dan menegaskan bahwa mereka tidak akan mendaftarkan diri sebelum MK mencabut putusannya akhirnya hanya menjadi gertak sambal. Buktinya ketika mereka tidak mendaftar proses terus berjalan dan terkesan KIP tidak peduli dengan gertakan mereka.
Apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur, dan bubur sudah menjadi taik (baca: kotoran). Gertakan untuk tidak ikut pemilu yang sebelumnya sempat menjadi pemberitaan hangat di beberapa media lokal dengan sangat terpaksa harus dicabut kembali. Seperti kata pepatah mereka terpaksa harus menjilat ludah sendiri, ya begitulah yang terjadi. Akhirnya mereka memutuskan mendaftarkan diri untuk maju dalam pemilukada mendatang dengan mengusung pasangan yang notabene berasal dari satu rumah. Sikap mereka yang mengusung pasangan dari satu rumah mencerminkan bahwa rasa percaya diri yang mereka miliki terlalu berlebihan sehingga tidak butuh kepada orang lain (baca: koalisi).
Waktu terus berjalan dan saat ini prosesi pemilukada telah memasuki tahapan kampanye dan tidak lama lagi akan segera berakhir. Dengan segala daya dan upaya para kontestan pemilu berusaha menggerakkan massa dalam jumlah besar untuk mengikuti kampanye terbuka. Meskipun mereka (baca: kandidat) telah melakukan ikrar bersama untuk menyukseskan pemilukada damai namun insiden demi insiden terus terjadi. Dimulai dari pemukulan terhadap tim sukses salah satu kandidat yang dilakukan oleh para bandit yang tidak etis jika disebut namanya. Bukan saja pemukulan dan pengancaman tetapi sampai pada tahap pembakaran terhadap harta benda milik salah satu kandidat. Baru–baru ini bahkan terjadi aksi pelemparan batu yang dilakukan oleh para bandit sehingga melukai beberapa masyarakat yang akan mengikuti kampanye salah satu kandidat yang notabene adalah lawan politik dari para bandit.
Aksi bandit ini akan terus meningkat menjelang hari H yang cuma tinggal beberapa hari lagi. Untuk meminimalisir aksi kekerasan yang dilakukan oleh para bandit tersebut diperlukan ketegasan dari pihak kepolisian dalam menyikapi persoalan ini. Pihak kepolisian jangan hanya menjadi penonton ketika tragedi terjadi. Pihak kepolisian sesegera mungkin harus memetakan lokasi–lokasi rawan untuk selanjutnya diamankan dengan kelengkapan personil dan peralatan yang sudah dianggarkan oleh negara. Penulis menyarankan kepada pihak kepolisian khususnya Polda Aceh agar tidak meniru gaya polisi dalam film India yang selalu hadir setelah kekacauan terjadi. Pihak kepolisian seharusnya tidak takut kepada para bandit yang hampir setiap hari membuat kekacauan.
Jangan Takut dengan Bandit
Dalam film India kita sering menyaksikan bagaimana Tuan Takur (bandit) dengan bebasnya melakukan pemukulan bahkan pembunuhan terhadap masyarakat. Di film tersebut juga terlihat bahwa polisi sama sekali tidak berdaya dalam menghadapi Tuan Takur. Polisi (dalam film India) yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat malah melakukan kerja sama dengan Tuan Takur.
Pembiaran terhadap aksi kekerasan yang selama ini terjadi di Aceh secara tidak langsung telah mencoreng citra kepolisian khususnya Polda Aceh. Dari sejumlah aksi kekerasan yang terjadi di Aceh, mulai dari pemukulan, perusakan, pembakaran dan bahkan pembunuhan pihak kepolisian terlihat lamban dalam menyelesaikan kasus–kasus tersebut. Jangan sampai masyarakat menyamakan Polda Aceh dengan polisi India.
Tahapan pemilukada yang saat ini sudah memasuki minggu tenang sangat rentan dengan kekerasan. Seharusnya pihak kepolisian segera melakukan langkah–langkah yang sistematis untuk mencegah aksi – aksi kekerasan yang sangat mungkin terjadi dalam masa kampanye. Tugas polisi bukan hanya mengumumkan aksi kekerasan yang sudah terjadi, tetapi pihak kepolisian harus mampu mencegah agar aksi kekerasan tidak sampai terjadi sehingga masyarakat tidak menjadi korban dari kebrutalan para bandit.
Jika polisi India bekerjasama dengan Tuan Takur dalam melegalkan kejahatan, sebaliknya Polisi Aceh harus berani menangkap Tuan Takur untuk selanjutnya di proses secara hukum. Aksi–aksi kejahatan yang selama ini dilakukan oleh Tuan Takur di Aceh harus segera di ungkap oleh pihak Kepolisian agar tidak timbul keresahan baru ditengah masyarakat. Jika Tuan Takur (bandit) dibiarkan begitu saja maka dikhawatirkan kebebasan berekspresi yang dimiliki oleh masyarakat akan punah karena mereka takut kepada Tuan Takur.
Ketakutan masyarakat terhadap Tuan Takur pastinya akan sangat berpengaruh pada hasil pemilukada 9 April mendatang. Intimidasi dan teror yang selama ini dilakukan oleh Tuan Takur terhadap masyarakat di Aceh juga telah merusak ikrar pemilukada damai. Akhirnya kita Cuma bisa berharap kepada pihak Kepolisian agar tidak Cuma “gagah” pakaiannya tetapi juga harus “gagah” tindakannya dalam menyelasaikan berbagai aksi kejahatan yang dilakukan oleh Tuan Takur. Wallahul Musta’an.[*]
*Khairil Miswar, Alumni IAIN Ar–Raniry Banda Aceh/Sekjend Jeumpa Mirah, tinggal di Bireuen.
Belum ada komentar