Banda Aceh – Tidak seperti wilayah-wilayah lain di tanah air, sebagian penduduk di Provinsi Aceh harus menjalani masa kampanye Pemilu di bawah bayang-bayang teror. Perusakan dan penyerangan brutal atas fasilitas partai-partai peserta Pemilu legislatif menghantui Aceh tanpa ada titik terang siapa pelakunya.
Polisi masih susah payah menyelidiki kasus-kasus itu. Petinggi intelijen mengaku sudah tahu siapa-siapa yang harus bertanggungjawab, namun masih perlu bukti.
Serangan teror masih saja terjadi. Bahkan, kali ini berakhir tragis. Nyawa perempuan muda berusia 28 tahun dan bayi 1,5 tahun terenggut dalam aksi teror terbaru di Aceh. Mereka warga sipil tak berdosa yang seharusnya tidak pantas menjadi tumbal kekerasan di bumi Serambi Mekkah. Padahal Pemilu legislatif tinggal satu pekan lagi, Rabu 9 April 2014.
Lebih memilukan lagi, Azirawati dan Khairil Anwar – demikian nama perempuan dan bayi yang tewas itu – tidak terkait dengan aktivitas politik di Aceh. Mereka hendak berobat ke Desa Bukit Teukuh ketika mobil yang ditumpangi keduanya diberondong peluru di Desa Geulanggang Teungoh Kecamatan Kota Juang Kabupaten Bireuen, Aceh, Senin malam 31 Maret 2014.
Sungguh sial, nyawa melayang hanya karena mereka menumpang mobil Kijang LGX berstiker calon anggota legislatif Partai Aceh. Selain Azirawati dan Khairil, tewas pula Juwaini, pria 29 tahun asal Desa Blang Pohroh Kecamatan Jeunieb, Bireuen. Sementara satu penumpang lainnya, Fakhrurrazi yang berusia 35 tahun, mengalami luka tembak di punggung dan dalam kondisi kritis.
“Tiba-tiba mobil tersebut ditembaki orang tak dikenal. Tiga orang meninggal. Dari hasil olah tempat kejadian perkara, kami menemukan 8 butir selongsong peluru kaliber 7,26 milimeter dari jenis senjata api AK-47,” ujar Kapolres Bireun AKBP M. Ali Kadafi. Selain itu, ditemukan 3 butir pecahan proyektil di dalam mobil, dan 2 butir pecahan proyektil di dalam tubuh korban Fakhrurrazi.
Berdasarkan pengamatan VIVAnews, terlihat 8 lubang bekas terjangan peluru di bagian belakang mobil. Satu di antaranya menembus hingga kaca depan mobil. Ini sesuai fakta bahwa tiga korban tewas dan satu korban luka berat duduk di bagian belakang mobil, berturut-turut dari kiri ke kanan adalah Fakhrurrazi (kritis), Azirawati (tewas), Juwaini (tewas), dan Khairil Anwar (tewas) di gendongan ibundanya, Misrwati (25 tahun, selamat).
Bersama sang sopir mobil nahas, total ada 11 orang yang berada dalam mobil berstiker caleg Partai Aceh itu. Seluruhnya merupakan warga Desa Lheu Simpang dan Blang Pohroh Kecamatan Jeunieb, Bireuen.
Saat diberondong peluru, sopir 30 tahun bernama Muhib sempat membawa mobil menuju Puskesmas Kota Juang Bireuen yang berjarak sekitar 500 meter dari lokasi penembakan. Sesampai di puskesmas, sejumlah warga langsung mengevakuasi korban dari dalam mobil ke Unit Gawat Darurat RSUD Bireuen.
Selasa pagi, 1 April 2014, korban luka Fakhrurrazi yang kritis kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Zainal Abidin, Banda Aceh, untuk menjalani operasi pengangkatan serpihan peluru.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh mengecam aksi teror di Bireuen tersebut. “Kami sangat berduka atas kejadian yang menimpa orang-orang tidak berdosa, terutama anak dan perempuan. Aceh saat ini dalam kondisi darurat kemanusian dan darurat demokrasi,” kata Ketua KontraS Aceh, Destika Gilang Lestari.
KontraS Aceh menuntut Pemerintah Aceh dan Kepolisian Daerah Aceh untuk bertanggung jawab atas tragedi itu. “Pasal 28 I ayat 4 UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah,” ujar Destika.
Ia juga meminta Kepolisian sebagai alat negara untuk berperan aktif dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan.
KontraS menyatakan, apapun alasannya, tidak ada satupun nyawa manusia yang berhak ditentukan oleh manusia lainnya. Oleh sebab itu KontraS menyerukan dihentikannya berbagai aksi kekerasan menjelang pemilu di Aceh agar tidak ada lagi nyawa melayang.
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Provinsi Aceh juga menyesalkan aksi teror yang menewaskan perempuan dan anak itu. “Kondisi di Aceh saat ini sangat memprihatinkan. Kekerasan menjelang pemilu telah memakan korban mereka yang tak berdosa,” ujar Ketua LBH Apik Aceh, Roslina Rasyid.
LBH APIK berharap polisi menepati janji untuk mengusut tuntas setiap kasus kekerasan yang terjadi di Aceh. Semua orang memilik hak untuk hidup, dan satu nyawa sangat berarti sehingga tidak ada satu manusia pun yang boleh mengambil hak asasi tersebut.
Saat ini Kepolisian mengintensifkan pengamanan di Aceh, salah satunya dengan melakukan razia di beberapa ruas jalan lintas provinsi Banda Aceh-Medan. Razia tidak hanya digelar di Kabupaten Bireuen, tapi juga di Kota Lhokseumawe di mana teror juga terjadi.
Jajaran Polda Aceh pun menggelar pertemuan di Markas Kepolisian Daerah Aceh di Banda Aceh paska penembakan yang menewaskan tiga orang di Bireuen tersebut.
Usai meminta keterangan dari lima penumpang mobil yang selamat dan tiga saksi mata di lokasi kejadian, Polda Aceh menyatakan telah mengidentifikasi pelaku penembakan. Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Gustav Leo, menyatakan penembakan tersebut terencana dan terkait pemilu.
Kedai dibakar
Penembakan terhadap mobil berstiker caleg Partai Aceh bukan satu-satunya teror di Aceh pada pekan terakhir kampanye terbuka ini. Sebuah warung atau kedai milik kader Partai Nasional Aceh (PNA) di Desa Kuala Meuraksa, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe, juga ludes terbakar, Selasa 1 April 2014, sekitar pukul 05.30 WIB.
Pemilik kedai itu adalah Hendra Budi, Wakil Ketua I Dewan Pimpinan Cabang PNA Kecamatan Blang Mangat yang berusia 34 tahun. “Menurut nelayan yang melihat kebakaran, awalnya ada api kecil di atas tanah. Sekitar 15 menit kemudian, api menyambar seluruh warung dan membesar,” ujar Hendra.
Syukurlah tidak ada korban jiwa karena saat kedai terbakar, tidak orang di sana. Hendra telah menutup kedainya sejak pukul 02.00 WIB dini hari. Ia pulang ke rumahnya yang berada di lokasi terpisah dari kedai tersebut, namun masih di satu desa.
Menurut Hendra, pembakaran kedai dilakukan oleh orang tak dikenal. Sebelum kedainya dibakar, Hendra kerap mendapatkan ancaman. “Sebulan yang lalu, warung saya memang diancam akan dibakar karena di sini sering dibuat berkumpul orang PNA,” kata dia.
Selain ancaman pembakaran terhadap kedainya, Hendra juga sempat diancam dibunuh karena terlibat dalam partai lokal PNA. “Saya diancam ditembak. Saya sudah pernah laporkan ke polisi soal ancaman tersebut,” ujarnya.
Ketua DPC PNA Kecamatan Blang Mangat, Ridwan Alamsyah, mengatakan kejadian itu sudah dilaporkan ke polisi. “Kami sudah lapor ke Polsek dan Koramil. Kami berharap bisa diusut tuntas,” kata Ridwan.
Kepala Kepolisian Sektor Blang Mangat AKP Fazli menyatakan sudah melakukan olah tempat kejadian perkara. “Motif pembakaran masih dalam penyelidikan. Kami belum bisa pastikan warung ini dibakar atau terbakar,” ujarnya.
Untuk diketahui, dua teror terakhir di Aceh tersebut sama-sama ditujukan kepada kader partai lokal di Aceh, yakni Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh. Kedua partai ini dibentuk oleh mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Partai Aceh bahkan sesungguhnya merupakan metamorfosis dari Partai GAM yang pada Pemilu 2009 meraih suara mayoritas di Aceh dengan mengantongi 47 persen kursi.
Sementara Partai Nasional Aceh didirikan oleh mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang merupakan mantan Staf Khusus Komando Pusat Tentara GAM dan Koordinator Juru Runding GAM. PNA juga didirikan antara lain oleh mantan Panglima GAM Aceh Rayeuk, Teungku Mukhsalmina; mantan Panglima GAM Linge, Ligadinsyah; dan mantan Juru Runding GAM, Amni bin Ahmad Marzuki.
Teror terhadap kader-kader partai lokal di Aceh sudah terjadi sejak awal Maret 2014. Jumat 7 Maret, posko Partai Nasional Aceh yang seatap dengan posko Partai Nasdem di Alue Awe, Geureudong Pase, Aceh Utara, dirusak belasan orang tak dikenal.
Kader PNA, Rusli Z, berhasil selamat dari upaya penganiayaan di posko itu setelah lari dan bersembunyi di kuburan yang berlokasi tak jauh dari posko tersebut. Sebelum melarikan diri, Rusli sudah akan pulang ke rumahnya di Desa Nga Lhoksukon Barat. Namun ia dihentikan paksa, ditarik dari atas motornya, dan dipukuli oleh sekelompok orang yang turun dari mobil.
“Mereka mengeroyok saya. Saya dipukuli, diinjak-injak, dan dilempar dengan parang dan batu,” kata Rusli. Ia mengatakan hampir terbunuh seandainya saja tak berhasil kabur. Orang-orang tak dikenal itu lantas merusak posko pemenangan, merobek dan membakar spanduk di posko, serta melempari rumah salah satu caleg PNA dengan batu.
Menurut Rusli, mobil yang dikendarai belasan pelaku itu berstiker partai lain. Oleh sebab itu ia yakin teror tersebut berkaitan dengan memanasnya suhu politik di Aceh menjelang pemilu.
Lima hari sebelumnya, Minggu malam 2 Maret 2014, caleg PNA bernama Faisal tewas diberondong 46 tembakan di Aceh Selatan saat sedang mengemudikan kendaraannya melintasi kawasan pegunungan yang sepi. Sebelumnya, mantan kombatan GAM itu sempat menerima telepon gelap yang meminta dia untuk segera kembali ke Sawang, daerah pemilihannya.
Mengendarai Honda Freed, Faisal kemudian kembali ke Sawang melewati wilayah pegunungan. Di situlah mobilnya ditembaki senapan laras panjang M16 berkaliber 5,56 milimeter. Faisal yang tertembak di bagian perut, punggung, dan dada lantas meninggal saat dibawa ke Rumah Sakit Umum Yulidin Away, Aceh Selatan. Polisi menyatakan kasusnya sebagai pembunuhan berencana.
Kerahkan Brimob
Kapolri Jenderal Sutarman menyatakan, masih banyak kelompok yang berkeliaran di Aceh dengan maksud melakukan penembakan serupa. Untuk itu Mabes Polri mengirim satu batalyon Brimob ke Aceh guna mencegah aksi teror terulang.
“Ada satu batalyon Brimob yang kami turunkan ke sana untuk melakukan langkah-langkah pencegahan,” kata Kapolri. Mereka akan menggelar operasi untuk mengecek kemungkinan adanya senjata yang masih beredar di tengah warga Aceh.
“Selanjutnya, tim penindak akan melakukan penyidikan terhadap kasus yang sudah terjadi. Mudah-mudahan dalam waktu singkat kami bisa ungkap,” ujar Sutarman.
Minggu, 30 Maret 2014, 341 personel Brimob atau tiga Satuan Setingkat Kompi dari tiba di Aceh. “Mereka diperbantukan dari Mabes Polri untuk memberi rasa aman kepada masyarakat, sebagai kekuatan cadangan yang ada di Polda dan Polres,” kata Wakapolda Aceh Brigadir Jenderal Polisi Endang Sunjaya, melalui Kepala Biro Operasi Polda Aceh Komisaris Besar Polisi Drs Anang Revandoko.
“Kami akan optimalkan dua per tiga kekuatan yang ada. Kami juga dibantu TNI di mana di tiap-tiap Kodim ada satu peleton yang siap bergerak jika dibutuhkan,” kata Anang.
Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman menyatakan intimidasi dan ancaman bersenjata di Aceh masih akan terus berlangsung. BIN, Kepolisian, dan TNI bekerjasama untuk mengungkap siapa dalang teror di Aceh.
Menurut Marciano, BIN sesungguhnya sudah mengetahui kelompok mana saja yang melakukan aksi teror menjelang pemilu. “Ada dua kelompok berlawanan dengan afiliasi yang berbeda,” kata dia tanpa mau menjelaskan rinci soal kedua kelompok tersebut.
Namun, aparat penegak hukum perlu membuktikan lebih dulu bahwa kedua kelompok itu memang benar terlibat dalam rangkaian aksi teror menjelang pemilu. Satu-satunya cara adalah menangkap para pelaku penembakan tersebut. [viva.co.id]
Belum ada komentar