Haba No Name
Ini kisah uang seribu dan seratus ribu rupiah. Konon, uang seribu dan seratus ribu memiliki asal-usul yang sama tapi mengalami nasib yang berbeda. Keduanya sama-sama dicetak di Peruri dengan bahan dan alat-alat yang oke.
Pertama kali keluar dari Peruri, uang seribu dan seratus ribu sama-sama bagus, berkilau, bersih, harum dan menarik. Namun tiga bulan setelah keluar dari Peruri, uang seribu dan seratus ribu bertemu kembali di dompet seseorang dalam kondisi yang berbeda.
Uang seratus ribu berkata pada uang seribu, “Ya, ampuunnnn. ……… darimana saja kamu, kawan? Baru tiga bulan kita berpisah, kamu udah lusuh, kumal, kotor, lecet dan….. bau. Padahal waktu kita sama-sama keluar dari Peruri, kita sama-sama keren?”
Uang seribu menatap uang seratus ribu yang masih keren dengan perasaan nelangsa.
Sambil mengenang perjalanannya, uang seribu berkata, “Ya, beginilah nasibku , kawan.
Sejak kita keluar dari Peruri, hanya tiga hari saya berada di dompet yang bersih dan bagus. Hari berikutnya saya sudah pindah ke dompet tukang sayur yang kumal. “
“Dari dompet tukang sayur, ke kantong plastik tukang ayam. Plastiknya basah, penuh dengan darah dan taik ayam. Besoknya lagi, aku dilempar ke plastik seorang pengamen, dari pengamen sebentar aku nyaman di laci pedagang bakso,” paparnya.
Lalu, lanjut uang seribu, dirinya berpindah ke kantong pedagang kwaci. Begitulah perjalananku dari hari ke hari. Itu makanya saya bau, kumal, lusuh, karena sering dilipat-lipat, digulung-gulung, diremas-remas. ……”
Uang seratus ribu mendengarkan dengan prihatin. “Wah, sedih sekali perjalananmu, kawan! Berbeda sekali dengan pengalamanku. Kalau aku ya, sejak kita keluar dari Peruri itu, aku disimpan di dompet kulit yang bagus dan harum. Setelah itu aku pindah ke dompet seorang wanita cantik. Hmmm… dompetnya harum sekali.”
Setelah dari sana, kata uang seratus ribu, dirinya berpindah-pindah. “Kadang-kadang aku ada di hotel berbintang 5, masuk ke restoran mewah, ke showroom mobil mewah, di tempat arisan ibu-ibu pejabat. Pokoknya aku selalu berada di tempat yang bagus. Jarang deh aku di tempat yang kamu ceritakan itu. Dan, aku jarang lho ketemu sama teman-temanmu.”
Uang seribu terdiam sejenak. Dia menarik nafas lega. “Ya. Nasib kita memang berbeda. Kamu selalu berada di tempat yang nyaman. Tapi ada satu hal yang selalu membuat saya senang dan bangga daripada kamu!”
“Apa itu?” uang seratus ribu penasaran.
“Aku sering bertemu teman-temanku bergabung rame rame di acara pengumpulan dana, dan paling sering aku bersama teman teman masuk kotak amal mesjid dan kotak amal di tempat ibadah yang sejuk. Hampir setiap minggu aku mampir di tempat-tempat itu. Memang, jarang sekali aku melihat kamu atau teman kamu di sana…..”
“Oh, ya! Ternyata kamu lebih mulia ketimbang aku,” ucap uang seratus ribu, menyesali nasibnya.[*]
Belum ada komentar