Dinas Syariat Islam Aceh memilih Gampong Lamnga sebagai Gampong Percontohan Syariat Islam di Aceh. Jika Anda sering melihat atau mendengar T Nyak Makam sebagai nama jalan di Kota Banda Aceh, datanglah ke gampong ini bila ingin lihat makam dan sejarahnya. Pada pengujung tahun lalu, gampong ini ditelusuri selama beberapa hari.
Berikut laporan yang ditulis oleh Makmur Dimila.
PULUHAN lelaki, tua dan muda, duduk bersaf-saf menghadap seorang ustaz yang disapa Teungku. Mereka memangku kitab kuning dengan tulisan arab gundul sebagai panduan mendengar surah atau penjelasan dari isi kitab.
“Jika ada 1000 warga Lamnga berzikir setiap saat, saya yakin dan percaya, dirham akan keluar di tanah gampong kita. Tapi kita hari ini, kalau ada emas yang mau muncul malah cepat-cepat membenamkan diri lagi dalam tanah,” surah Teungku Iswandi mengundang tawa 20-an peserta majlis taklim.
Majlis taklim merupakan salah satu kegiatan islami warga Lamnga yang dilakukan di masjid mukim setiap usai salat magrib berjamaah. Masjid mukim itu ditancapkan di tengah-tengah Gampong Lamnga.
Pascatsunami, Muslim Bosnia menyumbang Rp 1,3 miliar untuk merenovasi masjid itu pada 2005. BRR memegang proyek. Letaknya cukup strategis, tapi masjid beraksitektur islam Eropa itu tidak begitu besar. Hanya bisa menampung sekitar 300 jamaah.
“Seharusnya ada AC di masjid itu. Begitulah kalau orang pegang tender. Coba kalau diserahkan ke masyarakat, saya rasa uang sebanyak itu akan lebih berguna,” beber Teungku Iswandi.
Al-Mahabbah yang berarti “dicintai” adalah nama tambahan bagi masjid jamik itu. Diberikan ulama Aceh (alm) Dr. Abuya Muhibbuddin Waly saat pertama kali mengunjungi Lamnga pada 2005. Ulama itu memimpin doa bersama di masjid yang berhadapan dengan Madin dan TPA tersebut.
Selepas kedatangan Abuya itu, semua lembaga keagamaan ditabali nama Al-Mahabbah, termasuk Madin. “Bagi Abuya, Lamnga sudah kayak rumah sendiri. Beliau sering kemari sebelum wafat,” aku Teungku kelahiran 1975 itu.
Abuya senang ke Lamnga, menurutnya, mungkin karena nilai sejarah di gampong ini. Di sisi kiri masjid, ada kuburan Panglima T Nyak Makam.
Panglima Teuku Nyak Makam lahir di Lamnga, Aceh Besar, pada 1838. Ia memimpin perjuangan rakyat Aceh menentang penjajahan kolonial Belanda selama 40 tahun. Hingga ia ditangkap oleh Letkol G.F. Sooters di Lamnga pada 21 Juli 1896 dalam keadaan sakit parah.
Nyak Makam kemudian dipancung serdadu Belanda di hadapan keluarga dan pengikutnya. Kepalanya diarak keliling Kutaraja. Lalu diawetkan dalam botol besar dan dipamerkan di koridor Rumah Sakit Militer Belanda di Kuta Alam. Sementara tubuhnya dikuburkan di sini tanpa kepala, karena sampai saat ini belum ditemukan kepalanya.
Demikian tertulis di prasasti makam. Tapi menurut cucu T Nyak Makam, (alm) Letkol T Ibrahim Sa’adi mantan Walikota Banda Aceh, kepala panglima perang itu ada di Belanda.
“Menurut cerita Teuku Ibrahim Sa’adi kepada warga Lamnga, dia pernah diminta datang ke Belanda untuk mengambil kepala kakeknya. Tapi beliau tidak mau,” terang Teungku Iswandi.
Sejarah juga tertanam di luar pekarangan masjid. Diantara puluhan batu nisan pada pemakaman umum, ada 6 pasang batu nisan ulama asal Irak yang dikuburkan di situ. Mereka datang pada masa Kerajaan Aceh. Terdiri atas dua pria dan empat wanita.
Baca Juga: Beda Nasib Aceh Dulu dan Sekarang
Teungku Iswandi bilang, “cerita tetua Lamnga, sejak mereka lahir, makam ulama Baghdad itu sudah ada.”
Selain menelurkan cerita kearifan lokal, tetua Lamnga juga gemar menebarkan nilai-nilai syariat kepada anak-cucu. Remaja setempat misalnya, sejak 1990-an digalakkan mengikuti lomba takbir se-Aceh saat Lebaran Haji.
“Alhamdulillah kami selalu dapat juara lomba takbir, mulai dari juara satu hingga harapan,” ujar Zakia Mubarak yang disapa Syeh, Ketua Grup Takbir Al-Mahabbah.
Menurut Syeh, Teungku Haji Zainun Musa yang kini berusia 80-an, cukup memberi pengaruh positif bagi masyarakat. Imam Besar Masjid Al-Mahabbah, yang populer disapa Imum Syik itu, memimpin jamaah salat wajib lima waktu sejak 1970-an.
“Pada musim Maulid Nabi tahun 2011, Grup Zikir Al-Mahabbah diundang ke Sabang. Imum Syik tidak mau ikut, ia lebih khawatir tidak ada yang pimpin jamaah salat di gampong. Akhirnya kami saja yang berangkat, 35 orang,” cerita Syeh, yang juga salah satu Syeh Like (pemimpin zikir maulid).
Grup Zikir, menurut Teungku Tamin, sudah dibentuk puluhan tahun lalu. “Sejak saya kecil sudah ada,” ungkapnya. “Saya dulu juga memimpin like,” kata ayah Syeh itu.Kini Teungku Tamin dipimpin anaknya jika harus bergabung dalam kesempatan zikir maulid. Regenerasi yang mulia.
Butuh Gapura Selamat Datang
Saya menyambangi Lamnga pada 8 November 2013 kali pertama. Cukup 10 menit berkendara dengan kecepatan rata-rata 80 dari Jembatan Krueng Cut—perbatasan Banda Aceh-Aceh Besar—untuk tiba di gampong yang terletak di Jalan Laksamana Malahayati KM 13.
Lorong utama Lamnga hanya selemparan batu setelah SPBU di kanan jalan dan sebuah jembatan gantung di kiri jalan. Sekilas, tidak ada tanda-tanda bawah lorong itu akan memasuki Gampong Lamnga sebagi Gampong Percontohan Syariat Islam.
“Seharusnya Dinas Syariat Islam Aceh melalui instansi terkait membangun gerbang atau gapura di lorong masuk Gampong Lamnga, sehingga orang-orang yang melintasi Jalan Krueng Raya tahu kalau ini adalah Gampong Percontohan Syariat Islam,” harap Teungku Iswandi malam itu.
Dengan adanya gapura selamat datang, tegas Pegawai Dinas Pendidikan Aceh Besar ini, warga Lamnga pun bertanggungjawab penuh atas status gampong percontohan. “Misal ada wanita yang berpakaian ketat di gampong, tinggal kami tunjuk gapura itu,” dia menguatkan alasannya.
Baru pada kunjungan sehari berikutnya, saya melihat ada pamflet bertuliskan “Selamat Datang di Lamnga, Gampong Percontohan Syariat Islam”. Pengumuman itu dipancang di Lorong Utama Gampong Lamnga, tepat di samping kompleks SDN 1 Lamnga. Tapi sulit ditangkap sorotan mata dari jauh. Tulisannya memakai font bercabang dan tipis.
Padahal, setelah pamflet itu, saya bagai masuk ke objek wisata islami. Sepanjang lorong, ditancapi papan Asmaul Husna. Mulai dari kanan SDN 1 Lamnga, kanan Tugu Tsunami, belakang Puskesmas, depan Kantor Keuchik dan Meunasah Lamnga di kiri, TK di kanan, lapangan voli dan pemakaman umum di kiri, hingga masjid dan Madin. Bahkan ke lorong-lorong lain juga dituntun dengan Asmaul Husna dengan media tulisan bercahaya hijau daun pada malam hari.
“Gapura atau gerbang itu memang sangat penting, terutama kalau kedatangan tamu. Lebih-lebih gampong kami terletak di samping jalan raya menuju objek wisata. Dengan adanya ‘Gerbang Selamat Datang di Gampong Percontohan’, orang yang hendak ke Pantai Ujong Batee, Krueng Raya, atau Pasir Putih, jadi tahu kalau Lamnga adalah gampong percontohan syariat islam,” urai Teungku Maksum Usman, pengawas Program Gampong Percontohan Syariat Islam dari pihak masyarakat.
Ketua MPU Kecamatan Masjid Raya itu menegaskan, “jika ada gerbang itu, kebanggaan syariat islam juga terlihat ke masyarakat luas. Dan kami pun bangga.” Senyum terlukis di wajahnya yang mulai berkerut.
Sira Lamnga Yang Hilang
GAMPONG Lamnga adalah pusat Kemukiman Lamnga, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Gampong Baro, Neuheun, Durong, dan Ladong mengelilinginya. Warga lima desa itu biasanya mengasapi dapur keluarga dari hasil bertani garam (sira-Aceh).
Masyarakat leluasa memproduksi garam di Pasi (pantai) Lamnga yang berbatasan dengan Gampong Baro di bibir laut. “Sira Lamnga“ cukup dikenal warga Aceh Besar dan Banda Aceh.
Namun, tsunami 26 Desember 2004 melenyapkan sumber perekonomian warga itu; Gampong Baro juga tak membekas karena sebagian permukaan menjadi laut. “Tapi alhamdulillah, gampong Lamnga yang hanya beberapa kilo meter dari laut, tidak parah terkena tsunami,” cerita Teungku Iswandi.
Masyarakat Lamnga pada umumnya petani garam, nelayan, dan PNS. Paska musibah itu, warga tidak bisa lagi produksi garam karena lahan dan gudangnya tersapu gelombang raksasa.
“Jika sekarang ada yang bilang menjual ‘sira lamnga’, itu tidak benar. Kami tidak bisa produksi garam lagi setelah tsunami,” tegas putra asli Lamnga ini.
Warga Lamnga menurutnya masih berkeinginan memproduksi garam. Namun kesulitan modal untuk membangun gudang garam. “Butuh biaya 7-10 juta untuk pengadaan gudang produksi garam. Kami sangat berterimakasih jika ada pihak terkait yang membantu,” harapnya.
Di samping harapan yang membuncah itu, masyarakat Lamnga sangat antusias mendukung pelaksanaan Gampong Percontohan Syariat Islam. Iswandi mengakui, semua kegiatan yang dibimbing Dinas Syariat Islam Aceh sejak 2012 berjalan baik.
“Pembiayaan untuk program TPA sangat terbantu. Jika Dinas tak sediakan anggaran, kami kewalahan,” akunya.
Hingga kini, pihaknya sedang mengajari 165 anak Lamnga di TPA dan Madin. Proses belajar-mengajar ditiadakan pada Jumat dan Minggu.
Di hari kosong itu, sebagian anak-anak SD, SMP, SMA, antusias latihan tilawah yang dibimbing qari Aceh. Remaja putri dan ibu-ibu rutin latihan barzanji dan asmaul husna dengan Grup Marhaban mereka. Sedangkan remaja putra giat latihan dalail khairat dan zikir.
Kepala keluarga dan ibu rumah tangga rutin mengikuti pengajian di masjid mukim, kecuali malam Minggu. Itu juga bagian dari program Beuet Alquran Bakda Magrib yang dicanangkan Bupati Aceh Besar. “Masjid sudah kayak pesantren lah,” celutuk Teungku Maksum yang juga dapat giliran mengajar.
Kegiatan agama mudah berkembang di Lamnga, menurut mantan Imum Mukim itu, karena penerapan Syariat Islam sudah dimulai lama sebelum tsunami. “Di samping itu, organisasi juga telah hidup di sini sebelum tsunami, seperti Karang Taruna,” katanya.
Namun begitu, penguatan agama harus didukung pemberdayaan ekonomi. “Ada peserta majlis taklim yang biasanya selalu hadir, tiba-tiba absen karena harus mencari nafkah ke laut,” ungkap Iswandi.
Dinas Syariat Islam memang membentuk Baitul Mal melalui program gampong percontohan. “Tapi kami tidak tahu bagaimana cara mengelolanya. Yang kami tahu, seperti dijelaskan dalam kitab, baitul mal adalah tempat penyimpanan dan penyaluran harta,” aku Teungku Usman.
“Kami sulit membangun link dengan pihak terkait,” tambah Syeh yang juga menjadi asisten sekdes. “Kami maunya, pihak Dinas Syariat Islam datang kemari mengadakan training pengelolaan Baitul Mal,” harap Teungku Maksum.
Pembinaan Baitul Mal oleh Dinas Syariat Islam secara langsung sangat penting menurut Iswandi. “Kefakiran dekat dengan kekufuran,” dia menamsilkan fenomena orang-orang yang jauh dari beribadah karena harus mencari nafkah.
“Saya yakin, Baitul Mal adalah kunci kesejahteraan masyarakat Lamnga dalam mendukung pelaksanaan gampong percontohan syariat islam,” tegasnya.
***
Syiar Islam dengan Mendirikan Diniyah
PEREKONOMIAN meredup. Tapi tidak dengan penegakan Syariat Islam. Upaya melestarikan syiar islami sudah dimulai pada 1992 ketika mendirikan Madrasah Diniah bagi anak-anak usia SD, SMP, dan SMA/sederajat. Disusul pendirian TPA Al-Munawwarah pada 1997.
Teungku Saridin Harun, salah seorang pencetus Madrasah Diniyah (Madin) Lamnga mengungkapkan, lembaga pendidikan non-formal itu hadir untuk mengatisipasi kenakalan remaja.
“Masa itu, anak-anak SD kalau pulang sekolah menyabung ayam,” ketusnya. “Selain itu, anak-anak Lamnga harus mengaji ke Neuheun, gampong tetangga. Kadang kalau pulang, ban sepeda mereka sering bocor. Jadi perlu kita buat lembaga pendidikan yang dekat, sehingga mudah dikontrol,” sambungnya.
Anak-anak Lamnga belajar sekolah formal sedari pagi hingga siang. Ketika angka menunjukkan pukul 15.00 WIB, lonceng berbunyi di ruangan Madin Al-Mahabbah. Mereka akan belajar agama hingga tiga jam kemudian.
Baca Juga: Sekolah di Aceh Besar Programkan Dinul Islam Selama Ramadhan
“Ada tiga kelas di Madin. Awwaliyah selama 4 tahun belajar, Wushta 2 tahun, dan ‘Ulya 2 tahun. Sementara TPA cukup satu tahun belajar; jika sudah bisa baca Alquran, baru lanjut ke Awwaliyah,” jelas Teungku Iswandi, Kepala Madin Al-Mahabbah merangkap Kepala TPA Al-Munawwarah.
Kini, dia sedang mengupayakan Madin Al-Mahabbah untuk memenangkan Lomba Madrasah Diniah Unggulan se-Indonesia. Dia sudah mengirimkan semua persyaratan penilaian dalam bentuk audio visual melalui Kanwil Kemenag Aceh.
Semangat pengembangan Madin Al-Mahabbah membubung tinggi setelah dikunjungi Direktur Madrasah Diniah dan Pondok Pesantren Pusat dari Kemenag RI, Said Mustafa, pada September 2013. Iswandi merasa sangat pantas Madin Al-Mahabbah menjadi Madin Unggulan.
“Selama ini, jika ada pihak yang ingin mengetahui Madin terbaik di Aceh Besar, Dinas terkait pada Pusat Pemerintahan di Jantho menunjuk Diniah Al-Mahabbah dari tujuh Madin yang ada di Aceh Besar,” ujarnya.
Dia menyatakan, penunjang mutu Madin perlu terus ditingkatkan. Sebab kehadiran Diniah di tengah-tengah masyarakat dapat membantu pendidikan agama bagi anak-anak. Apa yang tak diperoleh di sekolah umum dapat dicapai pada Diniah.
“Jika kemudian menjadi Madrasah Diniah Unggulan, biaya operasionalnya langsung dari Pusat,” kata Iswandi. Sehingga, cita-cita Teungku Saridin mencegah kenakalan remaja dengan mendirikan Madin mudah terwujud.
Madin Al-Mahabbah tunduk pada Kasie Madin dan Pondok Pesantren (Pontren) Aceh Besar. Setiap Madin dapat bermediasi dalam Forum Komunikasi Diniah Tingkat Kabupaten dan Provinsi.
***
Layak Dijadikan Wisata Islami
LAMNGA memang layak menjadi destinasi wisata islami. Sebelum visitasi oleh Direktur Madrasah Diniah Pusat, ada banyak tokoh seperti anggota dewan datang membawa donasi bagi pembangunan lembaga keagamaan, terutama untuk masjid.
Saya barangkali yang pertama merasakan kedamaian berwisata islami di Lamnga. Sore 9 November, semangat syiar islam terlukis di seratusan pasang mata anak-anak Madin Al-Mahabbah.
Hari itu, usai rehat untuk salah jamaah Ashar setelah belajar di ruangan kelas Madin, mereka antusias melanjutkan kajian di masjid. Spirit syiar islami juga terpancar dari aura wajah ustaz/ustazah yang kebanyakan alumni Madin Al-Mahabbah.
Semangat syiar islami itu sesungguhnya dapat memperkuat potensi wisata islami di Gampong Lamnga. Lebih-lebih, seperti ada kedamaian di gampong ini. “Rejeki lancar. Keamanan pun demikian. Kasus pencurian ada, tapi sangat langka,” sebut Iswandi.
Menurutnya, kelancaran rejeki dan kedamaian masyarakat, berkat menegakkan Syariat Islam. “Namun, tak ada yang sempurna, tetap ada satu-dua orang yang tidak berpakaian islami di sini,” bebernya.
“Enak tinggal di sini, masyarakatnya ramah, pergaulannya tinggi,” aku Zaini, warga Sinabang berusia 82 tahun yang sudah dua bulan bersama besannya di Lamnga.
Di balik keluh-kesah dan kesan gampong percontohan itu, ada satu cita-cita besar masyarakat Lamnga. “Kami sangat mengharapkan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh atau Kabid program ini datang langsung ke Lamnga untuk mendengar aspirasi kami. Buatlah semacam forum antara gampong dengan pemerintah,” terang Iswandi mewakili masyarakat Lamnga.
Baca Juga: Kembangkan Wisata Aceh Selatan Menjadi Wisata Islami
Menurut Keuchik, Muhammad Ali Ibrahim, Lamnga dihuni 1059 jiwa dengan 282 kepala keluarga. Dengan luas, 480 ha, gampong ini sangat berpotensi dijadikan wisata islami. Sejumlah manggrove kini tumbuh di tambak bekas produksi garam.
Jika merujuk sejarah, Gampong Lamnga dikenal dengan sebutan “babah darah” atau mulut darah. Sejak zaman Kerajaan Aceh, Lamnga dikenal gampong yang aman.
“Setiap masuk ke gampong ini, di pihak manapun seseorang, akan aman dari musuh. Begitupun jika musuh yang masuk, ia takkan bisa menyerang; malah mendapat binaan dari warga setempat,” kisah Teungku Iswandi yang juga tokoh masyarakat.
Babah darah itu menjalar pada masa konflik bersenjata antara RI dan GAM. Kedua pihak bertikai tidak pernah mau tinggal atau singgah ke Lamnga.
“Posisi Lamnga bagai pulau, dikelilingi sungai yang berbatasan dengan gampong tetangga: Lam Ujong dari arah Banda Aceh dan Neuheun dari arah Krueng Raya,” tutur Teungku Iswandi, “sehingga topografi wilayah demikian tak menguntungkan gerilyawan maupun tentara pemerintah.”
Hingga kini, para pendatang pun betah tinggal di sana. “Hampir semua pendatang menetap di Lamnga kemudian,” sebutnya. Kenapa Lamnga begitu aman? “Mungkin berkat dari usaha seluruh pihak Gampong Lamnga yang berupaya menegakkan Syariat Islam,” sahutnya.
DSI: Tak Mudah Membentuk Gampong Percontohan
Membentuk kesadaran masyarakat Aceh agar berperilaku sesuai syariat islam harus dimulai dari skala terkecil. Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh memetakan gampong se-Aceh pada 2008 untuk memilih tiga gampong yang dijadikan rule model pelaksanaan syariat islam.
Pengalaman tahun-tahun sebelumnya, program gampong percontohan syariat islam hanya berlangsung sehari. Tim dinas mendatangi gampong itu dan memberikan workshop. Mereka pulang, perilaku gampong kembali seperti biasa.
“Belajar dari situlah, saya pikir, tidak ada gampong percontohan yang instan,” ungkap Husni, Kabid Dakwah dan Peribadatan Dinas Syariat Islam Aceh, awal November 2013. “Untuk membentuk gampong percontohan butuh waktu bertahun-tahun,”sambungnya.
Ketiga gampong terpilih berdasarkan kriteria antara lain: majlis taklim berjalan; salat berjamaah hidup di meunasah; adanya pengadilan adat; kelengkapan struktur organisasi; dan rutin melaksanakan syiar islam seperti perayaan Hari Besar Islam.
Dinas sengaja tidak memilih gampong tertinggal. Sebab konsep dari program itu ialah ingin segera menunjukkan model gampong percontohan dalam mensyiarkan islam kepada gampong-gampong se-Aceh.
“Program itu bukan dimulai dari nol, melainkan harus dari gampong yang sudah memiliki benih-benih syiar islam dalam kehidupan masyarakatnya,” jelas Husni.
Gampong percontohan diharapkan dapat menjadi model pelaksanaan syariat islam bagi seluruh gampong di Aceh. “Syiar islam tidak hanya dari sisi agama, tetapi juga diaplikasikan dalam aspek-aspek hidup lainnya,” simpul Husni.
Ketiga gampong terpilih dibina sejak Januari 2012. Pihak dinas mengalokasikan dana dan tenaga didik yang diseleksi tim dari DSI. Kegiatan-kegiatan berikut dihidupkan: mengaktifkan pengajian bagi kepala keluarga dan ibu rumah tangga, mengaktifkan TPA, mengaktifkan kesenian islami seperti tilawatil quran, barzanji, dan dalail khairat.
Baca Juga: Mahasiswa Minta Walikota Serius Tegakkan Syariat Islam
“Untuk sementara,” tandas Husni, “gampong-gampong itu masih dalam penguatan bidang agama. Jika nanti sudah terpenuhi, akan dilanjutkan dengan aspek lain, seperti pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.”
Menurutnya, pemerintah dan masyarakat harus saling mendukung agar program itu berhasil. “Kalau menganggap program ini ‘proyek’, maka tidak akan berhasil,” tegas Husni yang menjabat Kabid Dakwah dan Peribadatan sejak 2011. Di samping itu, bantuan dari instansi lain sangat dibutuhkan.
Setelah hampir dua tahun berjalan, semua kegiatan aktif di gampong terpilih, yaitu Lamnga (Aceh Besar), Arafah (Langsa), dan Sukatejo (Aceh Selatan). Dalam beberapa kunjungannya, Husni menemukan perkembangan. Masyarakat antusias mengikuti pengajian, melancarkan TPA, latihan tilawatil quran bagi umum, barzanji bagi ibu-ibu dan remaja putri, dan dalail khairat bagi remaja putra atu anak muda.
“Misal pada TPA Lamnga, kami cuma menyediakan anggaran untuk empat orang guru, tapi mereka bisa hadirkan sembilan guru,” sebutnya.
“Yang perlu dimantapkan ke depan adalah pemberdayaan ekonomi sesuai dengan taraf hidup masyarakat gampong percontohan. Misal Lamnga yang dominan berpenghasilan dari kelautan dan PNS,” tuturnya.
Husni menyatakan, program itu terhenti bila gampong tersebut sudah bisa mandiri mensyiarkan islam dari berbagai aspek. “Setelah itu, jika ingin contoh gampong pelaksanaan syariat islam, datanglah ke Lamnga,” simpulnya.
Gampong yang berbatasan dengan Lam Ujong dan Neuheun itu tidak hanya pantas sebagai Gampong Percontohan Syariat Islam, tetapi juga sangat layak dikembangkan menjadi lokasi wisata islami. Jika kesana, datanglah sore hari. Lalu menanti matahari terbenam dari titi gantung, kemudian mengikuti kajian agama di Masjid Al-Mahabbah usai magrib[]
Penulis: Makmur Dimila
Belum ada komentar