PASAL 18 B ayat (2) UUD 1945 memberi peluang kepada daerah-daerah yang memiliki kekhasan dalam hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya untuk membentuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, seperti yang berlaku dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam, dan Daerah Istimewa Papua. Dengan kekhasan yang dimiliki oleh Sumatera Barat dengan adat dan budaya Minangkabau selama ini, makin santer suara dari tokoh-tokoh masyarakat, di ranah dan di rantau, untuk juga memperjuangkan agar Sumatera Barat dijadikan Daerah Istimewa Sumatera Barat, atau “Daerah Istimewa Minangkabau” sesuai dengan nama jatidiri sosial-budayanya itu.
Usaha ini makin terasa setelah nagari dihapus dan diganti dengan desa di zaman Orde Baru Soeharto dulu. Alangkah bedanya antara nagari dengan desa itu. Di nagari, yang berkuasa itu adalah rakyat. Sedang walinagari dan anggota kerapatan nagari hanyalah pelaksana yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting di bidang mereka masing-masing. Di nagari, belum lagi orang di Eropah dan Amerika sana mengenal demokrasi, di Minangkabau demokrasi kerakyatan itu sudah ada. Dengan nagari diganti dengan desa, seperti yang berlaku di Jawa, maka situasipun berubah. Rakyat yang tadinya punya kekuasaan, sekarang semua diberikan kepada kepala desa. Kepala desa atau kades itulah yang menghitam-memutihkan, mengatur semuanya, dengan instruksi yang datang dari atas.
Ketika musim berganti, sistem berubah, rezim Orde Baru berganti dengan rezim Reformasi, dari Soeharto selama 32 tahun dengan sedikit selingan di awal reformasi dari tiga presiden yang masuk menyelinap – Habibie, Gus Dur, Megawati — ke Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY yang sekarang sudah dua periode dan tidak akan berlanjut lagi. Sekilas kelihatannya seperti berbeda. Tetapi esensinya ternyata tetap sama. Ketika desa di Sumatera Barat kembali ke nagari, ternyata yang kembali itu hanya nama. Tetapi sistem dan tabiatnya tetap sama. Mungkin karena orang nomor satu di atasnya tetap orang Jawa yang terbiasa berbudaya feodal-hirarkis-vertikal; apalagi kedua-duanya juga jenderal, militer yang suka bertangan di atas. Di nagari di zaman reformasi ini, formalnya ada semuanya. Ada walinagari, ada DPR Nagari yang namanya suka berubah-ubah, di samping juga ada KAN –Kerapatan Adat Nagari—, ada organisasi pemuda dan ada organisasi wanita yang suka disebut Bundo Kanduang; juga ada TTS – Tungku nan Tigo Sajarangan—, dan sebagainya. Tetapi semua itu, kecuali walinagari, lebih ada di atas kertas yang fungsinya lebih banyak seremonial dari keadaan sesungguhnya sesuai dengan nama dan mereknya itu. Nagari, karena itu, “dia ada tapi tiada” – dek e ono, neng ora ono — kata orang Jawa, atau “wujûdihi ka’adamihi” kata orang Arab.
Dengan nama kembali ke nagari tetapi esensinya tetap desa, maka keinginan untuk menjadikan Sumatera Barat menjadi Daerah Istimewa kelihatannya makin santer. Apa lagi yang namanya provinsi, kabupaten dank, benar-benar lebih banyak mendengarkan dan melaksanakan instruksi dari pusat di Jakarta, daripada mendengarkan rintihan dan kehendak dari warga di nagari di daerah masing-masing.
Itu satu. Sisi lainnya adalah bahwa adat yang dipakai di Minangkabau adalah adat yang bersendi kepada syarak, dan syarak bersendi kepada Kitabullah (ABS-SBK). Adat yang sejalan dengan syarak dipakai, yang tidak sejalan, dibuang. Sementara di sisi lain lagi, kendati adat dasarnya adalah matrilineal, tetapi bukan matriarkal, sedang syarak adalah kedua-duanya, patrilineal dan patriarkal. Jadi hanya penentuan garis keturunan di Minangkabau yang menurut garis keluarga ibu, sementara kekuasaan dalam keluarga ibu tetap ada di tangan laki-laki, yaitu mamak dalam kaum, penghulu dalam suku.
Tuntutan dari masyarakat sendiri sejauh ini kelihatannya masih sporadis, dan hilang-hilang timbul. Dengan gelagat yang sudah dimunculkan sekarang ini, kelihatannya belum cukup kuat untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, untuk menuntut diberlakukannya Pasal 18 B ayat (2) dari UUD1945 itu untuk diterapkan di wilayah Sumatera Barat.
Diperlukan gema yang kuat dan kemilau dari berbagai kalangan di daerah ini, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun nagari-nagari sendiri. Dan yang tak kurang pentingnya dari ormas-ormas dan suara TTS dari ninik-mamak, alim ulama dan cerdik pandai, baik di ranah maupun di rantau di manapun di dunia ini. Tegasnya, ada tuntutan yang serempak dan cergas dari masyarakat sendiri seperti yang pernah diperlihatkan oleh masyarakat Aceh dan Papua sebelumnya.
Media pers dan gerakan-gerakan spontan dari para mahasiswa, pemuda dan wanita, jelas akan memainkan peranan yang akan sangat menentukan. Mari kita tunggu! Sementara itu para pemikir dari kelompok TTS juga harus bekerja keras dalam menyusun konsep yang sistemik dengan apa yang sesungguhnya yang diinginkan dengan DI Sumbar atau Minangkabau itu.[haluan]
Belum ada komentar