PEMERINTAH Indonesia mempertanyakan penilaian Lembaga HAM, Amnesty International, yang menganggap Indonesia gagal mengungkapkan kebenaran kasus dugaan pelanggaran HAM di Aceh saat konflik.
Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM Harkristuti Harkrisnowo menyatakan, seharusnya Amnesty International memahami seluruh konstelasi persoalan di seluruh Indonesia yang tidak sederhana.
“Jadi kalau dianggap gagal, ya mungkin Amnesty International melihat (Indonesia) sebagai negeri-negeri kecil. Tapi Indonesia ini ‘kan besar sekali,” kata Harkristuti Harkrisnowo, Jumat (19/04) sore.
“Jadi kalau dianggap gagal, ya mungkin Amnesty International melihat (Indonesia) sebagai negeri-negeri kecil. Tapi Indonesia ini ‘kan besar sekali.”
Harkristuti kemudian mencontohkan konstelasi persoalan di Aceh. “Kita baru saja pemilihan guberrnur (Aceh) tahun lalu. Jadi semua harus diteliti dengan seksama,” tambahnya.
Dari kondisi seperti itulah, menurutnya, pemerintah Indonesia tidak bisa membuat keputusan segera. “Karena nanti akan dikhawatirkan menimbulkan persoalan lebih besar”.
“Jadi semua dilakukan dengan sangat hati-hati, supaya bisa menyelesaikan semua persoalan, tidak sepotong-potong,” tambah Harkristuti.
Dalam laporannya yang diumumkan Kamis (18/04) kemarin, Amnesty International menilai, pemerintah pusat di Jakarta dan pemerintah daerah di Aceh gagal mengungkap kebenaran adanya praktek pelanggaran HAM di Aceh selama di masa konflik.
Hal ini terbukti dengan belum dibentuknya Komisi Kebenaran, baik tingkat pusat atau di Aceh, yang bertugas menyelesaikan persoalan tersebut.
Sebagian besar korban jiwa adalah warga sipil dan beberapa tewas akibat penyiksaan yang sering terjadi ketika wilayah itu dilanda konflik, kata Direktur Asia-Pacific Amnesty International, Isabelle Arradon, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis.
Mereka menyatakan, selama Aceh dilanda konflik, korban tewas berkisar antara 10.000 dan 30.000 jiwa.
Menanggapi besaran korban tewas yang diungkap Amnesty Internasional, Harskristuti mengatakan: “Itu dalam proses (penyelidikan), dan juga perlu diketahui bahwa yang mengklaim menjadi korban (konflik) sudah diberi kompensasi oleh pemerintah, yaitu berupa lahan, atau berupa uang, dalam empat tahun terakhir”.
Komisi Kebenaran
Lebih lanjut, Amnesty International merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia segera membentuk Komisi Kebenaran untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM di Aceh, yaitu berupa Komisi Kebenaran di tingkat nasional dan daerah.
Tuntutan agar pemerintah segera membuat UU Komisi Kebenaran yang baru, sebelumnya telah disuarakan para pegiat HAM, menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU KKR, lebih dari dua tahun silam.
Dua tahun silam, dokumen awal RUU telah mulai dibahas di tingkat terbatas, tetapi belum ada informasi tentang tindak lanjutnya, sehingga mengundang pertanyaan di kalangan pegiat HAM.
Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM Harkristuti Harkrisnowo menyatakan, pekan depan pihak eselon I akan menggelar rapat membahas draf RUU KKR, sebelum akan dibicarakan di tingkat menteri.
Namun demikian, Harkristuti mengaku belum mengetahui kapan draf RUU KKR ini dibawa ke DPR untuk dibahas lebih lanjut.
“Itu di luar kewenangan saya, tapi Menteri Hukum dan HAM dan Menkopolhukam sudah menyepakati akan mendorong untuk (segera) masuk ke DPR,” kata Harkristuti.
Menanggapi penilaian pembahasan RUU KKR ini terkesan lamban, Harkristuti mengatakan, hal itu terjadi karena pihaknya banyak menerima masukan dari masyarakat, seperti soal revisi pembatasan waktu kasus-kasus pelanggaran HAM yang bisa diselesaikan.
“Nah, ini menyebabkan adanya pertemuan lagi, dan kemudian berimplikasi pada pasal lain,” kata Harkristuti.
KKR Aceh
Sejauh ini, pemerintah Indonesia lebih memilih Komisi kebenaran sebagai opsi terbaik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran di masa lalu.
Di kalangan pegiat HAM sendiri belum satu suara tentang keberadan KKR, karena sebagian tetap menuntut pembentukan peradilan HAM adhoc, dengan menghadirkan para pelakunya di peradilan.
Tetapi tuntutan ini sepertinya sejak awal tidak dikehendaki Pemerintah dan DPR, maka muncullah konsep kebenaran, rekonsiliasi, rehabilitasi, dan kompensasi.
Namun demikian, menurut pegiat HAM, Komisi Rekonsilasi ini sulit dilaksanakan karena terbentur persoalan politik dan teknis.
Di sinilah kemudian muncul usulan dibentuk Komisi Kebenaran di tingkat daerah, yang saat ini tengah diupayakan pembentukannya oleh pegiat HAM di Aceh.
“Kalau menunggu pengesahan UU KKR di tingkat pusat, tidak akan pernah ada pengungkapan kebenaran di Aceh.”
“DPR Aceh sudah membuka ruang (pembentukan KKR Aceh), walaupun ini terjadi atas dorongan korban pelanggaran HAM dan masyarakat sipil di Aceh,” kata koordinator Kontras Aceh, Destika Gilang Lestari.
Menurutnya, pemerintah pusat di Jakarta dan pemerintah Aceh wajib membentuk KKR di Aceh, karena sudah diamanatkan dalam Kesepakatan Damai (MOU) RI-GAM di Helsinki, Finlandia, 2005 silam. “Yang kemudian diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh,” kata Destika.
Lebih lanjut Destika mengatakan, “kalau menunggu pengesahan UU KKR di tingkat pusat, tidak akan pernah ada pengungkapan kebenaran di Aceh”.
Menurut Harkristuti, draf RUU KKR akan mengatur pula pembentukan KKR tingkat daerah, yaitu untuk kasus di Aceh dan Papua. “Dengan tetap mengacu pada prinsip yang dirumuskan UU KKR,” katanya.
Karena itu, menurut Harkristuti, pembentukan KKR di Aceh harus menunggu pengesahan KKR nasional. “Kalau sekarang mereka bikin, dan kita tidak tahu nanti orientasinya kemana, ‘kan nanti berbeda-beda di Indonesia. ‘Kan kita negara kesatuan. Jadi, acuannya harus satu”.
Sejauh ini masih belum bisa dipastikan kapan draf KKR tersebut akan dibahas ke DPR.
Pemerintah Indonesia lebih memilih komisi kebenaran sebagai opsi terbaik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran di masa lalu.
Namun proses pembentukannya yang berjalan lamban, membuat pegiat HAM mengusulkan agar dibentuk Komisi Kebenaran di daerah.[bbc]
Belum ada komentar