PM, Banda Aceh – Kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Muhammad Qodrat, menilai penangkapan empat mahasiswa peserta demonstrasi oleh Polresta Banda Aceh sebagai tindakan yang tidak sah dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
“Penangkapan terhadap pemohon secara semena-mena dianggap tidak sah. Ini merupakan perampasan kebebasan yang melanggar hak asasi manusia, termasuk hak untuk mendapatkan bantuan hukum,” ujar Qodrat dalam sidang perdana gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh, Senin (10/2/2025).
Sidang tersebut dipimpin oleh hakim tunggal Jamaluddin dan dihadiri oleh tim kuasa hukum penggugat, yaitu Rahmat Maulidin, Muhammad Qodrat, dan Siti Farahsyah Addurunnafis dari LBH Banda Aceh.
Empat mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Iryanto Lubis, Muhammad Ryandi Safitra, Teuku Muhammad Fadil, dan Yudha Aulia Maulana. Mereka ditangkap bersama 16 peserta aksi lainnya dalam unjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Jumat, 30 Agustus 2024.
Polresta Banda Aceh menduga keempat mahasiswa tersebut terlibat dalam ujaran kebencian karena membuat dan membentangkan spanduk bertuliskan “Polisi Pembunuh” dan “Polisi Biadab”.
LBH Banda Aceh menilai penetapan tersangka ini tidak tepat dan menyebut para mahasiswa mengalami intimidasi serta kekerasan selama proses pemeriksaan.
“Selain menangkap dan menetapkan sebagai tersangka, gawai milik empat mahasiswa itu disita selama 27 hari,” ungkap Qodrat.
Kuasa hukum juga meminta majelis hakim untuk membatalkan penyidikan dugaan tindak pidana ujaran kebencian yang disangkakan.
“Kami meminta majelis hakim untuk mengabulkan permohonan praperadilan dan menyatakan penyidikan ini tidak sah,” jelasnya.
Selain itu, LBH Banda Aceh meminta pemulihan hak, harkat, dan martabat keempat mahasiswa. Mereka juga mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada pemerintah sebesar Rp25 juta untuk setiap pemohon, dengan total Rp100 juta.
Belum ada komentar