Deforestasi di Aceh Capai 9.383 Hektare pada 2022, Aceh Selatan Terparah

WhatsApp Image 2023 02 13 at 3 44 22 PM
Koordinator Observasi Stasiun Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Blang Bintang, Aceh Besar, Khairul Akbar saat memaparkan materi dalam diskusi publik yang digelar Yayasan HAkA bersama AJI Banda Aceh, Senin (13/2/2023). [Dok. AJI Banda Aceh]

PM, Banda Aceh – Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) mencatat, di sepanjang 2022 Aceh kehilangan tutupan hutan (deforestasi) sebesar 9.383 hektare dari luas tutupan hutan Aceh 2022 lebih kurang 2,96 juta hektare.

Hal ini disampaikan langsung Manager Geographic Information System (GIS) Yayasan HAkA, Lukmanul Hakim, dalam diskusi publik yang digelar HAkA bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Senin (13/2/2023).

Menurutnya, data terkait kehilangan tutupan hutan tersebut sama dengan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Namun secara spesifik data yang dimiliki HAkA berbeda dengan KLHK,” sebut Lukman.

Ia juga menyebutkan, Aceh Selatan jadi daerah yang paling banyak kehilangan tutupan hutan tahun ini. “Jumlahnya sekitar 1.800-an hektar,” ujarnya.

Namun, kata Lukman, secara rata-rata jumlah kehilangan tutupan di Aceh menurun. Deforestasi di Aceh, menurutnya lagi, dikarenakan adanya konversi dari hutan ke pertambangan, perkebunan, dan lainnya.

Khusus pertambangan itu, kata dia, HAkA memantau di tahun 2022 ada indikasi pertambangan di sebelah barat Aceh yakni di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat.

“Dari satelit kita bisa melihat dengan jelas perkembangan kerusakan hutan di sepanjang sungai Seunagan dan Meureubo,” sebutnya.

Sementara itu, Koordinator Observasi Stasiun Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Blang Bintang di Aceh Besar, Khairul Akbar dalam kesempatan itu mengatakan, bencana sangat berpengaruh pada aspek meteorologi, seperti munculnya anomali.

Menurutnya, frekuensi bencana di Aceh semakin meningkat. Berdasarkan data yang ada dari badan penanggulangan bencana, bencana justru semakin sering terjadi.

“Bulan-bulan yang harusnya sudah masuk ke musim kemarau seperti sekarang, Januari Februari, tapi kita masih diwarnai bencana-bencana hidrologi,” kata dia.

Khairul mengatakan, BMKG tidak dapat memprediksi bencana alam kapan terjadi. Bahkan anomali cuaca pun sering berubah.

“BMKG hanya melihat dari aspek meteorologi untuk melihat potensi-potensi bencana tadi,” sebut Khairul. []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait