Nasabah Bank Syariah Mengeluh, YARA Pertanyakan Implementasi Qanun LKS

BSI
Bank Syariah Indonesia. Foto: Net

PM, Banda Aceh – Banyaknya keluhan nasabah Bank Syariah Indonesia (BSI) di Aceh, dinilai dampak dari keputusan Pemerintah Aceh yang mewajibkan bank konvensional dikonversi ke syariah, mengacu Qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS).

Menanggapi penjelasan Direktur Utama BSI bahwa masih perlunya pembenahan terhadap operasional BSI yang masih berumur tiga bulan, menurut Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh, Safaruddin, sebenarnya memang logis.

Menurutnya, kendala seperti ini bukan hanya terjadi di Aceh saja, tapi juga BSI di seluruh Indonesia. Bedanya, lanjut dia, di tempat lain tidak terlalu bermasalah karena masyarakat tinggal menggunakan ATM bank konvensional.

“Sehingga masalah pun selesai ketika uang sudah di tangan,” kata Safaruddin.

Ia justru menyayangkan kondisi di Aceh, dimana gerai ATM konvensional sudah ditarik, karena bank konvensional sudah diminta keluar oleh Pemerintah Aceh.

Akibat kondisi erorrnya beberapa mesin ATM BSI ini, banyak pula yang menyalahkan Qanun LKS. Menurut Safar, ini juga tidak tepat, karena Qanun LKS ini merupakan keistimewaan Aceh.

Dalam pasal 21 Qanun Nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam dengan jelas menyebutkan, bahwa 1) Lembaga Keuangan yang akan beroperasi di Aceh harus berdasarkan prinsip Syariah. 2) Lembaga Keuangan konvensional yang sudah beroperasi di Aceh harus membuka Unit Usaha Syariah (UUS). 3) Transaksi keuangan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota wajib menggunakan prinsip syariah dan/atau melalui proses Lembaga Keuangan Syariah. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Keuangan Syariah diatur dalam Qanun Aceh.

“Pasal 21 inilah yang menjadi payung hukum lahirnya Qanun LKS, jadi pelaksanaan itu untuk mendorong supaya ada banyak bank di Aceh selain yang konvensional harus ada syariah, itu jauh sebelum Pemerintah Pusat membentuk Bank Syariah Indonesia (BSI) yang baru tiga bulan lalu,” jelasnya

Namun kata Safaruddin lebih lanjut, yang dirasakan oleh masyarakat Aceh sekarang ini terkait dengan layanan BSI itu dampak dari penerapan hukum yang keliru.

Surati Pemerintah

Selain itu, Safaruddin mengaku pihaknya sudah menyurati Pemerintah Aceh dan DPRA jauh-jauh hari sebelum mengajukan gugatan terhadap BCA, Mandiri dan BRI agar tidak menutup kantor operasionalnya di Aceh, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Namun menurutnya Pemerintah Aceh dan DPRA bergeming.

“Malah Pemerintah Aceh menyurati perbankan untuk mempercepat proses konversi nya alias harus cepat keluar dari Aceh,” imbuhnya

Katanya, kondisi saat ini jauh hari sudah diperkirakan dan diskusikan dengan beberapa pihak termasuk Alm. Ketua Kadin Aceh, Makmur Budiman, malah ia sudah memperkirakan kejadian seperti hari ini dan beberapa dampak lainnya.

“Yang saya diskusikan dengan Mohammad Din dari segi dampak secara perekonomian, baik mikro maupun makro, kami hanya mendengar dan menyerap pandangan para praktisi ekonomi dan menjadikan ini sebagai alasan hukum dalam gugatan di Pengadilan Jakarta Pusat yang tanggal 18 Mei ini dalam agenda pembuktian surat,” ungkap Safar.

Menurutnya, pelaksanaan Syariat Islam yang merupakan keistimewaan bagi Aceh adalah kelebihan yang diberikan untuk menghormati Aceh sebagai provinsi ‘Daerah Modal’ dan untuk mendorong akselerasi kesejahteraan bagi masyarakat Aceh bukan justru sebaliknya, kewenangan sudah banyak diberikan oleh Pemerintah Pusat.

“Sekarang bagaimana kita memaknainya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh dengan kelebihan tersebut,” pungkas Safar.(*)

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Projabal Gayo Lues Perbaiki Gorong-Gorong
Alat berat milik Projabal sedang membongkar gorong-gorong jalan dua jalur Simpang Porang. | Pikiran Merdeka/Anuar Syahadat

Projabal Gayo Lues Perbaiki Gorong-Gorong