Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menyebut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah berdampak buruk pada perlindungan hak asasi manusia (HAM). Dampak ini terutama hak-hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Erasmus menilai, UU ITE sejauh ini terbukti telah menyasar pada ekspresi-ekspresi yang sah dan acapkali disalahgunakan untuk kepentingan yang beragam, baik pembalasan dan pembungkaman atas suatu kritik.
“Hasil riset dari ICJR mempertanyakan kembali keseimbangan antara pengaturan kebijakan pidana di dalam UU ITE dengan perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi,” kata Erasmus dalam keterangannya, Kamis, 11 Maret 2021.
Erasmus menekankan, riset yang dilakukan pihaknya membenturkan prinsip-prinsip hukum pidana dan hak asasi manusia (HAM) dengan realitas sosial bekerjanya UU ITE. Dia menuturkan, sebanyak 768 perkara yang dilakukan indeksasi awal, 73 perkara dipilih untuk dilakukan profiling kasus-kasus UU ITE.
Dia menjelaskan penemuan dari riset ini melaporkan revisi atas UU ITE di tahun 2016 lalu belum memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada pada UU ITE 2008.
“Bahkan revisi yang dilakukan belum tepat sasaran, karena pasal-pasal yang berupa duplikasi dari ketentuan di dalam KUHP masih longgar dengan cakupan yang luas, ancaman hukuman pidana di dalam UU ITE tidak memberikan pembobotan pemidanaan sesuai dengan tingkat kejahatan yang berbeda-beda,” jelas Erasmus.
Dia tak memungkiri, UU ITE secara umum telah menjadi alat yang efektif untuk mengontrol perilaku warga negara di ruang daring, dengan terus menyebarkan ketakutan warga negara untuk berpendapat dan berekspresi.
“UU ITE telah gagal dalam menghadirkan keadilan dan memberikan perlindungan pada warga negara, serta gagal mencapai tujuan-tujuan pemidanaan yang diharapkan,” kata Erasmus.
Maka itu, kata dia, riset yang dilakukan ICJR merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR RI untuk memasukkan rencana perubahan UU ITE ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2021. Meski sebelumnya telah diputuskan revisi UU ITE tidak masuk dalam prolegnas 2021.
“Poin-poin perubahan UU ITE meminta untuk mengembalikan kerangka pengaturan UU ITE dalam konsepsi awal yang ditujukan untuk mengatur aspek-aspek teknologi informasi,” tutur Eramus.
“UU ITE cukup mengatur tindak pidana yang secara spesifik terkait dengan kejahatan teknologi. Ketentuan-ketentuan yang tidak relevan harusnya dikeluarkan dalam UU ITE atau diatur dalam UU lain, misalnya tentang pengaturan penyadapan atau intersepsi,” imbuhnya.
Sumber: VIVA
Belum ada komentar