Jakarta – Pengamat politik Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengajak semua pihak untuk memantau revisi undang-undang pemilu dan pilkada. Arya pun menyoroti peningkatan anggaran partai politik dalam revisi tersebut.
“Yang lebih penting kita dorong juga pada pasal 11A disebutkan ada peningkatan anggaran partai politik,” kata dalam sebuah diskusi secara daring, Minggu (24/1).
Menurut Arya, dua aspek yang juga perlu diperhatikan adalah masalah pendanaan dan pencalonan. Pada Pasal 11, disebutkan pemilu nasional dan daerah dibiayai oleh APBN. Pada gelaran sebelumnya, pilkada didanai oleh APBD.
Selain itu, kata Arya, revisi UU pemilu dan pilkada ini turut mempengaruhi proses rekrutmen dan partisipasi politik. Dalam draft yang dimilikinya, ia melihat sudah ada perubahan pemberian sanksi jika ditemukan pelanggaran, seperti mahar atau imbalan.
“Yang lebih penting harus kita lihat apakah perubahan itu akan mempengaruhi electoral outcomes-nya. Misalnya, apakah kualitas kebijakan kita semakin baik atau tidak,” ujarnya.
Terkait dengan pencalonan, Arya mengatakan dalam draf RUU pemilu dan pilkada mengatur bahwa parpol yang terbukti menerima imbalan dalam pencalonan pileg dan pilkada dilarang mengajukan calon pada periode pemilu berikutnya.
Adapun soal pendanaan kampanye, Arya melihat sumbangan untuk DPD masih sangat kecil. Ia pun tak menemukan ketentuan audit investigatif, transparansi, dan akuntabilitas terkait dana kampanye dalam draf UU tersebut.
Di sisi lain, Arya mengatakan revisi UU pemilu juga akan mempengaruhi kualitas calon anggota legislatif terpilih. Ia melihat ada potensi perubahan mekanisme pemilihan kandidat di internal partai dalam UU Pemilu yang baru.
Kemudian, Arya menyebut revisi itu akan mempengaruhi level kompetisi antar partai. Menurutnya, kompetisi yang tinggi akan mempengaruhi kualitas caleg terpilih.
Lebih lanjut, Arya mengatakan revisi UU Pemilu bakal mempengaruhi perilaku pemilih dan representasi politik. Namun, dia melihat tidak banyak perubahan pada revisi kali ini.
Menurutnya, revisi yang sudah dilakukan beberapa kali belum membuat parpol melakukan reformasi internal. “Sehingga efeknya tidak terjadi, baik pada level partai dan juga representasi,” ujar Arya.
Arya menambahkan revisi tersebut diduga untuk memaksimalkan perolehan suara partai dan dukungan publik. Kemudian, revisi UU Pemilu juga diduga terkait dengan partai yang memegang kendali pemerintahan.
“Bila tidak memegang kendali penuh biasanya dilakukan melakukan aksi judisial, interaksi dengan pihak luar, atau interaksi dengan masyarakat,” katanya.
Revisi undang-undang pemilu dan pilkada masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas DPR 2021. Draf revisi uu tersebut mengatur tentang rencana pilkada serentak selanjutnya, yakni pada tahun 2022 dan 2023.
Dalam UU pemilu sebelumnya, pilkada serentak di seluruh provinsi, kabupaten dan kota digelar pada 2024 bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD dan presiden.
Sumber: CNNIndonesia
Belum ada komentar