PM, Banda Aceh – Hari ini tepat 16 tahun lalu, tepatnya 26 Desember 2004, pesisir Aceh disapu gelombang tsunami dahsyat pasca gempa dangkal berkekuatan M 9,3 yang terjadi di dasar Samudera Hindia. Gempa yang terjadi, bahkan disebut ahli sebagai gempa terbesar ke-5 yang pernah ada dalam sejarah.
Kejadian itu terjadi pada hari Minggu, hari yang semestinya bisa digunakan oleh masyarakat untuk beristirahat, berkumpul bersama keluarga, dan menikmati libur akhir pekan bersama. Tapi tidak dengan Minggu saat itu, masyarakat justru harus berhadapan dengan alam yang tengah menunjukkan kekuatannya.
Mengutip DW (23/12/2014), tsunami didahului gempa yang terjadi pada pukul 07.59 WIB. Tidak lama setelah itu, muncul gelombang tsunami yang diperkirakan memiliki ketinggian 30 meter, dengan kecepatan mencapai 100 meter per detik, atau 360 kilometer per jam.
Gelombang besar ini tidak hanya menghanyutkan warga, binatang ternak, menghancurkan pemukiman bahkan satu wilayah, namun juga berhasil menyeret sebuah kapal ke tengah daratan. Kapal itu ialah Kapal PLTD Apung yang terseret hingga 5 kilometer dari kawasan perairan ke tengah daratan.
Sehari setelah kejadian, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bencana ini sebagai bencana kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi. Sejak saat itu, bantuan internasional pun berdatangan ke Aceh, termasuk pesawat militer dari Jerman hingga kapal induk milik Amerika Serikat.
Selang beberapa hari dan proses pencarian korban terus digencarkan, PBB pada 4 Januari 2005, mengeluarkan taksiran awal bahwa jumlah korban tewas sangat mungkin melebihi angka 200.000 jiwa.
Berdasarkan Kompas.com (26/12/2020), jumlah korban dari peristiwa alam tersebut disebut mencapai 230.000 jiwa. Jumlah itu bukan hanya datang dari Indonesia sebagai negara terdampak paling parah, namun juga dari negara-negara lain yang turut mengalami bencana ini.
Mengutip arsip pemberitaan Harian Kompas (27/12/2004), gempa dan tsunami di Minggu pagi itu tidak hanya menimpa wilayah Aceh dan Sumatera Utara, tapi juga wilayah negara lain yang terletak di kawasan Teluk Bengali, mulai dari India, Sri Lanka, hingga Thailand.
Sementara di Aceh, bencana yang menghantam begitu kerasnya ini memutuskan semua jaringan listrik juga komunikasi di sana. Sehingga kondisi benar-benar darurat. Awalnya ratusan orang sudah ditemukan meninggal, tidak tahu lagi ada berapa banyak yang hilang akibat tersapu gelombang, tertimpa reruntuhan, dan sebagainya.
Warga yang masih selamat pun kehilangan tempat tinggalnya, jumlahnya bukan hanya ratusan, tapi ratusan ribu, mereka harus hidup di lokasi pengungsian. Bencana ini sontak menjadi bencana nasional dan menjadi pemberitaan utama media hingga beberapa bulan setelahnya.
Presiden ke-6, Soesilo Bambang Yudhoyono bahkan menetapkan tiga hari berkabung sebagai bentuk simpati negara dan bangsa Indonesia pada bencana yang melanda.
Dengan banyaknya bantuan dan perhatian pada wilayah terdampak bencana, baik yang datang dari Tanah Air maupun dunia internasional, Aceh perlahan kembali tertata. Tidak hanya secara infrastruktur dan bangunan, namun juga perekonomian, juga psikologis masyarakatnya.
Di Aceh, pada tahun 2009 didirikan sebuah museum untuk mengenang kejadian pilu itu. Museum itu adalah Museum Tsunami Aceh yang terletak di Kota Banda Aceh. Arsitek dari museum tersebut adalah Ridwan Kamil yang saat ini menjabat Gubernur Jawa Barat.
Di dalam museum ini, terdapat beragam diorama yang menggambarkan peristiwa, juga daftar nama mereka yang menjadi korbannya. Museum ini bukan hanya menjadi situs untuk mengenang keganasan gempa dan tsunami 26 Desember 2004, namun juga menjadi pusat pembelajaran dan pendidikan kebencanaan bagi masyarakat.
Sumber: KOMPAS
Belum ada komentar