Ini Risiko Lingkungan dari Pembangunan PLTA Tampur

Ini Risiko Lingkungan dari Pembangunan PLTA Tampur
Dok. 27 Oktober 2018, Aksi warga yang diwakili oleh Kepala Desa, Datok, Geuchik di Kecamatan Simpang Jernih sepakat untuk menolak PLTA Tampur-1. (Foto/Ist)

PM, Banda Aceh – Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) di Gayo Lues, dibatalkan pengadilan, Rabu (28/9) lalu.

Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh dalam amar putusanya menyebutkan, izin No.522.51/DPMPTSP/1499/2017 yang diterbitkan Gubernur Aceh ini melanggar sejumlah aturan. Salah satunya tentang luas lahan.

“Hakim menyatakan bahwa gubernur hanya berwenang menerbitkan IPPKH untuk luasan paling banyak 5 hektar dan bersifat non-komersial. Sedangkan fakta hukumnya IPPKH yang dikeluarkan kepada PT Kamirzu terbit dengan luasan 4.407 Hektar,” ujar kuasa hukum Walhi Aceh (penggugat), M Reza Maulana.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Walhi Aceh, M Nur dalam kembali menjelaskan risiko dan dampak proyek ini. Dari evaluasi curah hujan, misalnya. Terkait kemiringan dan jenis tanah di daerah itu, menurut penelitian yang dilakukan pada bulan November 2017 lalu, ditemukan bahwa PLTA Tampur dan infrastruktur pendukungnya, seperti jalan dan jalur transmisi, akan dikembangkan di tanah yang sangat sensitif.

“Lokasi yang dipilih adalah sub optimal untuk pembangunan dan kemungkinan akan mengalami peningkatan tingkat erosi, banjir, tanah longsor dan rawan gempa,” kata dia.

Berada di sebelah timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault), menjadikan bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatera. Bendungan setinggi 193 meter berpotensi jebol dan bisa membawa bencana bagi masyarakat yang berada di hilir.

Selain itu, masih menurut Walhi, mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan.

“Kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional KEL yang berfungsi sebagai habitat Gajah Sumatera yang terancam punah,” ujar M Nur.

Ditambahkannya, proyek PLTA Tampur termasuk dalam koridor gajah besar terakhir (koridor Lesten) dalam KEL, dan kemungkinan akan memecah populasi gajah terakhir di Aceh, lantas mendorongnya semakin mendekati kepunahan.

Dikhawatirkan, proyek ini akan membanjiri seluruh desa Lesten yang saat ini menampung 74 keluarga. Padahal, perusahaan harusny menyelesaikan proses relokasi ke semua 74 keluarga sebelum 9 Juni 2018.

“Tetapi sampai saat ini PT Kamirzu masih belum menemukan daerah yang cocok untuk relokasi desa tanpa risiko mengekspos komunitas Lesten untuk semakin meningkatnya konflik dengan gajah,” tandasnya. []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

WhatsApp Image 2021 03 19 at 07 40 50
Tim penyidik Kejari Agara membawa dua tersangka kasus dugaan korupsi dana KIP untuk penyelenggaraan Pilbup 2017 silam. [Dok. Ist]

Jaksa Tahan Dua Pejabat KIP Aceh Tenggara