PM, Banda Aceh – Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh setiap tahun kian memprihatinkan. Ketua Forum PUSPA (Partisipasi Publik Untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak) Aceh, Amrina Habibi menyebutkan, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah seharusnya menjadi agenda bersama antara lembaga dan instasi terkait.
“Mendesak diperlukan satu garis koordinasi yang terpadu dalam upaya pemenuhan hak korban kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Amrina saat mengisi seminar Zakat dan Wakaf bertema ‘Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Melalui Pemberdayaan Zakat dan Wakaf’, Selasa (4/12) lalu.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan PUSPA Aceh bekerja sama dengan Baitul Mal Aceh itu, pihaknya juga memaparkan tingginya angka kasus kekerasan yang terjadi di Aceh. Data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh mengungkapkan, di tahun 2016 ada sekitar 1648 kasus yang dicatat P2TP2A Aceh. Sementara di tahun 2017 jumlahnya meningkat menjadi 1791, dan di tahun 2018 angkanya diprediksi semakin tinggi.
Berdasarkan riset terminasi bagi korban kekerasan yang ditangani di P2TP2A, Amrina mengatakan, ada banyak perempuan dan anak korban KDRT yang mengeluhkan sulitnya mengakses bantuan santunan dan pemberdayaan ekonomi karena dianggap masih memiliki suami/ayah yang masih menjadi tulang punggung keluarga.
“Padahal pada kenyataannya, suami/ayah mereka tidak berkontribusi dan tidak bertanggungjawab dalam finasial rumah tangga,” ujar Amrina.
Kenyataaan tersebut lantas membuat korban sangat terpuruk, apalagi mereka tidak punya akses untuk mendapatkan bantuan-bantuan karena tidak diakui dalam sistem yang sudah terbangun.
“Nah, apakah peluang ini bisa diambil? Selain itu tidak mungkin anak korban kekerasan itu pintar, karena orang tuanya selalu bertengkar dan kadang tidak bisa sekolah. Jadi untuk anak yang kurang pintar karena persoalan kemiskinan dan kekerasan yang dialaminya, saya pikir juga butuh mekanisme khusus untuk mendorong sehingga mereka punya akses pada pendidikan,” tegas Amrina.
Forum kegiatan yang diselenggarakannya bersama Baitul Mal Aceh, dinilai penting untuk mendorong kesepakatan bersama guna mengatasi hal ini. Amrina berharap akan ada satu mekanisme kerja yang terukur, sifatnya berkelanjutan dengan porsi kerja dan kewenangan masing-masing lembaga.
“Dan bidang teknis di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DPPA) punya kewenangan untuk menindaklanjuti proses pemberdayaan lanjutan pada perempuan dan anak korban kekerasan. Ini penting supaya kita bisa melakukan kontrol bersama dan kita perlu SOP terintergrasi,” tambah dia.
Sebagai forum koordinasi yang digagas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, sambung Amrina, PUSPA Aceh yang terdiri dari organisasi sipil, dunia usaha dan media, akan menjadi referal system yang memastikan upaya tersebut berjalan dengan baik.
“Penting untuk mengawal kesepakatan bersama, sehingga ini menjadi bagian inovasi yang bisa dikembangkan oleh daerah melalui jalur sinergi yang dibangun oleh PUSPA. Kami harapkan Baitul Mal bisa menjadi bagian yang memperkuat kerja sinergi, karena kebutuhan sinergi itu tidak bisa dielakkan lagi dan harus diperkuat lagi,” pungkas Amrina.
Perlu Terobosan Baitul Mal Aceh
Plt Kepala Baitul Mal Aceh, Zamzami Abdulrani dalam sambutannya di seminar tersebut mengatakan, perlu upaya serius terkait komitmen kebijakan, termasuk anggaran yang memadai untuk mendukung pemenuhan hak-hak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
“Kami percaya upaya penanganannya harus dilakukan secara sistematis dan melibatkan lebih banyak pihak, termasuk baitul mal Aceh,” kata
Zamzami mengatakan, dengan terobosan yang dijalankannya, Baitul Mal Aceh diharapkan mampu berkontribusi pada upaya penanganan perempuan dan anak korban kekerasan di Aceh sehingga terwujudnya pemenuhan hak-hak korban.
“Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan dan mendayagunakan zakat, Baitul Mal diharapkan dapat berinovasi dalam mengatasi berbagai persoalan yang dialami oleh perempuan dan anak korban kekerasan, yang umumnya dari keluarga dhuafa dan masuk dalam kategori muzakki dan mustahiq,” tambah dia.
Kasubid hukum dan advokasi Baitul Mal Aceh, Safwan Bendadeh, mengatakan ada banyak program terobosan dan innovasi Baitul mal yang bisa menjadi peluang bantuan bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Aceh. Baitul Mal sebelumnya juga telah menyalurkan zakat kepada korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh, namun sejauh ini hanya melalui senif fakir miskin saja.
“Jika mereka miskin, maka otomatis berhak mendapatkan bantuan, dari santunan biaya hidup, penyediaan lapangan pekerjaan, pelatihan life skil, modal usaha hingga pemasaran produk,” jelas Safwan.
Selain senif zakat, Safwan mengatakan ada dua peluang lagi yang bisa diambil, senif riqab dan wakaf tunai. Sejauh ini senif riqab belum dialokasikan dananya karena dianggap belum ada yang berhak menerima. Namun ada peluang menggunakannya, dan tentunya harus didukung dengan tinjauan fiqih dan penelitian akademis.
“Di negara maju seperti Malaysia, mereka sudah menggunakan zakat untuk rehab LGBT berdasarkan fatwa Selangor. Mungkin ini akan aneh di Aceh, tapi kita bisa berinovasi penggunaannya untuk keluarga korban sakit HIV/AIDS, atau untuk korban traficking dan korban kekerasan lainnya,” jelas Safwan.
Untuk mencapai hal tersebut, Safwan meminta agar forum Puspa dapat membuat penelitian inisiatif tentang isu ekonomi korban trafficking, HIV dan sebagainya, sebagai landasan pertimbangan penggunaan dan pemanfaatan senif Riqab tersebut.
Menanggapi hal itu, Amrina Habibi mengatakan pihaknya menyambut baik peluang yang diberikan oleh Baitul Mal tersebut dan akan mendiskusikan dengan anggota PUSPA untuk mengformalkan kerja sama yang bersinambungan dengan Baital mal.
“Kita juga akan membicarakan rencana beberapa riset penting terkait landasan peluang pendayagunaan zakat dan wakaf dan pemenuhan dan kebutuhan anak korban tentunya berperspektif akademisi dan agama,” tandasnya. []
Belum ada komentar