Gugatan Sarat Kepentingan Anggaran

Gugatan Sarat Kepentingan Anggaran
Aryos

“Gugatan DPRA diduga dilatarbelakangi kepentingan anggaran mereka yang tidak terakomodir dalam Pergub ABPA 2018,” kata pengamat politik Aryos Nivada.

Dari sisi politik, upaya DPRA menggugat Pergub Nomor 9 Tahun 2018 terkesan untuk mengembalikan kepentingan anggaran para anggota dewan. Tak terakomodirnya kepentingan itu di dalam Pergub melatarbelakangi gugatan tersebut.

Kendati demikian, Aryos Nivada masih memaklumi gugatan ini sebagai bagian dari dinamika perpolitikan di Aceh.

Terkait: DPRA MENGGUGAT

“Dalam prespektif hukum, DPRA selaku pihak yang merasa dirugikan, dapat menggunakan hak tersebut. Namun secara politik, saya kira ini lebih disebabkan karena belum terakomondir kepentingan mereka dalam hal anggaran,” kata dia kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (21/4) pekan lalu.

Menurut Aryos, gugatan yang dilancarkan dewan ini tak lepas dari kepentingan politik elektoral untuk tahun 2019 mendatang. Ia menyebutnya sebagai usaha sadar untuk ‘menyalakan mesin agar dapat bertarung di Pileg 2019’.

“Kuncinya, pada tahun 2018 ini perlu mengumpulkan pundi-pundi agar dapat bergerak tahun depan, tujuan utamanya memerlukan logistik finansial untuk merawat konsistuen mereka,” ungkapnya.

Di tengah impementasi anggaran saat ini, Aryos mengatakan, gugatan ini masih dapat memunculkan celah yang ingin disiasati DPRA. Karena hukum juga membenarkan adanya penjadwalan kembali untuk penyusunan APBA.

Meski nyaris mustahil, namun jika Mahkamah Agung mengabulkan gugatan itu, maka akan terbuka kembali komunikasi politik antara Pemerintah Aceh dan DPRA untuk merancang ulang Pergub APBA. Hal semacam ini yang tampak mengkhawatirkan. Karena akan terjadi kekacauan bagi sistem penganggaran yang sudah berjalan.

“Dalam tata kelola pemerintahan akan kacau, karena fungsi-fungsi pelayanan publik seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, pembangunan, itu menjadi terhambat. Dan sulit bagi pemerintah untuk merealisasikan janji politik nya, jadi susah berjalan,” pungkasnya.

Karenanya, berbeda dengan Tgk Muhar, Aryos mengingatkan bahwa gugatan Pergub masih bisa menuai dampak bagi masyarakat Aceh. “Intinya kedua belah pihak akan terkuras energi sehingga berdampak kepada pelayanan publik,” kata dia.

Bagi DPRA, konsekuensi yang diterima akan lebih besar, karena menggugat proses penganggaran semacam ini bakal menggerus wibawanya di mata konstituen. Terlepas dari itu, Aryos kian menyesalkan benturan yang terus mengemuka antara eksekutif dan legislatif di Aceh. Padahal, gugatan itu bisa saja berhenti jika terbuka ruang komunikasi yang melibatkan DPRA dalam pengelolaan dana Pergub.

“Jadi tidak semua harus di kendalikan oleh elit yang berkuasa. Karena mengawal dan menjalankan pemerintahan hari ini menjadi tanggung jawab eksekutif dan legislatif secara bersama-sama,” tandas dia.

KONSENTRASI PADA PEMBANGUNAN

Menanggapi gugatan DPRA terhadap Pergub APBA 2018, Pemerintah Aceh menyilakan dan tak ingin terlalu ambil pusing. Melalui juru bicaranya Saifullah Abdulgani, pemerintah telah yakin bahwa anggaran yang disahkan melalui Pergub ini telah melalui mekanisme yang memang dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan.

Saifullah Abdulgani

“Konsekuensi dari tidak tercapainya kesepakatan antara Pemerintah Aceh dan DPRA dalam pembahasan APBA 2018, maka tidak terwujudnya anggaran melalui qanun. Maka konsekuensinya pergub,” kata dia kepada Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu.

Ia juga menjelaskan, sesuai dengan mekanisme perundang-undangan, Pergub yang diajukan ke Menteri Dalam Negeri telah dibahas secara rinci, “bahasnya per program, per kegiatan, dan pada akhirnya disetujui menteri.”

Secara logis, sambung Saiful, tentu saja Mendagri menyetujui Pergub APBA berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, pemerintah tak bisa membendung celah gugatan jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan atas munculnya kebijakan ini.

“Maka dari itu kita sangat siap untuk memberikan keterangan, dokumen, data, dan lainnya kepada pihak pengadilan yang dimintai secara resmi. Termasuk hadir di persidangan,” tegas Saiful.

Pihaknya juga mengaku tak ingin terlalu memikirkan hasil dari gugatan tersebut. Bagi pemerintah, sebut Saiful, lebih penting untuk memastikan realisasi anggaran kepada masyarakat. Terlebih jika mengingat pengesahan anggaran beberapa waktu lalu yang molor sampai tiga bulan lamanya.

“Hasilnya nanti itu hak prerogatif pengadilan. Kami ingin berkonsentrasi untuk memikirkan jutaan rakyat Aceh yang perlu pembangunan, maka perlu percepatan-percepatan saja. Tapi kalau dimintai keterngan dalam hal ini oleh pihak terkait, kami sangat siap,” pungkas Saiful.[]

Gugatan Pergub Dinilai Berdampak Sistemik

Selain Pergub Nomor 9 Tahun 2018, DPRA juga bakal menggugat Pergub Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Jinayat. Munculnya pergub ini serta merta memantik kontroversi dan membuat sebagian besar kelompok masyarakat bereaksi menentangnya.

Dalam amatan Pemerintah Aceh, sengketa regulasi yang diselesaikan melalui jalur peradilan adalah jalan tempuh yang jauh lebih baik. Ini memperlihatkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Karena itu ia mengapresiasi gugatan yang diajukan DPRA.

“Pemerintah lebih tepat menyesuaikan diri dengan hasil keputusan peradilan daripada tekanan-tekanan massa yang reaksional. Jauh lebih baik seperti ini, jadi ada pembelajaran bagi publik,” sebut Saiful.

Kendati demikian, ia juga mengingatkan bahwa Pergub ini adalah turunan dari qanun, sementara qanun merupakan turunan dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Apakah gugatan itu tak menimbulkan efek sistemik kepada UUPA, khususnya pasal 125 mengenai pelaksanaan Syariat Islam? Menurut Saiful, ini hal penting untuk dipertimbangkan.

Ia mewanti-wanti, gugatan terhadap Pergub cambuk secara politik bisa juga dijadikan celah bagi pihak lain untuk mengkaji ulang UUPA dan relasinya dengan hukum positif nasional. Ia khawatir dampak sistemik itu terhadap keterkaitan antara UUPA dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

“Pemerintah mempersilakan untuk menggugat, namun juga memperhitungkan baik buruk efeknya secara sistemik. Jangan sampai memancing polemik baru di tingkat nasional. Nah kami mencermati dampak sistemik itu, daripada uji materi,” ucap Saiful.

Sebagaimana diketahui, pasal 125 UUPA menjelaskan tentang kewenangan pelaksanaan Syariat Islam dalam bidang aqidah, syar’iyah dan akhlak. Syariat Islam dimaksud meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan bahwa setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam. Kemudian, setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.

Konsekuensi dari pasal 125 itu, jelas Saiful, otomatis memberikan warna yang berbeda terhadap kehidupan norma-norma hukum yang terjadi di Aceh. “Kalau uji materi yang diajukan oleh DPRA nanti misalnya sekedar dikoreksi, ya tinggal dikoreksi saja kan. Ini dampak lain yang menjadi wacana nasional ini yang mesti lebih kita perhatikan,” kata dia.

Dalam menyikapi Pergub cambuk, dirinya melihat bahwa reaksi yang bermunculan lebih diakibatkan minimnya informasi dan sosialisasi. Berbagai aksi demo yang terjadi beberapa waktu lalu, tentu tak bisa dihindari. Penolakan secara reaktif akan dengan mudah terjerembab dalam prasangka negatif.

“Saya lebih melihat tidak sampainya informasi secara utuh dan komprehensif kepada mereka (pendemo). Karena memang sosialisasi dalam satu bulan ke depan,” imbuh Saiful lagi.

Terakhir, ia mengatakan bahwa pemerintah memaklumi jika ada pihak yang mengajukan gugatan. Tapi, menurutnya dampak dari sisi positif dan negatif pada rakyat Aceh ini perlu lebih diutamakan. Gugatan ini akan terus menggerus biaya dan energi. Maka segala upaya ini perlu memperhitungkan antara apa yang telah dikeluarkan, apakah sebanding dengan hasil yang didapatkan nantinya.

Hal lain yang disampaikan Saiful, bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya. Setiap langkah yang diambil akan berpengaruh pada citra di tahun politik 2019. “Jika tidak matang, maka berpengaruh besar pada citra politik ke depan,” tandasnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Mahasiswa dan Profesor dari Austria Studi Banding ke KKR Aceh
Mahasiswa dan dan profesor dari Departemant of Geography and Regional Research, Faculty of Earth Sciense, University Wien, Vienna, Austria, saat berada di kantor KKR Aceh.(Pikiran Merdeka/Riska Munawarah)

Mahasiswa dan Profesor dari Austria Studi Banding ke KKR Aceh