Banda Aceh – Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), A Hamid Zein SH.,M.Hum menegaskan bahwa revisi Undang-Undang 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD atau yang biasa disebut UU MD3, secara khusus tidak berlaku untuk DPR Aceh.
Hal itu ia sampaikan pada diskusi publik ‘Revisi UU MD3: Quo Vadis Demokrasi Aceh’ di aula Fakultas Hukum Unsyiah, Rabu (21/3).
Ia menerangkan, revisi aturan yang kini menjadi UU nomor 2 tahun 2018 itu tidak berlaku untuk DPRD baik tingkat I maupun tingkat II. Sebab, keberadaan pasal 73, pasal 122, dan pasal 245 dalam UU tersebut telah dicabut dengan adanya pasal 409 huruf D dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Pasal-pasal yang dicabut adalah pasal 1, pasal 314 sampai pasal 412. Selanjutnya pasal 418 – 421, ini dicabut oleh UU Pemerintahan Daerah,” kata dia. Secara umum, memang aturan ini berlaku di setiap DPRD. Apalagi, kata Hamid, kendati ada pasal 422 yang menyatakan UU MD3 berlaku di wilayah Aceh dan Papua, namun karena ada pasal-pasal yang telah dicabut, ketentuan itu pun tak berlaku lagi. Hal ini kian diperjelas dengan pemberlakuan UU Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD.
“Saya pikir ini perlu diperjelas, agar kita bisa mudah menyikapinya. UU MD3 hanya berlaku internal di MPR-RI, DPR RI, dan DPD-RI,” sebutnya lagi.
Aturan yang Menuai Polemik
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Chandra Darusman menyampaikan, pemberlakuan UU MD3 berdampak buruk bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.
Dalam pasal 122, misalnya, Chandra menggarisbawahi beberapa variabel. Di antaranya frasa ‘mengambil langkah hukum dan langkah lainnya’. Menurutnya, pemaknaan mengenai hal ini belum dijelaskan secara gamblang.
“Ini tidak jelas pemaknaannya, langkah hukum lain itu apa maksudnya? hukum acaranya seperti apa, mekanisme seperti apa dan perlindungan hak-hak seperti apa yang harus dipenuhi oleh negara terhadap orang yang dikenakan sanksi,” kata dia.
Ia juga mengungkit, bagaimana DPR mengambil sikap jika yang melakukan kritik adalah orang yang berlatar belakang profesi tertentu, seperti pers. Ia menjelaskan, bahwa pers telah memiliki mekanisme sendiri, yaitu diproses melalui Dewan Pers.
Namun, secara faktual Chandra mengatakan, cukup banyak rekan-rekan media yang harus menjalani proses hukum dengan mengesampingkan proses di Dewan Pers. Ia mencontohkan, di tahun 2010 lalu, ada pemberitaan media terhadap komisi I DPR-RI. Lalu DPR meresponnya dengan menuntut perusahaan media tersebut beberapa hal, yakni mencabut pemberitaan itu dan meminta maaf.
“Padahl UU Pers mereka juga yang buat. Maka ‘langkah lain’ yang disebut dalam pasal itu harus clear. Karena norma ada, tapi tak jelas orientasinya,” ungkap Chandra.
UU MD3 memang menuai polemik di masyarakat, hingga kini. Ada tiga pasal yang memuat kontroversi di perbincangan publik. Yakni:
Pasal 73:
Ayat (3): Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ayat (4) b: Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a.
Ayat (5): Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 122 huruf k: mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR;
Pasal 245:
Ayat (1): Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Ayat (2): Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Beberapa pendapat mengemuka dalam diskusi ini. Diantaranya, ulasan Ahmad Hanafi dari Indonesia Parliamentary Center yang menyebutkan lima potensi masalah yang ditimbulkan dari pengesahan UU MD3.
Pertama, terkait pengaturan rapat tertutup secara tidak tetap, ini dinilai berpotensi memunculkan mafia anggaran. Belakangan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) meminta DPRD maupun DPRK harus memasang CCTV di setiap ruang-ruang rapat, baik itu rapat paripurna, rapat Banggar dan Banmus.
“Harus direkam supaya tahu isi pembicaraannya, ini supaya terbuka,” kata Hamid Zein.
Terkait proses hukum yang harus mendapat persetujuan tertulis bagi anggota yang dipanggil dari Mahkamah Kehormatan Dewan, aturan ini dinilai upaya melindungi pelaku korupsi.
Poin berikutnya, mengenai penghapusan Alat Kelengkapan Badan Akuntabilitas keuangan negara, keberadaan UU ini mengalihkam fungsi sistem pengawasan anggaran ke masing-masing komisi di DPR. Yang ke empat, terkait jumlah komisi dan kewenangannya. Dan yang terakhir, terkait dengan penambahan hak anggota dewan yang mengusulkan program daerah pemilihan tanpa diikuti mekanisme yang jelas. ()
Belum ada komentar