PM, Tapaktuan – Fasilitas irigasi di gampong Pucok Krueng, kecamatan Pasie Raja, Aceh Selatan tidak bisa dimanfaatkan untuk persawahan warga. Akibatnya, ratusan petani di empat gampong, masing-masing Ladang Tengoh, Panton Bili, Ladang Tuha dan Pucok Krueng terkendala menggarap lahan persawahannya sejak beberapa tahun terakhir.
Pembangunan fasilitas irigasi tersebut diketahui bersumber dari dana APBA tahun 2016. Proyeknya dikerjakan oleh CV Zahra Utama. Adapun biaya yang dihabiskan untuk pembangunannya sebesar Rp900 juta lebih. Namun, lantaran bermasalah, ratusan sawah warga hingga kini tak bisa dialiri air.
Arifuddin, salah seorang petani setempat mengatakan, sejak selesai dibangun akhir tahun 2016 lalu, fasilitas irigasi Pucok Krueng tersebut sama sekali tidak bisa mengaliri air ke lahan persawahan masyarakat. Hal itu diduga sejak proses perencanaan yang tidak matang hingga saat proses pekerjaan proyek oleh CV Zahra Utama yang tidak berkualitas.
“Pekerjaan fasilitas irigasi tersebut jelas – jelas amburadul sehingga kami menilai sampai kapanpun air sungai Pucok Krueng tidak akan bisa disuplai ke lahan persawahan masyarakat. Hal ini terjadi akibat pekerjaan proyek oleh pihak rekanan yang tidak berkualitas atau bisa jadi akibat perencanaan awal yang tidak matang,” kata Arifuddin saat mendampingi wartawan meninjau Irigasi Pucok Krueng, Senin (19/2).
Soalnya, lanjut Arifuddin, kondisi fisik proyek irigasi tersebut letaknya jauh lebih tinggi dibandingkan muara sungai. Meskipun dibuat bendungan menggunakan batu gajah yang melintangi sungai, tetap saja air tidak mampu mengalir ke saluran irigasi yang tingginya mencapai satu meter dari muara sungai. Parahnya lagi, pondasi pintu irigasi yang dibangun dalam sungai justru tidak begitu dalam. Sehingga air sungai yang dibendung tak kunjung mampu mengalir ke dalam saluran irigasi, karena air sungai keburu habis terserap ke dalam tanah.
“Bagaimana air sungai bisa mengalir ke saluran irigasi, sementara air sungai keburu habis terserap ke dalam tanah. Seharusnya, jika ingin air bisa mengalir lancar ke dalam saluran yang tingginya sekitar semeter diatas muara sungai, pondasi pintu irigasi harus digali lebih dalam lagi, juga lapisan tanah muara sungai disekitar pintu irigasi dicor semen sehingga debit air yang tersedia tidak langsung habis terserap ke dalam tanah,” ungkapnya.
Untuk keperluan suplai air selama ini, kata Arifuddin, masyarakat petani di empat gampong tersebut terpaksa memasang mesin pompa menarik air dari saluran drainase yang ada. Disamping itu, sebagian gampong lainnya juga berinisiatif memasang pipa dengan mengandalkan sumber anggaran dari dana desa. Sedangkan terhadap lahan sawah yang tidak terjangkau mesin pompa air atau saluran pipa, mereka terpaksa harus menggarap lahan sawah dengan sistem tadah hujan.
“Segala cara ditempuh petani, meski demikian, upaya ini tetap tidak maksimal untuk mencukupi kebutuhan suplai air ke sawah mereka. Ini berdampak terhadap pola tanam padi yang hanya satu kali atau paling maksimal dua kali dalam setahun, tentu dengan hasil produksi yang tidak seperti diharapkan,” paparnya. Kini, ujar Arifuddin, fasilitas irigasi tersebut tak lebih hanya sebagai pajangan saja.
Pengambilan Batu Gajah Tak Kantongi Izin
Selain irigasi, puluhan kubik bongkahan batu gajah yang digunakan untuk membendung air sungai juga ditengarai bermasalah. Pasalnya, batu gajah yang diambil dari kebun masyarakat tidak jauh dari lokasi proyek, disebut-sebut tidak mengantongi izin galian C. Selain itu, pengambilan batu tersebut sampai saat ini juga belum habis dibayar kepada pemiliknya.
Ditambah lagi, kata Arifuddin, penggunaan jalan berkonstruksi rabat beton milik gampong setempat, belakangan rusak akibat lalu lalang dilintasi truck pengangkut material. Kerusakan tersebut sampai saat ini tak kunjung diperbaiki, meski sebelumnya telah ada perjanjian antara pihak rekanan dengan aparat gampong setempat untuk memperbaikinya.
“Keberadaan proyek ini justru membawa malapetaka bagi masyarakat gampong kami. Kami menilai keberadaan proyek ini sama halnya sengaja menghambur-hamburkan anggaran daerah secara tidak berguna,” sesalnya.
Sementara itu, Direktur CV Zahra Utama, Elly saat dimintai konfirmasi oleh wartawan di Kantor Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Aceh Selatan di Tapaktuan, membenarkan pihaknya yang mengerjakan proyek tersebut. Namun sebagai pelaksana di lapangan, mereka juga memakai jasa salah seorang warga Pasie Raja bernama Khaidir.
“Setahu kami pekerjaan proyek tersebut telah sesuai spesifikasi teknis yang tertuang dalam kontrak, jika tidak sesuai tidak mungkin diserahterimakan/Provisional Hand Over (PHO) oleh pihak dinas terkait. Selain itu, proses pekerjaannya juga diawasi oleh pihak konsultan pengawas dan PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) dari Dinas Pekerjaan Umum bernama Surya Rahmadi. Kami telah mengikuti petunjuk dan arahan dari pihak terkait dalam mengerjakan proyek tersebut,” kata Elly.
Karena itu, dia menyarankan wartawan mengkonfirmasi langsung pelaksana pekerjaan proyek di lapangan tersebut. “Sebab dia yang mengerti teknis proses pekerjaan dan PPTK proyek yang mengawasi langsung proses pekerjaan tersebut,” tambahnya.
Adapun PPTK yang juga Kepala Bidang Pengairan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Aceh Selatan, Surya Rahmadi mengatakan, proyek irigasi Pucok Krueng ditangani oleh pejabat sebelumnya. “Karena itu kami pejabat yang sekarang tak begitu paham duduk persoalannya,” kilah Surya.
Kendati demikian, ia menilai bahwa setiap proyek yang telah di PHO-kan tentu telah melewati beberapa tahapan pengecekan dilokasi, sebab hanya terhadap pekerjaan proyek yang telah sesuai ketentuan kontrak lah yang bisa di PHO-kan.
“Hanya saja, persoalannya air tidak bisa mengalir secara lancar ke lahan persawahan masyarakat karena debit air di sungai tersebut memang kurang,” kata Surya Rahmadi. Ia juga berjanji akan melaporkan persoalan itu kepada pimpinannya.
“Kita akan laporkan, agar diambil langkah penanganan lebih lanjut,” tandasnya.
Belum ada komentar