NATURAL disaster atau bencana alam bisa terjadi kapan dan di mana saja di belahan bumi ini, tak terkecuali di Kabupaten Aceh Besar. Kalau dilihat secara geografis, geologis, hidrologis, klimatologis dan demografis, Aceh Besar terletak pada kawasan rawan bencana.
Bencana alam yang rawan terjadi di Aceh Besar berupa gempa bumi, letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, bahkan gelombang tsunami. Karena secara topografi, Aceh Besar berdiri di atas daratan pantai, lereng, dan pegunungan, dengan wilayahnya mencapai 2.974,12 kilometer persegi
Terletak di antara 5,2 o -5,8 o Lintang Utara dan 95,0 o -95,8 o Bujur Timur. Bagian utara berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan Kota Banda Aceh. Sementara bagian selatannya, dengan Aceh Jaya, bagian timurnya dengan Pidie, dan bagain barat menghadap ke Samudera Hindia. Hampir seluruh penduduknya bermukim di dataran rendah dan dataran pantai.
Meski rawan bencana seperti yang diuraikan di atas, pemerintah setempat mencatat, kurun waktu 1990 hingga 2013 bencana yang pernah terjadi diantaranya angin topan, banjir, gelombang pasang dan abrasi, gempa bumi dan tsunami, kebakaran hutan dan lahan, hingga kekeringan.
Dari 62 kejadian kurun waktu tersebut, tercatat puluhan ribu orang meninggal dunia dan luka-luka. 854 rumah rusak berat, 266 rumah rusak ringan, dan banyak rumah lainnya hilang rata dengan tanah (saat tsunami 2004). Tentu saja sejarah kelam ini tidak ingin dirasakan oleh siapun di kemudian hari.
Oleh karena itu, menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Besar, Ridwan Jamil SSos MSi, penanggulangan bencana merupakan salah satu visi pemerintah setempat untuk menurunkan indeks risiko.
Pemerintah Aceh Besar, seperti dikatakan Ridwan Jamil, telah menyusun Perbup tentang Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten Aceh Besar 2016 hingga 2020.
Itu dilakukan sebagai wujud komitmen kuat untuk menjalankan amanat Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Bencana, serta Qanun Aceh Besar Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Bencana Daerah.
Dikatakan Ridwan Jamil, penanggulangan bencana adalah tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha.
Dalam pengertian ini, setiap orang atau komunitas ikut bertanggung jawab dalam penanggulangan becana untuk keamanan dan keselamatan diri, keluarga, maupun lingkungannya.
Di samping itu, pihaknya juga telah melakukan berbagai pelatihan dan simulasi untuk mengedukasi masyarakat dalam hal kesiap-siagaan ketika bencana benar-benar terjadi di kemudian hari.
“Bencana bisa terjadi kapan saja, makanya pemerintah telah mempersiapkan seperti yang disusun dalam RPB,” jelasnya lebih lanjut.
Sekretaris Komisi IV, DPR Kabupaten Aceh Besar Nasruddin M Daud, memiliki pandangan dan saran khusus dalam hal ini. Menurutnya, ada tiga phase yang harus dipersiapkan dalam menghadapi bencana alam terjadi.
“Ada tiga phase yang harus kita persiapkan dalam hal penanggulangan bencana, yakni; prabencana, ketika bencana dan pascabencana. Ini harus menjadi perhatian kita bersama, baik pemerintah hingga masyarakat sendiri,” kata Nasruddin.
Yang dimaksud dengan persiapan prabencana, kata Nasruddin, adalah sesuatu yang harus dilakukan menghadapi bencana ketika sewaktu-waktu terjadi. Seperti memberikan sosialisasi kepada masyarakat, baik itu simulasi penyelamatan atau evakuasi.
“Belajarlah pada sejarah tsunami 2004, banyak terjadi korban jiwa dan harta benda. Mungkin, seandainya warga sudah dipersiapkan jauh hari dengan berbagai pelatihan, baik itu simulasi penyelamatan ataupun evakuasi dan lainnya. Mungkin dampak risiko baik itu korban jiwa tidak terlalu besar,” katanya.
Makanya prabencana harus benar-benar dipersiapkan dengan matang kepada masyarakat melalui sosialisasi berbagai pelatihan kebencanaan, untuk menurunkan indeks risiko.
Tidak ada yang mampu mencegah bencana terjadi. Itu sebabnya, dengan adanya sosialisasi atau pelatihan, maka ketika bencana alam terjadi setidaknya dapat meminimalisir kerugian, baik korban jiwa, luka-luka dan korban harta benda.
Kemudian phase ke dua adalah ketika terjadi bencana, menurutnya pemerintah harus benar-benar memberikan perlindungan kepadarakyatnya. Baik evakuasi dan bantuan kesehatan.
Tujuannya, agar para korban benar- benar tertangani, baik yang meninggal dunia ataupun luka-luka. “Kemudian, menyuplai makanan danobat-obatan kepada para korban tersebut,” jelasnya.
Tahapan ketiga adalah pascabencana, yaitu masuk kepada rehabilitasi dan rekonstruksi jika itu bencana besar. Dalam tahapan ini, pemerintah harus memperbaiki sarana publik, baik itu sarana kesehatan pendidikan dan ekonomi. “Selanjutnya baru sumber mata pencaharian masyarakat,” bebernya.
Dalam hal rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah harus mengatur sebuah regulasi anggarannya dalam sebuah qanun. Agar tidak ada kendala dan bertentangan dengan hukum saat menggunakan anggaran.
“Selama ini kendala besar yang dihadapi dalam penanganan bencana misalnya dalam hal rehabilitasi dan rekonstruksi rumah diterjang banjir dan lainnya adalah soal anggaran,”
katanya.
Oleh karena itu, bagian ini juga sangat penting dipersiapkan pemerintah untuk mengatasinya. “Intinya, kami mendukung penuh Pemerintah Aceh Besar seperti yang disusun dalam Prebup tentang Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten Aceh Besar 2016 hingga 2020.”
Di lain sisi, Nasruddin mengimbau dan mengajak masyarakat agar tidak menebang hutan secara ilegal karena bisa menimbulkan berbagai bencana di kemudian hari.
“Tumbuhkan budaya sadar bencana dan tingkatkan pengetahuan masyarakat kita tentang kebencanaan,” demikian Nasruddin.(***)
Belum ada komentar