Langkah Siput Tangani Korupsi Kemenag

Langkah Siput Tangani Korupsi Kemenag
Langkah Siput Tangani Korupsi Kemenag

Penanganan dugaan korupsi di Kemenag Aceh semakin lamban setelah diambil-alih Kejati Aceh. Padahal, semula Kejari Banda Aceh sudah menetapkan dua tersangka dan tengah membidik tersangka baru.

Sudah tiga bulan berlalu sejak Kejaksaan Tinggi Aceh mengambil-alih penanganan perkara korupsi perencanaan gedung Kantor Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Aceh. Proyek perencanaan Kanwil Kemenag Aceh senilai Rp1.167.319.000 yang bersumber APBN 2015 ini sejatinya ditangani oleh Kejari Banda Aceh sejak April 2017.

Sejauh ini, penyidik telah menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Yuliardi dan Direktur PT Supernova Jaya Mandiri Hendra Saputra sebagai tersangka. Dalam perjalanannya, sudah banyak saksi yang diperiksa penyidik. Mulai dari rekanan, saksi ahli hingga Kakanwil Kemenag Aceh. Namun, kasus ini kembali mangkrak sejak ditangani Kejati Aceh.

Yuliardi dan Hedra Saputra sudah diperiksa sebagai tersangka pada awal Mei lalu. Pemeriksaan tersebut berlangsung selama tujuh jam, mulai pukul 15.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB. Saat menjalani pemeriksaan, baik Hendra maupun Yuliardi, ikut didampingi kuasa hukum masing-masing.

Sebelumnya, pada Selasa 18 April lalu, tujuh penyidik dari Kejari Banda Aceh juga menggeledah kantor Kanwil Kemenag Aceh. Tim yang dipimpin Kasi Pidsus Muhammad Zulfan didampingi Kasi Intel Himawan dan lima penyidik langsung masuk ke ruangan Kakanwil Kemenag Aceh Daud Pakeh. Saat digeledah, Daud Pakeh tidak berada di tempat.

Penggeledahan kemudian dilanjutkan ke ruangan Unit Layanan Pengadaan (ULP) hingga pukul 11.30 WIB. Dari ruang itu, penyidik menyita sejumlah dokumen menyangkut perencanaan pembangunan Kantor Kemenag Aceh pada 2015. Proyek desain gedung itu dikerjakan PT Supernova dengan nilai kontrak Rp1.167.319.000.

Dalam perjalanan kasus ini, nama Daud Pakeh dan Saiful Husin mulai disebut-sebut sebagi calon tersangka. Daud Pakeh adalah Kakanwil Kemenag Aceh, sedangkan Saiful Husin adalah dosen di Faktultas Teknik Universitas Syiah Kuala yang ditangarai sebagai pemilik sebenarnya PT Supernova, perusahaan pemenang tender proyek tersebut. Keduanya sejak awal diduga sebagai aktor intelektual dalam dugaan korupsi ini.

Sumber Pikiran Merdeka di lingkungan Kejaksaan Tinggi Aceh menyebutkan, kasus ini ditarik penanganannya ke Kejati menjelang penetapan tersangka baru. Kala itu, penyidik Kejari Banda Aceh hampir merampungkan berkas pemeriksaan saksi-saksi yang berjumlah puluhan orang.

Namun, lobi-lobi yang dilakukan untuk menghambat penyidikan terus dilakukan. Sempat beredar informasi di kalangan wartawan bahwa Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Muhammad Zulfan sempat dilaporkan ke Kejagung oleh Hendra Saputra, tersangka dalam kasus ini. Menurut Hendra, Zulfan bersikap arogan dalam pemeriksaan.

Puncaknya, kasus ini ditarik ke Kejati. Usai pemeriksaan Saiful Husin dan anaknya Khairunnisa selaku komisari PT Supernova, upaya menghambat kasus ini semakin kuat. Terlebih setelah Daud Pakeh diperiksa kedua kalinya dalam kapasitasnya sebagai pejabat yang menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM). Pakeh disebut mengetahui adanya surat yang ditandatangani oleh PPK Yuliardi dan Dirut Supernova, Hendra Saputra. Surat tersebut berisi pengakuan bahwa tak pernah dilakukan pekerjaan sondir dalam proyek tersebut.

Sementara dalam pemeriksaan pertama, pada 5 Juni lalu. Saat itu Pakeh diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Pada pemeriksaan kedua, Pakeh yang disidik dalam kapasitasnya sebagai pejabat yang menandatangani SPM, dipertanyakan kebijakannya tetap mencairkan dana 100 persen, meskipun ada item pekerjaan fiktif yang dilakukan dalam proyek tersebut. Padahal, Daud Pakeh sendiri disebut-sebut mengetahui pekerjaaan sondir tak pernah dilakukan dalam pelaksanaan proyek ini.

Pembayaran ini tertera dalam laporan dana monitoring SP2D-Bank KPPN Banda Aceh yang diperoleh Pikiran Merdeka. Pembayaran lunas pekerjaan perencanaan ke PT Supernova Jaya Mandiri dilakukan pada 29 Desember 2015 dengan nomor SP2D 150011301042691 dan nomor invoice 00449T/298362/2015. Transfer tersebut dari BRI ke rekening perusahaan itu di Bank Bukopin.

Saat pemeriksaan kedua tersangka, penyidik telah menemukan beberapa kegiatan fiktif, termasuk pekerjaan sondir tanah. Meski tidak dikerjakan, pekerjaan ini tertera di kontrak dan tetap dicairkan. Untuk berjaga-jaga agar tidak menjadi masalah di kemudian hari, Direktur PT Supernova Hendra Saputra dan Yuliardi lantas membuat surat pernyataan bahwa dalam pekerjaan sondir tidak pernah dilakukan dalam tahapan proyek ini. Namun, surat tersebut nyatanya menjadi pintu masuk penyidik.

Yuliardi dan Hendra Saputra sempat berkelit soal tidak dilakukannya proses sondir. Bahkan belakangan, PT Supernova sempat mengupayakan keluarnya hasil pekerjaan sondir tanah dari laboratorium Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala dan Universitas Muhammadiyah. Namun, karena proses pemeriksaan tengah berlangsung, pihak dari kedua kampus tersebut tak berani lagi mengeluarkan dokumen yang diminta oleh PT Supernova.

Atas dasar surat tersebut, penyidik akhirnya menetapkan keduanya sebagai tersangka. Bahkan, kata Zulfan, jika saja lebih dari dua orang yang ikut menandatangani surat tersebut, maka dipastikan juga langsung ditetapkan sebagai tersangka. “Meski nilainya kecil, ini menjadi pintu masuk kami untuk membongkar perbuatan jahat yang mereka lakukan,” jelas Kasi Pidsus, Muhammad Zulfan, medio Juni 2017 lalu.

Bahkan, kala itu Zulfan menegaskan, bukan hanya itu pekerjaan fiktif yang ditemukan dalam kasus tersebut. Pekerjaan fiktif lain juga dilakukan rekanan dengan sistematis.

Masih menurut sumber Pikiran Merdeka, pihak Kejari Banda Aceh sudah melakukan tiga kali ekspose perkara di Kejati Aceh. Dalam pemeriksaan saksi, diketahui keterlibatan Saiful Husin dalam proyek perencanaan gedung tersebut, namun namanya tak tertera dalam susunan yang tertera di kontrak. Dari pengakuan Hendra, proyek ini dikerjakan empat orang tenaga ahli dari Bandung.

Penyidik sudah memanggil salah satu dari empat orang tersebut untuk dimintai keterangan. Menurut sumber ini, saksi tersebut mengakui bahwa mereka yang mengerjakan proyek tersebut. “Namun kata penyidik dalam ekspose tersebut, saksi mengaku tak mengenal Dirut Supernova, Hendra Saputra. Mereka yang kenal hanya Saiful Husin. Inilah yang membuat dugaan keterlibatan dia (Saiful Husin) dalam kasus ini,” aku sumber yang minta namanya dirahasiakan. Disebut-sebut, Saiful yang juga Ketua Pesrsatuan Jasa Kontruksi (Perjasi) Aceh ini akan segera ditetapkan sebagai tersangka.

Saat dihubungi Pikiran Merdeka, Daud Pakeh dan Saiful Husin kompak tak bersedia memberikan penjelasan. SMS maupun pesan singkat melalui layanan WhatsApp tak direspon keduanya. Begitupula berulangkali panggilan telepon, tak pernah mereka angkat.

KEJANGGALAN KEJATI

Di balik pengambilalihan penanganan kasus ini oleh Kejati, mengundang banyak tanya. Pasalnya, dalam perjalanan penanganan kasus ini tak ada hambatan yang ditemui oleh Kejari Banda Aceh. Bahkan, dalam dua bualn bekerja, penyidik telah menetapkan dua tersangka.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Muhammad Zulfan kala itu mengatakan akan ada penambahan tersangka. Sementara itu, sejak ditangani Kejati, kasus ini seakan sengaja di-peties-kan.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Muhammad Zulfan yang dihubungi kembali enggan memberikan konfirmasi terkait kasus ini. Ia sempat menolak bertemu saat Pikiran Merdeka bertandang ke kantornya untuk meminta waktu wawancara, Jumat pekan lalu.

Dia juga irit bicara. Saat ditanyakan alasan utama kasus tersebut diambil alih Kejati, Zulfan hanya tersenyum. Ia juga tak menjawab pertanyaan Pikiran Merdeka terkait adanya dugaan intervensi kepada penyidik setelah pemanggilan Daud Pakeh dan Saiful Husin.

“Bukan saya tak mau memberikan penjelasan, tapi kan tahu sendiri kasus ini sudah ditangani Kejati. Saya tak punya kewenangan memberikan informasi apapun meski yang ditanyakan terkait pemeriksaan saksi saat kasus ini masih ditangani Kejari Banda Aceh,” ujarnya singkat. Ia pun meminta Pikiran Merdeka melakukan konfirmasi kepada Kasi Penkum dan Humas Kejati Aceh.

Askhalani

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani menilai menarik suatu perkara yang dinilai memiliki dampak luar biasa dan menyedot perhatian publik, seharusnya dibarengi dengan tindakan cepat. “Ini malah sebaliknya. Setelah menarik perkara, malah tidak jelas statusnya,” ujarnya.

Ia mencontohkan, KPK tiba-tiba menarik perkara yang ditangani kejaksaan karena ditemukan barang bukti keterlibatan pihak lain, KPK harus bekerja ekstra. “Tapi ini membingungkan kami, Kajati menarik perkara ini namun proses penanganan perkaranya masih sama atau malah bisa dibilang semakin lamban,” ujar Askhalani di ujung telepon, Sabtu pekan lalu.

GeRAK Aceh berencana bertemu dengan Kajati baru untuk membahas kedua kasus di Kemenag Aceh yang ditangani kejaksaan. ”Ini kan pelakunya orang yang sama. Kasus perencanaan gedung Kemenag maupun Madu (Madrasah Terpadu) di Sabang. Saat kasus Madu, orang yang saat ini menjabat Kakanwil Kemenag Aceh dulu adalah pengambil keputusan di (Kankemenag) Sabang,” tuturnya.

Ia menegaskan, Kajati harus berani menyampaikan ke publik sejauh mana perkembangan kasus tersebut. Jangan sampai ada statemen yang berubah-berubah. Jangan pada satu kesempatan disampaikan akan ada tersangka baru, namun pada pertemuan lain disampaikan masih dalam tahap penyidikan. “Menurut kami, ada unsur yang memberatkan bahwa terpenuhi unsur tindak pidana korupsi dan berpotensi terjadinya kerugian negara di kasus ini,” tegas Askhalani.

Dilihat dari rentetan kasus, ada pihak lain yang melakukan lobi-lobi maupun pressure kepada penyidik agar tidak ada lagi tersangka baru. “Dalam hal penarikan kasus ini juga kita melihat ada banyak pihak yang merasa punya kekuatan untuk bisa menekan aparat kejaksaan,” katanya.

“Kita melihat gaya-gaya mereka selama penyidikan, adanya lobi-lobi agar Kejati tidak mencari tersangka baru yang merupakan pengambil keputusan,” sambungnya.

Menurut dia, Kajati baru harus berani melawan arus. Selama ini, ada banyak kepentingan dalam proyek tersebut yang mempengaruhi penangan dugaan korupsi tersebu. Termasuk melakukan lobi-lobi untuk tidak melanjutkan kasus ini hingga ke pengadilan.[]

 

Kejati Terkesan Lindungi Aktor Intelektual

Baihaqi

Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh segera menuntas kasus indikasi korupsi perencanaan pembangunan Kanwil Kemenag Aceh. Perkara yang awalnya ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh itu belakangan ditarik Kejati Aceh dengan dalih kasus besar yang menjadi perhatian publik.

Berdasarkan catatan MaTA, saat penangan perkara ini oleh Kejari Banda Aceh, sudah ada dua oknum yang telah ditetapkan sebagai tersangka, PPK pada Kemenag Aceh dan Direktur Utama PT Supernova. “Namun, ketika kasus ini ditangani Kejati Aceh, belum ada perkembangan apapun, bahkan stagnan,” sebut Baihaqi, Koordinator Bidang Hukum dan Politik MaTA.

Karena itu, lanjut dia, penarikan penanganan oleh Kejati Aceh patut diduga sebagai bagian untuk melindungi oknum intelektual yang ikut terlibat dalam perkara tersebut.

Bagi MaTA, alasan kasus besar yang diutarakan Kejati Aceh patut diduga terlalu mengada-ngada. Sebelumnya, Kejari Banda Aceh juga sudah pernah menangani kasus indikasi korupsi pengadaan Damkar. “Kasus Damkar juga merupakan kasus besar yang menjadi perhatian masyarakat, kenapa penanganannya tidak ditarik ke Kejati Aceh? Apa karena oknum yang diduga terlibat tidak memiliki relasi hingga ke Kejaksaaan Agung (Kejagung) dan Kementrian?,” tutur Baihaqi.

Di sisi lain, MaTA menilai, dalam kasus ini bukan hanya dua orang yang terlibat. Namun, patut diduga ada aktor lain yang terindikasi kuat ikut serta bermain dalam menggerogoti uang negara. Sesuai dengan catatan, penyidik menemukan beberapa kegiatan fiktif yang dilakukan oleh PT Supernova. “Meski tidak dikerjakan, tapi anggarannya bisa dicairkan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin anggaran bisa cair kalau tidak ada oknum yang memiliki kuasa untuk menandatangi Surat Perintah Membayar (SPM)?” cecarnya.

Selain itu, MaTA juga mengingatkan bahwa penyimpangan menggunakan mekanisme tender mengindikasikan bahwa korupsi tidak berdiri sendiri, akan tetapi ada arahan dari pihak pimpinan. “Makanya kasus ini perlu dikawal agar aktornya terungkap. Sikat semuanya. Jangan ada yang tinggal. Apalagi, biasanya dalam kasus pengadaan barang dan jasa itu otomatis Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)-nya pasti kena. Kalau tidak, ya kejaksaan harus bisa memberi klarifikasi nanti kenapa KPA tidak kena. Kita perlu ingat, kasus korupsi seperti ini tak pernah berdiri sendiri,” kata dia lagi.

Untuk itu, MaTA mendesak Kejati Aceh jangan hanya fokus pada dua oknum yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka. “Follow the money juga perlu dilakukan oleh penyidik Kejati Aceh, sehingga oknum-oknum yang ikut serta menerima aliaran dana juga bisa dipastikan untuk dijerat secara hukum,” tambah Baihaqi.

MaTA menilai, hal ini sangat mudah dilakukan oleh Kejati Aceh, terlebih track perjalanan kasus ini sudah dikantongi oleh penyidik di Kejari Banda Aceh. “Selain itu, penting juga bagi Kejati Aceh untuk memastikan oknum-oknum lain dibalik PT Supernova yang ikut memainkan peran penting dalam perkara ini,” katanya.

Hal yang mesti juga ditelusuri, kata Baihaqi, terkait aliran dana. Dalam hal ini, aktor rasuah diketahui pintar bermain sangat ‘abu-abu’, tidak langsung terlibat. “Ini juga perlu diusut, jangan diabaikan. Ini jarang sekali ditelurusuri oleh kejaksaan. Nah, dalam kasus ini (Kemenag) kita berharap, jika ada kerugian negara, pihak kejaksaan bisa menelusurinya, termasuk jika pimpinan menerima aliran dananya. Itu harus diusut,” imbuhnya.

MaTA berharap, Kejati Aceh harus serius mengusut tuntas kasus ini, sehingga dugaan-dugaan miring terhadap Kejati Aceh dapat ditepis. Terlebih, saat ini Kejati Aceh sudah dipimpin oleh orang baru. Kasus indikasi korupsi perencanaan pembangunan Kakanwil Kemenag Aceh menjadi pembuktian bahwa Kajati Aceh yang baru serius terhadap pemberantasan korupsi di Aceh.[]

Status Perkara Kemenag akan Ditelaah Kembali

Amir Hamzah

Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Aceh Teuku Rahmadsyah membantah Kejati Aceh tak bekerja serius menangani kasus ini. Ia menjelaskan bahwa tim Penyidik masih memberkaskan terhadap dua tersangka.

Bahkan, diakuinya tim penyidik minggu lalu baru selesai periksa ahli dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (disingkat LKPP) untuk menambah alat bukti.

“Kita baru panggil saksi ahli dari lagi LKPP Pusat di Jakarta untuk penambahan alat bukti. Minggu depan rencana dengan ahli auditor untuk perhutungan kerugian keuangan negara. Saat ini tim masih bekerja bang,” tulis Rahmadsyah lewat layanan WhatsApp membalas sederet pertanyaan Pikrian Merdeka, Sabtu, 11 November 2017. Ia tak bersedia bicara panjang lebar mengenai kasus ini.

Namun, keterangan berbeda disampaikan Kepala Seksi Penegakan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejati Aceh, Amir Hamzah. Secara terpisah Amir kepada Pikrian Merdeka mengatkan sejauh ini berkas kasus korupsi Kemenag Aceh limpahan dari Kejari Banda Aceh, masih ditelaah oleh tim penyidik. “Termasuk menelaah berkas mereka yang sudah ditetapkan sebagai calon tersangka,” ujar Amir, Sabtu pekan lalu.

Diakuinya, selama kasus itu diserahkan ke Kejati Aceh memang belum ada pemeriksaan, baik saksi-saksi maupun para tersangka yang ditetapkan. Saat ini, kata Amir, masih pada tahap memeriksa berkas sebagai evaluasi siapa saja nantinya saksi-saksi lain yang harus dimintai keterangan dalam perkara ini.

Dikatakannya, di Kejari Banda Aceh memang sudah ada saksi-saksi yang dipanggil, bahkan sudah ada tersangka dan calon tersangka lainnnya. Namun, kata dia, semua itu harus dievaluasi kembali. “Bisa saja saksi yang sudah dimintai keterangan akan dipanggil kembali untuk lebih menguatkan keterangan mereka yang sudah ada,” katanya.

Hal terpenting, lanjut Amir, kasus ini harus dipelajari terlebih dahulu oleh Kajati Aceh Chaerul Amir yang baru saja dilantik menggantikan Raja Nafrizal. Karena itu, Amir mengaku belum bisa menjelaskan secara detil menyangkut penanganan perkara tersebut.

Untuk itu, ia meminta publik bersabar dan memberi waktu kepada penyidik untuk berkerja menuntaskannya. “Intinya, perkara itu masih dalam telaah tim penyidik,” tegas Amir di akhir perbincangan.[]

Dari Temuan BPK Berlabuh di Kejaksaan

Aroma korupsi itu tercium penyidik berawal dari temuan BPK RI Tahun 2016 pada proyek perencanaan Kantor Kanwil Kemenag Aceh senilai Rp1,1 miliar lebih Tahun Anggaran 2015. Proyek perencanaan pembangunan tersebut tidak diyakini kewajarannya.

Temuan BPK itu diketahui dari surat Sekretaris Jendral (Sekjen) Kementrian Agama Nomor R-5790/SJ/B.IV.4/PS.00/08/2016 yang memerintahkan Kepala Kanwil Kemenag Aceh untuk menindaklanjuti temuan BPK RI No.24B/LHP/XVIII/2016 tanggal 16 Mei 2016.

Surat tersebut seakan memperkuat surat BPK bertanggal 22 Februari 2016, yang menyimpulkan ada tujuh poin ketidakpatuhan intern terhadap peraturan perundang-undangan di Kemenag Aceh. Dari tujuh poin tersebut, salah satunya biaya personil pekerjaan Perencanaan Pembangunan Kantor Kanwil Kemenag Aceh Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp739.699.900 tidak dapat diyakini kewajarannya.

Dua surat tersebut mengindikasikan ada yang tidak beres terkait pekerjaan perencanaan Kantor Kanwil Kemenag Aceh yang dilaksanakan PT Supernova Jaya Mandiri pada 2015.

Sebelum jaksa masuk menangani kasus ini, Unit Tindak Pidana Khusus Korupsi (Tipikor) Polresta Banda Aceh juga pernah menyelidiki kasus proyek perencanaan gedung kantor Kanwil Kemenag Aceh pada pertengahan 2016 lalu. Tidak diketahui pasti alasan kasus korupsi tersebut, kemudian dihentikan begitu saja.

Padahal, kala itu polisi pernah memeriksa sejumlah pejabat di Kemenag Aceh dalam status sebagai saksi, salah satunya Daud Pakeh. Hal itu dikuatkan dengan surat panggilan Polresta Banda Aceh terhadap Daud Pakeh pada 31 Mei 2016.

Dalam surat tersebut, Daud Pakeh sebagai pejabat yang menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM) diminta menjumpai penyidik Tipikor Satreskrim di Polresta Banda Aceh pada awal Juni 2016.

Sebelumnya, penyidik juga pernah menyurati Daud Pakeh untuk menghadirkan Hasan Basri sebagai panitia penerima barang (PHO) ke Polresta Banda Aceh pada Senin, 30 April 2016, guna menghadap Kanit II Ipda Rajabul Asra HM SH.
Setelah mangkrak di Polresta, perkara itu belakangan ditangani Kejari Banda Aceh hingga diambil-alih Kejati Aceh.

KONGKALIKONG

Berdasarkan penelusuran Pikiran Merdeka, dalam kasus itu, kuat dugaan sejak proses pengusulan anggaran hingga tender adanya kongkalikong pejabat tekait dengan rekanan pemenang lelang, PT Supernova.

Indikasi itu juga tercium sejak munculnya proyek tersebut dalam DIPA 2015. Anggaran pengadaan konsultansi perencanaan sebelumnya tidak masuk DIPA 2015, namun kemudian disisipkan melalui revisi DIPA 2015 yang dilakukan pada akhir tahun. Hal ini menyiasati edaran Menteri Keuangan Nomor S-841/MK.02/2014 tanggal 16 Desember 2014 yang melarang adanya pembangunan gedung negara untuk tahun 2015.

Lalu adanya dugaan pengaturan jadwal pelelangan yang dikondisikan sesingkat mungkin dan tanpa mengikuti ketentuan serta tahapan yang tercantum dalam Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa. Seperti penyimpangan terhadap masa tayang jadwal pengumuman lelang. Jadwal pengumuman lelang mulai tanggal 17 November 2015 pukul 22.45 WIB sampai dengan 20 November 2015 pukul 23.59 WIB atau total durasi waktu 3 hari 2 jam.

Dalam laman laman LPSE kemenag.go.id, pengumuman prakualifikasi perencanaan gedung Kemenag Aceh pada 17 November 2015, penetapan pemenang 2 Desember, serta penandatanganan kontrak pada 4 Desember 2015.

Selanjutnya, masa penayangan pengumuman lelang untuk seleksi umum yang telah dilakukan pada paket tersebut, juga tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah beserta dengan perubahannya dan Perka LKPP No.1 Tahun 2015 tentang e-Tendering.

“Lelang dibuka di akhir tahun untuk membendung perusahaan lain agar tidak bisa ikut. Tidak wajar sebuah perencanaan yang nilainya di atas Rp1 miliar bisa dikerjakan tidak sampai sebulan,” kata sumber Pikiran Merdeka yang minta namanya dirahasiakan.

Selain itu, masa kerja yang singkat dari selesai pelelangan sampai dengan pencairan anggaran hanya 14 hari kerja juga dinilai janggal untuk pekerjaan senilai Rp1,1 miliar. Selanjutnya, dalam pelaksanaannya diduga banyak kegiatan fiktif yang dilakukan rekanan.

Sementara pencairan dana tidak dilakukan bertahap, melainkan dilakukan 100 persen. Hal itu terlihat dalam laporan dana monitoring SP2D-Bank KPPN Banda Aceh yang diperoleh Pikiran Merdeka. Pembayaran lunas pekerjaan perencanaan ke PT Supernova Jaya Mandiri dilakukan pada 29 Desember 2015 dengan nomor SP2D 150011301042691 dan nomor invoice 00449T/298362/2015. Transfer tersebut dari Bank BRI ke rekening perusahaan di Bank Bukopin.

Indikasi adanya campur tangan orang kuat di internal Kemenag Aceh pun sulit dibantahkan. Kalau tidak, mustahil proses pelelangan jasa konsultan perencanaan itu bisa dilakukan pada akhir tahun.

Sumber di internal Supernova kepada Pikiran Merdeka juga sempat membuat pengakuan mengejutkan. Pekerjaan ini sebenarnya baru selesai pada Maret 2016. “Meski sduah ditrik pendanaannya, pekerjaan ini sendiri baru selesai Maret tahun berikutnya,” ujar sumber yang menolak namanya ditulis.

SKA BODONG

Berdasarkan penelusuran Pikiran Merdeka, selain pekerjaan sondir tanah yang tak pernah dikerjakan dalam proyek ini, salah satu pekerjaan fiktif lainnya adalah adanya kecurangan bahwa pengerjaan proyek tersebut bukan dilaksanakan oleh ahli yang memiliki Surat Keterangan Ahli (SKA) seperti yang mereka daftarkan dalam dokumen penawaran. Padahal, dalam proses kualifikasi lelang, hal tersebut disyaratkan dan wajib dipenuhi.

Kebutuhan para ahli memang dipenuhi dan tertera dalam dokumen lelang, namun dalam pelaksanaannya pekerjaan itu tidak dikerjakan oleh ahli yang tertera dalam kontrak. Tujuannya, honor sebagaimana tertera di kontrak kerja tak perlu diberikan kepada tenaga ahli. Hal inilah yang dinilai penyidik terjadinya kerugian negara akibat adanya manipulasi yang dilakukan rekanan.

Sedikit mereview ke belakang, berdasarkan catatan Pikiran Merdeka saat mewawancarai Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Muhammad Zulfan pada 13 Juni lalu, ia membenarkan hal tersebut. Kata dia, hal inilah yang didalami penyidik terkait adanya manipulasi tenaga personil yang mengantongi SKA. Bahkan, sejumlah ahli yang diperiksa oleh jaksa mengaku tak pernah bekerja dengan PT Supernova maupun Hendra Saputra.

Kepada penyidik, Hendra Saputra sudah mengakui bahwa pekerjaan itu tak seluruhnya dikerjakan oleh personil ahli sebagaimana dinyatakan dalam dokumen. Namun, ia berdalih, produk yang mereka kerjakan sudah sesuai spesifikasi kontrak dan bisa dipertanggungjawabkan. Soal itu, Zulfan menjelaskan, penyidik tak hanya melihat produk namun prosesnya, sejak pelelangan hingga selesai pengerjaan.

Diakui Zulfan, dalam pemeriksaan terhadap personil PT Supernova yang tertera dalam kontrak, hampir seluruhnya mengaku tak pernah bekerja dengan PT Supernova. Bahkan, di antaranya mengaku ada yang belum pernah bekerja di Banda Aceh. “Para tenaga ahli yang tersebar di Aceh, Medan, Jambi, Bandung dan Jakarta ini sudah kami periksa. Mereka semua kooperatif. Ada yang datang ke Banda Aceh, dan ada pula yang kami periksa di luar kota karena mereka tak bisa meninggalkan tugas,” jelasnya.

Dari pemeriksaan saksi, ada yang mengaku pernah bekerja dengan PT SJM, namun tidak dalam pekerjaan ini. Selain itu, ada pula yang mengaku tahu namanya dimasukkan sebagai personil dalam pekerjaan tersebut namun dengan perjanjiaan tak dilibatkan. Mereka hanya menerima upah atas SKA-nya yang dipinjamkan. Ada pula yang mengatakan tak pernah menyerahkan SKA mereka untuk PT Supernova dan mereka heran mengapa SKA mereka bisa di tangan PT Supernova. Parahnya, ada yang mengaku tak pernah membuat SKA seperti yang dimiliki oleh PT Supernova.

“Yang lebih gawat lagi, ada yang mengaku tak pernah mengantongi SKA dimaksud. Ia bingung siapa yang membuat SKA di LPJK hingga kemudian ada di tangan PT Supernova,” bebernya.

Bahkan, kata Zulfan, ada orang yang tertera sebagai personil dalam pekerjaan ini bersatus karyawan di salah satu BUMN yang bergerak di bidang konstruksi. Tentunya, SKA yang dia miliki saat ini dipegang oleh perusahaan dan tak pernah diserahkan kepada PT Supernova.

Untuk itu, sambung Zulfan, penyidik telah memanggil Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi (LPJKP) Aceh sebagai saksi ahli dalam kasus ini pada 19 April lalu. Namun, di luar dugaan penyidik, LPJKP Aceh menolak hadir. Mereka menjawab surat jaksa dengan surat yang ditandatangani langsung oleh Ketua LPJKP Aceh, Ir Tripoli pada 8 Mei lalu.

Dalam surat itu, Tripoli menjelaskan dirinya sengaja mengutus Manajer Ekeskutif LPJKP Aceh pada Jumat, 5 Mei 2017 untuk menghadap Kasi Pidsus guna mengetahui soal saksi yang dimaksud. Menurut Tripoli, setelah berdiskusi dengan staf maupun koleganya, LKPJKP Aceh belum bersedia memenuhi permintaan jaksa untuk memberikan keterangan sebagai saksi ahli yang dibutuhkan penyidik.

Jawaban Tripoli membuat jaksa kecewa. Menurut Zulfan, pihaknya mempertanyakan mengapa LPJKP Aceh selaku pihak yang mengeluarkan SKA malah menolak memberikan keterangan. Padahal, keterangan ahli dari mereka disebut Zulfan sangat dibutuhkan dalam mengungkap adanya praktik jual-beli SKA maupun proses pembuatan SKA fiktif.

Ia juga menduga ada pengaruh kuat dari seseorang yang mengintervensi LKPJKP Aceh, sehingga mereka tak bersedia menjadi saksi ahli.

JEJAK SAIFUL HUSIN

Nama Ir Saiful Husen mulai menjadi perhatian jaksa saat disebut sejumlah saksi. Dalam pemeriksaan beberapa saksi sebelumnya, kepada penyidik, mereka menyebut hanya mengenal Saiful Husen sebagai pemilik PT Supernova. Kemudian, mereka dikenalkan oleh Saiful dengan Hendra Saputra. “Karena itulah, kami akan periksa dia (Saiful Husen). Kita sudah jadwalkan pemanggilannya pada Rabu pekan depan,” sebut Muhammad Zulfan, Kasi Pidsus Kejari Banda Aceh pada 12 Juni lalu.

Saiful Husen memang ditengarai sebagai orang yang mengatur berbagai proyek di Kemenag Aceh. Ia sempat dijadwalkan diperiksa penyidik pada Rabu, 14 Juni 2017.

Berdasarkan penelusuran Pikiran Merdeka dan pengakuan dari sumber internal Kemenag Aceh, Saiful adalah pihak yang mengatur berbagai proyek di Kemanag Aceh. Dosen senior Teknik Sipil Unsyiah ini punya pengaruh kuat di jajaran institusi keagamaan tersebut.

Paman dari tersangka Hendra Saputra ini disebut-sebut adalah pemilik PT Supernova yang sesungguhnya. Namun, dengan keberadaannya sebagai dosen PNS, dia memberikan perusahaan itu untuk diurus keponakan dan anaknya. Nama Saiful Husen sendiri cukup populer di kalangan pengusaha di Aceh. Dia juga diketahui menjabat Ketua Perusahaan Jasa Kontruksi (Perjasi) Aceh.

Saat Pikiran Merdeka menurunkan berita Gurita Proyek Bermasalah di Kemenag Aceh pada 13 Oktober 2016, Saiful Husen mengaku hanya PT Supernova Jaya Mandiri perusahaan miliknya. Bergerak di bidang jasa konsultan perencanaan, Saiful Husen pernah menjabat sebagai Komisaris Utama dalam perusahaan tersebut. Namun, sekarang dirinya mengaku tidak lagi terlibat aktif di dalamnya.

“Perusahaan itu sekarang diurus oleh anak-anak muda, saya lebih konsen di kampus sekarang,” aku Saiful Husen kala itu.

Saa itu, dia juga mengaku tidak berafiliasi dengan rekanan lain yang melaksanakan proyek di Kemenag Aceh. Saiful juga membantah berafiliasi dengan beberapa perusahaan milik adik dan temannya dalam mengerjakan proyek-proyek di Kanwil Kemenag Aceh. Tuduhan adanya monopoli proyek yang dikerjakan keluarga dan teman-temannya di instansi agama itu dinilainya sebuah fitnah tanpa ada dasar.

Misalnya PT Puga Bangun Cemerlang dan Pilar Jurong Sejati milik Syarwan Puteh yang merupakan kolega Saiful Husen, PT Donya Lestari Konsultant dengan Direktur Zahidi Irwanda (adik ipar Saiful Husen) satu alamat dengan PT Supernova Jaya Mandiri dan PT Pemvad Kharisma dengan direktur Dedi Gunawan (keponakan Saiful Husen).

Menurut Saiful Husen, perusahaan–perusahaan milik adik ipar dan temannya itu merupakan perusahaan profesional di bidangnya masing-masing. Mereka murni memenangkan proyek tersebut karena dianggap memenuhi kualifikasi oleh Pokja saat mengikuti lelang.

“Lelang eloktronik ini sangat sulit direkayasa, karena bisa diakses langsung, khususnya oleh penyidik. Jadi, bisa ketahuan jika ada rekayasa pemenangnya. Beda dengan sistem lelang konvesional seperti dulu, rekanan dan panitia mudah bermain,” pungkas Saiful.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait