Coreng Asusila di RSUZA

Coreng Asusila di RSUZA
Coreng Asusila di RSUZA

Usai menjalani operasi ringan, perempuan belia dicabuli petugas kebersihan rumah sakit. Kasus ini menjadi bukti bobroknya standar keamanan pasien di RSUZA.

Kala itu, kondisi Mawar—bukan nama sebenarnya—masih belum sadar sepenuhnya. Usai menjalani operasi ringan THT di Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, pada Kamis (5/10), perempuan berusia 17 tahun itu diboyong ke ruang pemulihan. Mawar tidak sendirian di ruang tunggu paska operasi itu, tapi bersama beberapa pasien lain yang ranjangnya hanya dibatasi sekat kain.

Selayaknya, para pasien paska operasi ini berada dalam pengawasan perawat anestesi. Sebab, di ruang itu tingkat kesadaran pasien diobservasi.

Namun, usai memindahkan Mawar, perawat perempuan yang merawatnya sejenak beranjak ke kamar mandi. Suasana lalu sepi. Diduga, dalam jeda waktu lima hingga tujuh menit, SR (19 tahun) yang merupakan petugas kebersihan rumah sakit masuk ke ruang tersebut. Saat itulah, pria tersebut mencabuli Mawar.

“Ketika itulah SR menodai korban,” ujar Rachmadi, Kasubag Informasi dan Komunikasi RSUDZA kepada Pikiran Merdeka, Jumat (20/10) pekan lalu.

Mawar yang kala itu menyadari dirinya tengah dilecehkan, hanya bisa menangis. Ia tak berdaya untuk melawan karena kondisinya masih sangat lemah. Tante korban, RY (34) menyebutkan, pelaku menggerayangi bagian atas tubuh Mawar saat keponakannya itu masih dalam pengaruh obat bius. Tak hanya itu, setelah melecehkan Mawar, SR sempat keluar sebentar. Setelah memastikan suasana masih sepi, pria itu masuk ke kamar lagi dan mengulangi perbuatan bejatnya.

RY mengaku miris saat mengingat cerita itu. Setahunya, saat pelecehan terjadi memang tidak ada dokter dan perawat di ruangan itu. “Pelaku buru-buru kabur dari ruangan itu, setelah mendengar keponakannya saya batuk-batuk,” ujar RY dalam sebuah konferensi pers, pekan lalu.

Berbeda dengan cerita RY, keterangan dari Rachmady lain lagi. Menurut Humas RSUZA ini, pelaku keluar dari ruangan setelah perawat menegurnya. “Perawat keluar dari kamar mandi, lalu mendapati tirai di samping ranjang Mawar dalam keadaan tertutup, padahal tadinya terbuka,” katanya.

Sontak saja perawat terkejut melihat SR ada dalam ruangan. Padahal, secara prosedur, petugas kebersihan baru diperbolehkan masuk usai ruangan dikosongkan. Ketika ditanyai perawat, SR berkilah. “Saya mau mengambil baju kotor,” kata pelaku seperti ditiru Rachmady.

Perawat kala itu tak menaruh curiga. Sebab, memang demikian rutinitas yang dijalankan oleh petugas kebersihan. “Kamar dibersihkan setelah dikosongkan terlebih dulu, itu seharusnya. Cuma kita ya naasnya, ketika ditinggal sebentar oleh perawat, pelaku masuk dan pelecehan itu terjadi sebentar saja. Ini yang luput dari pengawasan,” sesal Rachmady.

Perbuatan bejat SR mulai terungkap usai maghrib. Sambil menangis, Mawar mengadu pada tantenya bahwa ia telah dilecehkan. Semula RY tidak begitu yakin tentang apa yang diungkapkan keponakannya itu. Lama bercerita, RY akhirnya yakin. Saat itu juga ia langsung menjumpai Direksi RSUDZA untuk melaporkan kejadian yang menimpa Mawar.

SR lalu dipanggil dan diselidiki. Ketika itu pula, SR mengakui perbuatannya. Tapi belakangan RY kecewa saat pertemuan lanjutan keesokan harinya, pihak direksi hanya meminta maaf. Ia merasa pihak rumah sakit menyepelekan kasus tersebut.

“Mana tanggung jawab pihak rumah sakit? Jangan cuma bisa bilang maaf, karena kalau besok saya lecehkan anak perempuan dokter, apa juga dimaafkan? Anak saya bukan barang yang bisa dipegang-pegang,” ujar RY sambil menahan emosinya.

Kepada Pikiran Merdeka, Rachmady membantah jika pihak rumah sakit dianggap menyepelekan persoalan ini. “Dari awal sudah kami upayakan fasilitasi sebelum persoalan ini mencuat. Sama sekali tidak kami sepelekan, kan ada direktur beserta jajarannya bertemu dengan pihak korban. Artinya ini langsung kita respon, tapi kita lebih melihat ini dari sisi psikologis korban,” ujar Rachmady.

Di hari itu juga, tambahnya, RSUDZA langsung melayangkan teguran ke PT Bina Tarancang selaku penyedia tenaga kebersihan. Namun, pihaknya mengupayakan kasus ini ditempuh dengan cara kekeluargaan. “Kita juga memfasilitasi korban kalau ingin konsultasi ke psikolog. Jadi, ini murni karena memikirkan psikologis korban. Jika diteruskan, besar kemungkinan terekspos,” jelasnya.
Pertemuan selanjutnya antara perusahaan dengan keluarga korban difasilitasi oleh pihak Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Dalam pertemuan pada Jumat (6/10) itu, perusahaan penyedia tenaga kebersiahan itu menerima teguran dari rumah sakit. “Mereka terima konsekuensinya,” kata Rachmady.

Menyangkut dugaan bahwa PT Bina Tarancang sempat menawarkan ‘uang damai’ kepada keluarga korban agar kasus ini tak diteruskan, Rachmady mengaku tidak tahu menahu. “Bisa tanyakan saja langsung ke perusahaan, saya kurang tahu info soal itu,” sahutnya.

Pikiran Merdeka juga berusaha menemui pihak perusahaan yang berkantor di Jalan TA Jalil 31 Kampong Baro, Banda Aceh itu. Namun, sesampai di sana, hasilnya nihil. Tak tampak plang PT Bina Tarancang Utama di kawasan itu.

KORBAN TRAUMA BERAT
Pelecehan seksual yang terjadi di rumah sakit plat merah ini menuai respon negatif. Banyak pihak yang menyayangkan kinerja pihak manajemen. Selain itu, kondisi psikologis korban hingga kini masih trauma.

Dalam konferensi persnya, RY mewakili keluarga korban sempat menyodorkan surat keterangan yang dikeluarkan pada Rabu (11/10) oleh psikolog di RSUZA, Lely Safrina. Usai menerima konsultasi dari korban, Lely dalam surat tersebut menyatakan Mawar yang masih berusia 17 merasakan gejala ketakutan berlebihan. Korban disimpulkan mengalami trauma kronis.

“Menurut psikolog, peristiwa yang dialami pasien biasanya akan memberikan dampak tertentu pada kepribadian, identitas diri, memori, perubahan mood dan juga emosi. Pasien diharapkan mendapatkan terapi psikologis jangka panjang untuk mengatasi dampak yang dialaminya,” ujar RY, membaca surat keterangan itu.

Sementara itu, tanggapan juga datang dari psikolog Nurjannah Nitura. Ia mengungkapkan, ada yang disebut sindrom berupa stres paska trauma setelah sesorang mengalami pelecehan seksual. “Korban biasanya shock, kaget, kadang merasa kedinginan, kotor, kebingungan mental, gemetar, mual dan muntah, insomnia, mimpi buruk, mengisolir diri, sakit kepala, dan kecemasan yang hebat. Reaksi sindroma ini bisa pada fisik, psikis maupun sosial,” kata Nurjannah kepada Pikiran Merdeka, Jumat (20/10) pekan lalu.

Gangguan lain juga bisa terjadi, tambah dia, jika korban tidak diterapi secara intensif. Karena itu, beberapa upaya perlu sesegera mungkin dilakukan. Di antaranya, memberikan dukungan dan bantuan psikologis dan sosial, serta memberi penguatan kepada korban dan keluarganya.

“Bantuan psikologis berupa konseling dan psikoterapi akan membantu pemrosesan kembali trauma yg dialaminya. Sehingga luka psikologis pulih. Dukungan sosial.akan membantu korban kembali percaya diri untuk melakukan aktivitas nya,” ujar psikolog yang juga Direktur Eksekutif Psikodista ini. Dirinya mengaku sangat prihatin dengan kejadian yang menimpa Mawar.

Kepada orang tua korban, Nurjannah menyarankan untuk lebih meningkatkan waktu dan perhatian terhadap korban. Pihak keluarga perlu menghadirkan interaksi dan aktivitas yang mendukung pemulihan mental korban. “Meyakinkan korban akan punishment hukum yang akan diterima pelaku, ini untuk menjaga keseimbangan psikologis, orang tua maupun keluarga dekat harus selalu ada untuk korban, sembari melanjutkan proses hukum buat pelaku,” tambahnya.

PELECEHAN SEKSUAL MENINGKAT
Dalam kesempatan yang sama, Nurjannah Nitura menyebutkan pengaruh teknologi informasi yang terlalu cepat ikut berpengaruh pada angka pelecehan seksual di Aceh. “Penggunaan android, kurang didukung oleh kuatnya karakter agamis. Sehingga menu seperti pornografi dan pornoaksi berbentuk kekerasan menjadi menu keseharian, hal inilah yang merusak otak pemuda. Pelaku itu masih sangat muda, 19 tahun, ini mengkhawatirkan, dorongan melakukan pelecehan dipicu pornografi sehingga membuatnya nekat,” jelas dia.

Secara psikologis, ia memperkirakan motif pelaku bisa saja hanya coba-coba. “Iseng atau ini sudah biasa dilakukan karena aman dan tidak ketahuan, sehingga dia nekat melanjutkan aksinya,” tambah Nurjannah.

Di wilayah Banda Aceh saja, trend kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak secara umum menempati angka yang cukup mengkhawatirkan. Hingga Oktober tahun ini, jumlah kasus kekerasan mencapai angka 105 kasus. Sebagian besar terjadi di ruang domestik, seperti rumah pribadi. Sisanya terjadi di ruang publik.

“Dari tahun 2014 sampai 2017, trend kasus anak memang ada penurunan. Puncaknya itu tahun 2016 sebanyak 81 kasus di Banda Aceh, sedangkan di tahun ini, sampai September itu ada 32 kasus,” kata Mutia, Staf di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Banda Aceh kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.

Untuk kasus kekerasan terhadap anak, kasus pelecehan seksual sempat menuai angka tertinggi pada tahun 2016, sebanyak 25 kasus. Meski demikian, angka kasus pelecehan seksual di ruang publik menempati kategori kekerasan anak yang cukup mengkhawatirkan selama empat tahun terakhir. Di samping itu, juga diimbangi angka kekerasan fisik seperti pemukulan, psikis seperti tindakan caci maki secara verbal, lalu ada traffiking, diskriminasi, pemelantaran ekonomi, hak asuh, hingga kasus perundungan atau lazim disebut bullying.

DIPROSES HUKUM
Selain bertemu dengan jajaran direksi rumah sakit, keluarga Mawar juga difasilitasi untuk menjumpai pihak perusahaan penyedia tenaga kebersihan. SR sebelumnya diketahui sebagai petugas kebersihan dari PT Bina Tarancang Utama, perusahaan pemenang tender penyediaan layanan cleaning service di RSUDZA.

“Pelaku ini karyawan dari perusahaan outsourcing. Maka kami juga tidak bisa sembarangan mengambil tindakan, PT Bina Tarancang adalah pemenang tender, jadi tak mungkin kami putuskan kerjasama dengan serta merta. Kami hanya bisa mengeluarkan pelaku dari rumah sakit,” kata Kasubag Informasi dan Komunikasi RSUDZA, Rachmady. Walau demikian, kabarnya PT Bina Tarancang juga telah memecat SR dari perusahaa itu.

Selain dipecat, kejadian ini ditindaklanjuti ke ranah hukum. Menurut Humas Polda Aceh Kombes Goenawan, pihaknya sudah menerima laporan pelecehan tersebut. “Berdasarkan laporan nomor LP/117/X/2017/SPKT yang diterima oleh Kepala SPKT Polda Aceh, keluarga telah memberi keterangan perihal kasus pelecehan seksual yang menimpa Mawar,” katanya.

Laporan itu ditangani langsung di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Aceh. Sejauh ini, pelaku terancam dijerat dengan pasal 281 KUHPidana tentang perbuatan asusila. “Penyidik masih di tahap mendalami keterangan pelapor dan saksi-saksi,” kata Goenawan. Hingga tanggal 16 Oktober lalu, Direskrimum Polda Aceh melalui Subdit 1 menyatakan kasus ini akan terus diselidiki.

EVALUASI RSUDZA
Dalam upaya klarifikasinya, Rachmady tak memungkiri ada kelalaian pihak rumah sakit. Karena itu, pihaknya akan melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait manajemen dan perlindungan pasien. Ia berharap, kejadian demikian tak terulang lagi.

“Ini berdampak pada nama baik rumah sakit. Ya mungkin sebatas kemampuan kita, kita bakal mengantisipasi penempatan tenaga terutama petugas outsourcing. Ini benar-benar pembelajaran bagi kami,” kata Rachmady.

Pemulihan psikologi korban juga ia prioritaskan. “Tanggung jawab kami sebagai RS untuk psikolog ke korban. Yang pertama, dari awal kita sangat supportif untuk menangani psikologinya. Sejak awal kita sudah tawarkan konsultasi ke psikolog. Karena hal–hal seperti itu kan penanganannya lebih ke psikologi. Ada satu atau dua kali saya kira psikolog kami ditemui korban,” ungkapnya.

Di sisi lain, ia meminta kepada semua pihak untuk tidak menggeneralisir persoalan ini. Salah seorang petugas kebersihan yang tak ingin disebutkan namanya, kepada Pikiran Merdeka mengeluh bahwa pandangan sejumlah pasien terhadap mereka sudah agak berbeda sejak kejadian itu. “Iya, imej petugas kebersihan di sini beberapa ada yang dipandang miring. Jujur, saya sudah tak nyaman, tindakan asusila yang dilakukan seorang oknum ya jangan ditimpakan kesalahannya ke yang lain,” kata petugas laki-laki ini. Ia menyesalkan tindakan pelaku pelecehan, SR, yang telah mencoreng citra rumah sakit.

Mengenai pelayanan, psikolog Nurjannah Nitura menekankan, rumah sakit perlu menerapkan pelayanan prima. Menurutnya, ada empat unsur yang mesti diterapkan, yakni kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan.

“Ditambah 1 unsur yaitu keamanan. Implementasi 5 hal ini hendaknya senantiasa berprinsip pada kaidah PDCA, Plan, Do, Check, dan Action. Sehingga ada monitoring dan evaluasi secara kontinyu untuk mewujudkan pelayanan prima secara konsisten,” kata Nurjannah.

RSUDZA juga wajib menugaskan karyawan yang memantau penanganan pasien pasca operasi. “Pasien jangan ditinggal sendiri. Lalu evaluasi juga petugas outsourcing seperti bagian cleaning service ini, dalam klausul kontrak harus disebut tentang reward dan punishment,” imbuhnya.

Ketua Komisi VI DPRA, Rudi Fatahul Hadi ikut menyoroti kasus pelecehan seksual di rumah sakit terbesar di Aceh ini. Sebagai komisi parlemen yang bermitra dengan RSUZA, dirinya meminta rumah sakit segera melakukan evaluasi yang menyeluruh.

“Di saat rumah sakit ingin meningkatkan kualitas, harus terbentur dengan kasus memalukan semacam ini. Saya lihat, ini merupakan kelalaian dari pihak RS sendiri. Mereka kan memiliki standar prosedur layanan kesehatan, setiap pasien yang selesai operasi harus ada pendampingan. Maka terjadi pelecehan karena tak ada pendampingan. Jadi, ini adalah kelalaian. Tidak adanya pengawasan. Kita sudah mengingatkan beberapa kali. Bahwa proses pengawasan terhadap standar prosedur layanan kesehatan ini harus benar-benar optimal,” pinta Rudi.

Ke depan, ia berjanji untuk terus melakukan pengawasan kepada RSUDZA. “Ini rumah sakit plat merah, cerminan bagi layanan rumah sakit lainnya di Aceh, jangan sepelekan kasus ini, dampaknya besar,” katanya mewanti-wanti.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait