Begitu banyak cerita mengagumkan selama 50 tahun Sultan Bolkiah memimpin Brunei.
Jalanan ibukota Bandar Seri Begawan nampak ramai. Orang-orang berdiri di sepanjang jalan untuk menyaksikan perayaan setengah abad (Golden Jubilee) kekuasaan Sultan Bolkiah di Kesultanan Brunei, Kamis (5/10/2017) lalu.
Mengenakan jubah keemasan, Sultan Bolkiah bersama rombongan keluarga menaiki kereta dengan warna serupa. Diiringi drum band militer sepanjang lima kilometer, Sultan Bolkiah tak henti-hentinya menyapa sekitar 80 ribu orang yang hadir.
Pawai tersebut hanya satu dari sekian banyak acara yang dihelat untuk memperingati Golden Jubilee. Seperti yang diwartakan BBC, perayaan 50 tahun kepemimpinan Sultan Bolkiah akan dilaksanakan selama satu bulan penuh.
Rencananya, pihak kesultanan juga akan membuka jembatan gantung yang pertama di Brunei selain meresmikan taman-taman baru. Tak ketinggalan pula, jamuan makan malam di Istana Nurul Iman yang terkenal akan kubah emasnya turut digelar dengan mengundang para pemimpin kawasan maupun keluarga kerajaan dari Inggris dan Timur Tengah.
Melissa Ibrahim, pegawai penerbangan yang hadir dalam pawai tersebut menyatakan apresiasinya terhadap Sultan Bolkiah. “Yang Mulia begitu peduli dengan rakyat, kesejahteraan, dan pendidikan maupun kesehatan. Kami sangat berterima kasih atas hal itu,” ujarnya seperti dilansir AFP.
Sultan Bolkiah lahir pada 15 Juli 1946 di Bandar Seri Begawan. Saat usianya menginjak 15, Sultan Bolkiah ditunjuk sebagai Putra Mahkota. Enam tahun kemudian, Sultan Bolkiah secara resmi naik tahta menggantikan ayahnya, Omar Ali Saifuddin III.
Membicarakan Sultan Bolkiah tak lengkap tanpa menyinggung usahanya dalam memerdekakan Brunei dari Inggris. Pada 1978, Sultan Bolkiah memimpin sebuah misi ke London yang bertujuan untuk mengubah status Brunei menjadi negara berdaulat. Usaha Sultan Bolkiah pun berhasil: pada 1984 Brunei memperoleh kemerdekaan dari Inggris dan jabatan Perdana Menteri jatuh padanya.
Selain menjadi raja dan perdana menteri, Sultan Bolkiah juga merangkap jabatan menteri pertahanan, menteri keuangan, perdagangan, luar negeri, sampai panglima tinggi Angkatan Bersenjata Brunei.
Pencapaian Sultan Bolkiah selama memimpin ialah mengubah Brunei menjadi salah satu negara kaya di Asia Tenggara. Faktor penyebabnya: persediaan gas dan minyak yang melimpah. Walhasil, masyarakat Brunei mampu menikmati akses pendidikan dan kesehatan secara bebas tanpa perlu bayar pajak.
Ahmad Anwar Rosly, manajer pemasaran di sebuah pusat perbelanjaan menyebutkan Sultan Bolkiah telah membangun banyak hal di Brunei Darussalam. “Almarhum ayahnya dikenal sebagai arsitek pembaruan Brunei. Tentunya, Yang Mulia (Sultan Bolkiah) pasti meneruskan warisan mendiang ayahnya.”
KRISIS MINYAK DAN PENERAPAN SYARIAH
Meski pencapaian ekonomi Brunei telah membuat masyarakatnya hidup dalam standar berkecukupan, masalah tetap timbul. Berdasarkan laporan bertajuk Daya Saing Global 2013-2014 yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia, Brunei—untuk kali pertama—mengalami ganjalan serius mengenai akses pembiayaan.
The Brunei Times menyatakan, ekspor minyak Brunei telah turun hingga 34 persen dalam satu tahun (2013-2014) akibat harga minyak global yang jatuh. Turunnya ekspor tersebut berpengaruh pada total ekspor keseluruhan sebesar 11,8 persen. Ekspor barang buatan dan bahan kimia juga turun 53,8 dan 98,3 persen.
Kondisi tersebut berimbas pada nilai perdagangan Brunei yang turun 8,4 persen dari 2013 sampai 2014. Dengan situasi demikian, ekonomi Brunei mengalami kontraksi. Pada 2015 anggaran pemerintah defisit sampai 16 persen dari PDB. Brunei merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang mengalami resesi selama tiga tahun berturut-turut.
Walaupun pemerintah menegaskan krisis hanya berlangsung sementara, kenyataan berkata sebaliknya. Program-program sosial dari subsidi perumahan hingga kesehatan terancam keberlanjutannya. Anggaran belanja publik dipangkas dan banyak program pemerintahan dibatalkan. Pengangguran kelompok usia muda juga meningkat.
Ketergantungan Brunei terhadap minyak memang tinggi. Menurut catatan British Petroleum cadangan minyak Brunei hanya akan bertahan selama 24 tahun. Marie-Sybille de Vienne, akademisi Inalco Perancis menyatakan sudah saatnya Brunei melakukan diversifikasi ekonomi melalui peningkatan sektor lain di luar minyak, seperti investasi swasta dan wisata.
Selain soal minyak, masalah lain yang muncul yaitu penerapan hukum Syariah. Pada 2014, Brunei resmi memberlakukan hukum ini secara nasional termasuk untuk non-Muslim.
Hukum Syariah di Brunei berjalan dalam tiga tahap. Tidak puasa dan lalai melaksanakan ibadah Jum’at dihukum denda atau kurungan. Untuk mereka yang mabuk, hukuman cambuk sudah menanti. Terakhir, penistaan agama, perzinahan, dan sodomi diganjar hukuman rajam sampai mati. Amnesty International menyebutkan Brunei kembali ke “zaman gelap.”
VICE mengajukan pendapat populis mengenai ‘kesan tak peduli’ masyarakat Brunei terhadap hukum Syariah. Ada tiga alasan yang menyebabkan hal tersebut: negaranya kaya, pemerintahannya murah hati, serta populasinya sedikit.
“Anda tetap mau mengeluh jika Anda bebas pajak, punya pekerjaan mapan dengan gaji tinggi, dua mobil, akses gratis pendidikan maupun kesehatan, serta sebuah rumah?”
Joshua Roose dari Australian Sociological Association berpendapat bahwa masyarakat Brunei tak pernah menyampaikan keluhan atas diberlakukannya hukum Syariah. “Dengan kekayaannya, Brunei telah menciptakan kediktatoran dan membendung potensi kerusuhan sosial.”
Masalahnya, sampai kapan kondisi seperti ini bisa dipertahankan?[]tirto.id
Belum ada komentar