Judicial Review UU Pemilu; Cuci Tangan DPRA?

Judicial Review UU Pemilu; Cuci Tangan DPRA?
Judicial Review UU Pemilu; Cuci Tangan DPRA?

DPRA ditengarai ikut terlibat meloloskan UU Pemilu yang melucuti dua pasal UUPA. Bila benar Pemerintah Pusat dan DPR RI pernah berkonsultasi dengan DPRA, gugatan mereka ke MK hanya upaya cuci tangan.

Rancangan undang-undang itu disetujui Rapat Paripurna DPR RI pada 21 Juli 2017 dinihari. Selanjutnya disahkan Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017 menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Sejak saat itu, pro-kontra terjadi di Aceh.

Sebagian elemen di Aceh menentangnya karena meganggap aturan terbaru itu memangkas kekhususan Aceh. Ada pula sebagian kecil yang menerimanya karena menganggap lebih menguntungkan Aceh. Namun, akhirnya, suara penolakanlah yang paling kuat. Berbagai elemen di Aceh menyuarakan ketidakpuasannya terhadap UU ini. Pasalnya, dalam proses pembahasan RUU ini hingga disahkan, Pemerintah Pusat ditengarai tidak berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

Setelah dua anggota DPRA, Kautsar dan Samsul Bahri alias Tiyong mengambil inisiatif mengugat UU tersebut, DPR Aceh secara kelembagaan juga mengikutinya. Belakangan, sejumlah komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) provinsi maupun kabupaten/kota di Aceh juga ikut mendaftarkan gugatan.

Dalam perjalanan sidang gugatan Kautsar dan Tiyong, muncul beberapa fakta baru di persidangan. Pada awal pekan lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo yang bersaksi di Sidang MK menyatakan sudah ada konsultasi dengan DPRA terkait pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) melalui Pasal 557 dan Pasal 571 UU Pemilu. Ia bahkan mengklaim ada risalah rapat konsultasi tersebut sebagi bukti pertemuan tersebut pernah dilakukan.

Tentu saja pernyataan Mendagri tak bisa diterima oleh publik. Begitu pula oleh DPR Aceh sebagai pihak yang berkepentingan. Melalui Iskandar Usman, anggota Komisi I DPR Aceh, menyatakan tak pernah ada konsultasi sebagaimana diakui Mendagri. Bahkan ia menantang akan mempidanakan Mendagri terkait kesaksian di persidangan tersebut.

Namun, belakangan diketahui pertemuan yang dimaksud Mendagri pernah dilakukan pada 12 April 2017 di Gedung Nusantara, Komplek DPR RI antara Komisi I DPR Aceh dengan Panja RUU Pemilu. Bahkan, ada notulensi hasil rapat tersebut.

Akhirnya Iskandar sendiri mengakui pertemuan itu dan dia juga menagatakan ada pertemuan selanjutnya antara tim Panja RUU Pemilu dengan pihak Pemerintahan Aceh di Aula Sebaguna Kantor Gubernur Aceh. Namun, ia menilai pertemuan itu bukanlah konsultasi sebagaimana dimaksud dalam UUPA.

Meski diketahui pertemuan DPRA dan Panja RUU Pemilu itu bersifat resmi, namun pertemuan tersebut harus dilihat apakah dilakukan melalui prosedural administratif atau tidak? Hal ini untuk menghindari polemik dan saling tuding antara Pemerintah RI dan DPRA untuk saling cuci tangan.

Untuk menghindari polemik di tengah masyarakat, DPR Aceh nantinya di dalam gugatan harus menyampaikan sangaghan tersebut di MK. Jika benar konsultasi itu sudah pernah dilakukan, maka pupuslah harapan rakyat Aceh akan sejumlah  gugatan yang sudah didaftakan. Karena, persoalan ada atau tidaknya konsultasi adalah satu-satunya peluang memenangan gugatan uji materil UU Pemilu.

Jika terbukti kosultasi tidak dilakukan sebagaimana yang disyaratkan dalam UUPA, maka peluang itu masih ada. Sebaliknya, jika tidak ada konsultasi maka kandaslah upaya judicial review UU Pemilu yang mengebiri UUPA.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait