Ketika Kampus Tak Menggubris Disabilitas

Ketika Kampus Tak Menggubris Disabilitas
Ketika Kampus Tak Menggubris Disabilitas

Fasilitas dua kampus besar di Aceh: UIN Ar Raniry dan Unsyiah, tak ramah terhadap penyandang disabilitas. Mahasiswa penyandang cacat juga tidak terdata jumlahnya.

Sepintas, penampilan pemuda berusia 19 tahun ini sama dengan sebayanya. Wajahnya terlihat tak kurang satu apapun. Perbedaan baru terlihat ketika ia mulai melangkahkan kakinya menuju ke ruang kuliah. Bayu Satria, pemuda tersebut, memiliki kelainan pada kaki sehingga membuat dia sulit untuk berjalan tegak layaknya manusia normal. Namun, hambatan itu tak membuatnya surut menimba ilmu di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Di kampus yang terletak di kawasan Darussalam itu, mahasiswa asal Kabupaten Simeulue ini tergolong mahasiswa cakap. Indeks Prestasi Kumulatifnya melampaui angka tiga koma.

Bayu bukannya berdiam diri. Setelah beberapa bulan mengikuti kuliah, ia sempat melontarkan hambatan-hambatan yang dirasakannya sebagai tunadaksa kepada pihak kampus. Misalnya, jarak tangga yang lumayan tinggi dan kelas yang berada di lantai atas. “Saya sudah lapor ke prodi (program studi) untuk memberikan ruang kelas di lantai bawah saja, tapi sepertinya prodi tidak menanggapi hal tersebut,” ujarnya saat dihubungi Rabu malam pekan lalu.

Bayu jelas kecewa. Ia berharap jika pun kampus belum mampu menyediakan fasilitas pendukung untuk orang berkebutuhan khusus, setidaknya hal-hal kecil seperti permintaannya itu diperhatikan. “Pihak kampus harus segera memperhatikan mahasiswa seperti saya untuk menempatkan mereka di tempat yang mudah dijangkau.”

Tidak adanya tangga atau jalur khusus untuk penyandang cacat juga dibenarkan sejumlah mahasiswa UIN. Salah satunya, Fikri, 19 tahun. “Terkadang saya harus membantu teman yang jalannya pakai tongkat untuk naik ke ruang kelas di lantai dua,” ujar Fikri saat ditemui Pikiran Merdeka di Fakultas Dakwah dan Komunikasi kampus tersebut.

Jika di UIN ada Bayu, di Unsyiah ada Syifa yang merasakan hal serupa. Kedua kampus ini letaknya berdekatan di kawasan yang disebut Kota Pelajar Mahasiswa tersebut. Kepada Pikiran Merdeka, Syifa yang merupakan mahasiswa FKIP, membagikan pengalamannya sejak seleksi masuk hingga kegiatan perkuliahan di Unsyiah.

Pada tahap awal seleksi, mahasiswi jurusan Bimbingan Konseling ini mengikuti serangkaian kegiatan tes seperti calon mahasiwa nondisabilitas lainnya. Syifa tunanetra. “Saat tes SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) saya membawa pendamping dari Rumah Inklusi Madani,” ujarnya.

Rumah Inklusi Madani merupakan lembaga yang bergiat dalam pendidikan inklusi di Indonesia. Salah satu programnya, mendampingi anak berkebutuhan khusus saat mengikuti ujian. Pendidikan inklusi sendiri memberikan kesempatan belajar kepada anak-anak berkebutuhan khusus bersama anak-anak pada umumnya. Sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan nyata sehari-hari.

Saat tes, Syifa tak kesulitan. Buktinya, ia kini diterima sebagai mahasiswa di Unsyiah. Namun, kesukaran mulai terasa saat proses pembelajaran. Syifa kesulitan dengan materi pembelajaran visual seperti menggambar tabel dan diagram. “Kalau untuk dosennya sih sudah paham dengan kondisi saya. Jadi untuk final ataupun ujian lainnya biasanya saya lisan atau sesekali saya harus membawa pendamping,” ujarnya.

Teman-temannya yang juga menyandang disabilitas, kata Syifa, rata-rata enggan masuk ke perguruan tinggi Aceh. Mereka merasa terdiskriminasi terhadap kondisi keadaan kampus yang tak ramah disabilitas. “Kebanyakan teman-teman saya masuk ke perguruan tinggi di Jawa karena mereka kesulitan saat tes. Jadi mereka lebih memilih kuliah di universitas inklusif di luar Aceh,” ujar Syifa.

Konsep Kampus Inklusif
Salah satu kampus inklusif di Luar Aceh seperti dimaksudkan Syifa adalah Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Di kampus ini, mahasiswa disabilitas diberi perhatian khusus sejak seleksi penerimaan. Dosen juga diberikan pelatihan terkait penyampaian materi kuliah bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Tujuannya, supaya para para difabel juga bisa mengikuti perkuliahan yang sama.

Sejumlah gedung yang dibangun di Brawijaya juga telah dilengkapi fasilitas pendukung yang ramah bagi disabilitas. Tak hanya itu, universitas juga memberikan beasiswa bagi mahasiswa difabel yang berprestasi. Kampus juga memberikan pendamping untuk setiap mahasiswa berkebutuhan khusus.

Saban tahun, kampus ini menetapkan kuota penerimaan mahasiswa disabilitas 20 hingga 25 orang. Selanjutnya mereka akan mendapatkan beasiswa dan beberapa fasilitas dari kampus.

Kegetolan Brawijaya menghargai penyandang cacat tak terlepas dari kehadiran Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD). Seperti dikutip dari situs resmi universitas, PSLD didirikan pada 2012. Tujuannya, memberikan pelayanan bagi penyandang disabilitas dan mewujudkan Brawijaya sebagai kampus inklusif. Tak hanya itu, PSLD juga bertujuan mengembangkan isu-isu penyandang disabilitas secara akademik.

PSLD juga telah membidani lahirnya Sistem Penerimaan Khusus Penyandang Disabilitas. Kebijakan affirmatif action ini ditempuh sebagai bentuk kesungguhan menjadikan Universitas Bawijaya sebagai pelopor dan model kampus inklusif bagi penyandang disabilitas di Indonesia.

Pada November 2012, PSLD juga menjadi tuan rumah pertemuan kampus Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia yang menghasilkan Deklarasi Malang. Setahun kemudian, PSLD melakukan beberapa penelitian. Salah satunya, soal keuangan inklusif bagi penyandang disabilitas.

Di luar kampus, lembaga ini terlibat dalam workshop pelatihan kebijakan publik dan advokasi bagi penyandang disabilitas di Jawa Timur. Selain itu, ikut merancang peraturan daerah soal perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas.

Setali Tiga Uang
Membandingkan Brawijaya dengan UIN dan Unsyiah soal cara pandang terhadap penyandang disabilitas bak bumi dengan langit. Di kedua kampus yang dulunya kerap disebut “Jantong Hate Rakyat Aceh” itu fasilitas khusus untuk penyandang disabilitas memang tak ada sama sekali. Padahal, selain tangga khusus, mahasiswa penyandang tunanetra misalnya, membutuhkan fasilitas seperti reglet, papan bacaan, talking book, tape recorder, bahan cetak dengan tulisan berukuran besar dan alat bantu lainnya.

Parahnya lagi, di UIN Ar-Raniry, sang rektor Profesor Farid Wajdi mengaku belum mengetahui ada mahasiswa disabilitas di kampusnya. “Kalau memang ada orangnya, maka kami siap membangun fasilitas untuk mereka,” ujar Farid saat ditemui usai memberi mata kuliah umum di auditorium kampus, Rabu pekan lalu.

Ucapan Farid ini juga dibenarkan seorang staf akademik di gedung ICT UIN. “Kalau data jumlah keseluruhan mahasiswa kami ada, tapi data khusus penyandang cacat kami belum punya,” ujar staf tersebut.

Farid juga mengatakan pembangunan fasilitas bagi penyandang cacat sejauh ini belum dilakukan karena tidak adanya aduan terhadap permasalahan itu. “Karena belum banyak tuntutan, belum banyak yang cedera. Maka dari itu belum kita siapkan. Tetapi kalau ada tuntutan, ada orang yang terlibat seperti itu kita tetap memberi perhatian, karena itu ada undang-undangnya,” ujar Farid.

Regulasi yang dimaksud Farid adalah Undang Undang Nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. UU disepakati Maret tahun lalu dalam paripurna di DPR RI. UU mulai berlaku sejak April 2016. Salah satu poin penting dalam regulasi ini penyandang disabilitasi memiliki hak terbebas dari diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.

Sementara, soal penempatan ruang kelas yang sulit untuk dijangkau oleh para disabilitas, Farid juga mengaku akan menangani hal tersebut jika ada mahasiswa disabilitas yang melapor. “Jika ada mahasiswa yang sakit misalnya nggak bisa jalan itu kita kasih dia berkuliah di lantai satu. Satu orang aja yang melapor itu akan kita tempatkan dia di ruang kelas di lantai satu.”

Jawaban Farid tentu saja berbanding terbalik dengan apa yang diungkapkan Bayu tadi. Bayu telah mencoba melapor ke jurusan tapi belum ditanggapi. Kemungkinan, informasi itu belum hinggap ke telinga Farid.

Sementara di kampus tetangga, Unsyiah, kondisinya setali tiga uang. Kampus tak memilik data jumlah mahasiswa disabilitas. Padahal, seperti diakui Kepala Humas Unsyiah Husni Fuady, saat pendaftaran, calon mahasiswa diminta mengisi biodata terkait hal itu.

Alasan ini kemudian menjadi pembenaran ketika Husni mengatakan Unsyiah belum bisa menyediakan fasilitas penunjang disabilitas. “Karena memang kami tidak mempunyai program khusus penyandang disabilitas,” tutur Husni saat ditemui di kantornya, Rabu pekan lalu.

Saat SBMPTN, kata Husni, kampus sudah menanyakan fasilitas tambahan yang diperlukan peserta disabilitas. “Meski sudah ditanyakan fasilitas yang mereka butuhkan, bukan berarti akan kami sediakan. Karena masing-masing dari mereka berbeda kebutuhan dan kami belum tentu bisa memenuhinya semua,” ujarnya.

Unsyiah, tambah Husni, juga tidak bisa menolak mahasiswa penyandang disabilitas selama mereka bisa mengikuti perkuliahan dengan baik. “Kami tidak bisa menolak keinginan mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.” Artinya, mahasiswa disabilitas seperti Syifa memang dibolehkan kuliah di Unsyiah tapi tanpa dibekali fasilitas khusus.

Ketua Ombudsman Aceh Taqwaddin mengatakan jumlah mahasiswa disabilitasi di Aceh minim. “Adalah fakta bahwa kaum disabilitas hampir tidak ada yang berkuliah di kampus Aceh, jika pun ada minim sekali,” sahut Taqwadin saat dihubungi Pikiran Merdeka via telepon pada Jumat malam pekan lalu.

Ombudsman yang berfungsi mengawasi pelayanan publik, kata Taqwaddin, selalu mendorong agar perguruan tinggi membuka akses yang mudah bagi kaum disabilitas supaya terciptanya kesamarataan pendidikan di Aceh. “Jika ada mahasiswa disabilitas maka perguruan tinggi sepatutnya menyediakan fasilitas pendukung yang memudahkan mereka belajar,” ujarnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait