Sidang JR UU Pemilu di MK, Bisa Disaksikan Langsung di Unsyiah dan Unimal

Sidang JR UU Pemilu di MK, Bisa Disaksikan Langsung di Unsyiah dan Unimal
Sidang JR UU Pemilu di MK, Bisa Disaksikan Langsung di Unsyiah dan Unimal

PM, BANDA ACEH – Masyarakat Aceh diserukan untuk ikut menyaksikan langsung sidang kedua gugatan UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), dengan memanfaatkan ruang Teleconference MK di Kampus Unsyiah dan Unimal Lhokseumawe.

Kamaruddin, S.H, Kuasa Hukum Kautsar dan Tiyong selaku pemohon, Minggu (17/9) menyebutkan, sidang permohonan gugatan UU Pemilu yang telah mencabut 2 Pasal UUPA itu akan digelar besok, Senin 18 September 2017, dengan agenda pembacaan perbaikan permohonan.

“Kami berharap seluruh rakyat Aceh bisa langsung menyaksikan persidangan tersebut di dua titik, masing-masing ruang Teleconference MK di Fakultas Hukum Unversitas Malikulsaleh, Lhokseumawe, dan ruang telekonferensi MK di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, BandaAceh,” sebut Kamaruddin, Minggu (17/9) kepada pikiranmerdeka.co.

Baca : Menerka Peluang Memenangkan Gugatan

Dalam sidang besok, sambung dia, pihaknya berharap Majelis Hakim Konstitusi dapat mengabulkan permohonan ini demi keadilan untuk rakyat Aceh dan demi kehormatan Aceh di Jakarta.

“Kami mohon doa dan dukungan dari seluruh rakyat Aceh terkait permohonan Uji Materi UU Pemilu terhadap UUD 1945. Dua pasal, yaitu pasal 557 dan 571 dalam UU Pemilu yang telah disahkan DPR RI tersebut telah mencabut 2 Pasal di dalam UUPA, yaitu pasal 57 tentang KIP dan pasal 60 tentang Panitia Pengawas Pemilihan di UUPA,” ungkapnya.

Kedua pasal ini, kata Kamaruddin, tercabut akibat UU Pemilu. Namun, gugatan ini bukan hanya karena masalah KIP atau mengenai penyelenggaran pemilu tersebut, tetapi karena UUPA sudah dipreteli satu per satu, dan ini bertentangan dengan perdamaian Aceh.

Perdamaian Aceh, katanya lagi, adalah kehormatan bagi Aceh, inilah yang menjadi masalahnya. Dalam gugatan ini, pihaknya meminta MK membatalkan UU Pemilu karena menghapus hak kekhususan Aceh.

Dijelaskan, Pasal 571 UU Pemilu menyatakan bahwa Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) dalam UUPA dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 57 dan pasal 60 UUPA ini adalah tentang keanggotaan KIP dan Panwaslih, hal ini berarti jumlah anggota KIP dan Panwaslu mengikuti pengaturan UU Pemilu.
Maka, tambah Kamaruddinlagi, hitungan jumlah anggota KIP Aceh ke depan menjadi 5 orang, berbeda dengan sekarang sebanyak 7 orang. Kemudian Pasal 557 ayat (2) UU Pemilu menyatakan; Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan Undang-Undang ini. “Ini jelas-jelas telah mengabaikan dengan sengaja kekhususan Aceh.”

Kemudian, Pasal 571 huruf d UU Pemilu yang menyatakan pasal 57 dan pasal 60 UUPA dicabut serta tidak berlaku lagi, juga bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 557 dan 571 UU Pemilu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap kekhususan Aceh.

Selain itu, sesuai bunyi pasal 263 ayat 3 UUPA yang menyebutkan, dalam hal adanya rencana perubahan undang-undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA. Pencabutan terhadap dua pasal UUPA tanpa lebih dulu dikonsultasikan dan mendapat pertimbangan DPRA, merupakan tindakan kesewenang-wenangan.

Akibat buruk dari pencabutan dua pasal ini, sambung Kamaruddin, adalah bisa menciptakan instabilitas politik dan sosial di Aceh yang bermuara pada ketidakpastian hukum penyelenggaran pemilu 2019 nanti. Hal ini pernah terjadi pada tahun 2011, ketika pasal 256 UUPA dicabut.

“Tentu kita bisa belajar dari kasus tersebut. UU pemilu ini penting digugat karena dengan pencabutan dua pasal UUPA tersebut, maka UUPA telah dipreteli satu persatu dan tindakan ini sama dengan telah mengusik perdamaian dan kedamaian di Aceh dan bisa menciptakan instabilitas poliitk dan sosial di Aceh,” bebernya.

Dikatakan, semua gugatan ini adalah demi kedamaian di Aceh, terutama terkait pemilu 2019 yang sudah di depan mata. Kelembagaan Pemilu Aceh secara khusus sudah diatur di dalam UUPA. Adanya penyesuaian dan pencabutan UUPA oleh UU Pemilu lewat pasal 557 juga bertentangan dengan pasal 18A ayat 1 dan pasal 18B ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 18A ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

Kekhususan Aceh dalam penyelenggaraan pemilu legislatif dan pilkada sebagaimana yang terdapat dalam UUPA adalah sebuah konsensus legal, formal dan juga konsekuensi dari perjanjian perdamaian Aceh. Namun yang terpenting dari itu semua, kekhususan ini merupakan buah dari pengorbanan seluruh rakyat Aceh dalam memperjuangkan UUPA.

Bersatunya rakyat Aceh ketika memperjuangkan UUPA dulu bukanlah hal yang mudah, pengorbanan ini patut dihargai dan dipertahankan. “Karena itu, kami juga meminta seluruh rakyat Aceh bersatu kembali untuk sama-sama mendukung agar pasal yang dicabut tersebut dapat dikembalikan seperti sedia kala,” ajaknya.

Kekhususan Aceh dalam UUPA adalah kehormatan bagi Aceh, karena seluruh klausul dalam UUPA adalah penerjemahan dari kehendak politik rakyat yang berbasis pada perdamaian Aceh.

“Menjaga UUPA adalah juga menjaga perdamaian Aceh, UUPA terusik, maka sama dengan terusiknya perdamaian Aceh. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Memisahkannya, maka sama dengan memisahkan sejarah pengorbanan rakyat Aceh, ini adalah kekuatan cita-cita dan imajinasi politik Aceh. Semoga kita mendapatkan hasil terbaik bagi kehormatan Aceh,” pungkas Kamauruddin.()

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait