Aceh Menggugat

Aceh Menggugat
Aceh Menggugat

Kautsar dan Tiong jadi lokomotif gugatan uji materi UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. DPRA secara institusi akhirnya mengikuti jejak dua anggotanya untuk ikut menggugat kekhususan Aceh yang terus dipreteli Jakarta.

“Apa tadi namanya?”

“Samsul Bahri alias Tiong, Yang Mulia,” jawab Kamaruddin.

“Tiong? Apa Itu, nama panggilannya?” tanya hakim lagi.

“Itu nama sandi beliau saat masih aktif di Gerakan Aceh Merdeka. Tiong, artinya burung, Yang Mulia.”

Begitulah penggalan percakapan di persidangan di Mahkamah Konstitusi, Selasa siang, 5 September 2017. Sidang perdana gugatan uji materi Undang-undang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi itu dipimpin I Dewa Gede Palguna. Ia didampingi dua hakim anggota, Aswanto dan Wahduddin Adams.

Sidang yang dimulai pukul tiga petang ini mendengarkan pemaparan para penggugat. Dua penggugat UU Pemilu ini adalah Kautsar dan Samsul Bahri alias Tiong. Keduanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Tiga pekan lalu, keduanya menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Kautsar, mereka menggugat UU Pemilu ke MK karena Pemerintah Pusat dianggap tidak menghargai dan ingin menghapuskan kekhususan Aceh. Apalagi dalam merumuskan UU tersebut, Jakarta tidak pernah memintai pendapat dan pertimbangan Pemerintah Aceh dan DPRA.

Permohonan pengujian yang diajukan Kautsar dan Tiong diterima MK pada Selasa pukul 10.46 WIB dengan nomor tanda terima 1700/PAN.MK/VIII/2017. Di dalam berkas permohonan yang terlampir tertera gugatan diajukan oleh Tim Advokasi Gabungan Masyarakat Aceh Peduli UUPA yang beralamat di Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.

UU Pemilu ini sendiri baru beberapa hari lalu diteken Presiden Joko Widodo. Tepatnya pada 16 Agustus 2017. Undang-undang tersebut terdaftar di lembaga negara sebagai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Jika menilik isinya, ada beberapa efek yang ditimbulkan sejak berlakunya UU tersebut. Paling menyakitkan bagi Aceh, sebagaimana tertuang dalam pasal 531 UU Pemilu, membuat pasal 57 tentang Komisi Independen Pemilihan dan pasal 60 tentang Panitia Pengawas Pemilihan dalam UUPA tak berlaku lagi. Ayat pertama pasal ini menyebutkan, kelembagaan penyelenggara Pemilu di Aceh terdiri dari KPU dan Bawaslu provinsi maupun kabupaten/kota atau dengan sebutan lain merupakan satu kesatuan kelembagaan yang bersifat hierarki dengan KPU dan Bawaslu pusat.

Selanjutnya di pasal 2 disebutkan, kelembagaan penyelenggara Pemilu di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat pertama, pada saat undang-undang mulai berlaku wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada UU Pemilu tersebut.

“Pada UU Pemilu baru, ini menafikan kekhusan Aceh. Di mana pada UU Nomor 11 Tahun 2006 ditegaskan, Pemilu Aceh ditetapkan oleh KIP (Komisi Independen Pemilihan) Aceh. Dengan kerja sama antara Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat. Namun UU Pemilu baru menafikan itu, lembaga yang mengadakan menjadi KPU pusat,” ujar Kautsar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 22 Agustus lalu.

Menurut Kautsar, dalam setiap pembahasan UU baru yang ada kaitannya dengan Aceh, pemerintah pusat harus berkomunikasi dan berkonsultasi dengan Pemerintah Aceh. Namun, lanjut dia, saat pembahasan UU Pemilu kemarin tidak ada komunikasi sama sekali dari pemerintah pusat.

“Kami khawatir kalau ini dibiarkan, ke depan kekhususan Aceh akan teranulir satu persatu,” tuturnya.

Dia pun mempertanyakan mengapa pemerintah pusat tidak berkonsultasi dengan Pemerintah Aceh soal UU Pemilu. Menurutnya, bila hal itu dikonsultasikan bisa saja Pemerintah Aceh dan DPRA setuju dengan UU Pemilu yang ada sekarang.

Sementara Samsul Bahri yang akrab disapa Tiong mengatakan gugatan tersebut untuk mempertahankan kekhususan Aceh. Tiong khawatir, pencabutan pasal-pasal UUPA tanpa berkordinasi dengan Pemerintahan Aceh ini menjadi langkah awal Jakarta untuk mengebiri satu persatu kewenangan Aceh yang sudah tertuang dalam perjanjian damai di Helsinki.

“Dalam UUPA, komisioner KIP Aceh dan Panwaslu dipilih oleh DPRA. Pencabutan dua pasal ini sudah mengesampingkan undang-undang kekhususan Aceh yang merupakan turunan naskah MoU RI dengan GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005,” kata mantan kombatan GAM ini.

Dalam persidangan, majelis hakim pun menanyakan soal legal standing (kedudukan hukum) para penggugat. Dalam pandanganya, hakim menilai belum melihat kerugian Kautsar dan Tiong sebagai warga negara Indonesia apabila pasal yang dipersoalkan itu dicabut atau diubah.

“Ini agak unik. Pemohon, Pak Kautsar. Di permohonan disebutkan sebagai perseorangan warga negara Indonesia. Tetapi pasal yang dipersoalkan soal KPU atau KIP Aceh,” ujar Palguna.

Bahkan, hakim sempat menyarankan penggugat mengajak anggota KIP Aceh ikut menggugat. “Kalau ada anggota KIP, jelas dirugikan. Nah, sebagai individu dalam kedudukan sebagai warga negara Indonesia, apa yang merugikan saudara?” tanya Palguna. “Tak perlu dijawab, dicatat saja. Itu pun kalau mau diperbaiki, kami hanya menyarankan saja,” tambah Palguna.

Sementara itu, kuasa hukum penggugat, Kamaruddin sempat menjelaskan uraian tentang latar belakang sejarah lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Namun, hakim menilai argument tersebut hanya pelengkap. Menurut Palguna, dibutuhkan uraian lebih lengkap tentang bagaimana pertentangannya dengan UUD 1945.

“Terkait perjanjian damai kan itu latar belakang saja. Alhamdulillah masa-masa gelap itu telah lewat. Mengenai legal standing ya Pak Kautsar atau kuasanya, diperhatikan sungguh-sungguh tentang legal standing-nya. Harus tampak di mana kerugiannya. Itu yang mesti dijelaskan,” kata Palguna memberi masukan.

Hakim anggota Wahduddin Adams juga ikut memberi masukan. Wahduddin meminta penjelasan lengkap tentang adanya pasal di UUPA yang mensyaratkan tiap perubahan UUPA mesti dikonsultasikan dengan DPRA.

“Soal itu kok hanya disinggung selintas saja. Tapi sekali lagi harus diperkuat di legal standingnya dulu. Namun, materinya juga harus dipertajam. Apa makna saudara mengatakan itu bahwa harus dikonsultasikan ke DPR Aceh. Ini sudah menjadi undang-undang,” tambah Wahdudin.

Menjelang akhir sidang, majelis hakim memberi kesempatan pemohon menyampaikan sesuatu. Kautsar pun memanfaatkan kesempatan itu dengan menjelaskan dirinya dan Samsul Bahri alias Tiong adalah anggota DPR Aceh yang punya wewenang merekrut anggota KIP Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih). “Nah, kalau begitu kaitkan nanti dalam permohonannya,” kata hakim.

Majelis hakim lalu memberi kesempatan 14 hari kepada pemohon dan kuasa hukumnya untuk menyampaikan perbaikan permohonan uji materi paling lambat Senin, 18 September 2017, pukul 10.00 WIB.

Usai sidang, Kautsar menyampaikan akan memperbaiki gugatan sesuai masukan dari majelis hakim. “Kami juga akan menghimpun saksi-saksi ahli untuk gugatan ini. Kami tetap optimis gugatan ini Insyaallah akan kita menangkan,” kata Kautsar.

DPRA IKUT MENGGUGAT
Sehari seusai Kautsar dan Tiong melayangkan gugatan, terjadi kasak-kasuk di DPRA. Suara agar minta DPRA ikut menggugat juga disuarakan. Koalisi utama di DPR Aceh, yakni Koalisi Aceh Bermartabat (KAB) sepakat dengan langkah Kautsar dan Tiong.

“KAB mendorong DPRA untuk menggugat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu ke Mahkamah Konstitusi,” kata ketua KAB, Muazkir Manaf, 22 Agustus 2017.

KAB mendorong pembentukan Tim Khusus yang terdiri dari elemen politik, civil society dan akademisi yang bertugas menganalisa dan mengkaji kelebihan dan kekurangan UU Pemilu serta undang-undang sektoral lainnya yang mengkerdilkan UUPA dan mengusulkan tindakan lanjutan kepada DPRA.

Namun, jika dirunut lebih jauh ke belakang, DPRA sendiri dinilai telat bersikap. Bersadarkan pengakuan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo dalam sebuah percakapan di grup WhatsApp akademisi dan jurnalis di Aceh. Diakui mantan Plt Gubernur Aceh ini, pada saat UU tersebut belum diteken dan muncul gejolak dan penolakan di Aceh, ia sudah membicarakannya dengan Ketua Pansus, Lukman Edy.

Ia lalu menyarankan DPRA membangun komunikasi langsung dengan Pansus UU Pemilu. “Yang saya sarankan Tim Advokasi Pemerintah Aceh atau Banleg DPRA bisa langsung telepon ke Ketua Pansus Bapak Lukman Edy, atau kirim surat segera ke beliau karena posisi draf UU Pemilu tersebut masih di Sekretariat Pansus,” ujar Soedarmo, 25 Juli 2017.

“Saya sudah menginformasikan dalam masalah ini ke Sekretariat Pansus, prinsipnya akan dibahas ulang asal ada permintaan atau surat resmi nanti formnya akan disiapin oleh Set Pansus,” tulis Soedarmo lagi.

Salah seorang anggota DPRA, Azhari Cage sempat menyahuti penjelasan Soedarmo. Ia menyatakan DPRA akan segera menindaklanjuti informasi tersebut dengan mengeluarkan sikap resmi.

Namun, nyatanya tidak. DPRA diketahui tak jadi mengirimkan surat keberatan tersebut. Hal ini diketahui dari pengakuan Kautsar.

Kautsar mengakui ide menggugat UU Pemilu awalnya datang dari pertanyaan Tiong kepadanya saat ia mengkritik pimpinan DPRA karena terlambat mengirim surat ke pusat. “Tiong tanya saya, apa yang harus dilakukan DPRA? [Saya jawab] sudah terlambat. Peluang yang ada sekarang hanya segera lakukan JR (judicial review) setelah UU diteken presiden,” ujar Kautsar sebelum mendaftartkan gugatan.

DPRA sendiri baru benar-benar bersikap tiga hari berselang. Dalam paripurna khusus pada Jumat, 25 Agustus lalu, seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sepakat melayangkan gugatan Judicial Review UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

Sidang yang dimulai sekitar pukul 14.30 WIB dipimpin Ketua DPRA Muharuddin didampingi Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda dan dihadiri sejumlah anggota dewan. Rapat sore itu adalah lanjutan sidang sehari sebelumnya yang berisi tanggapan fraksi-fraksi mengenai dicabutnya dua pasal UUPA dengan lahirnya UU Pemilu baru. Secara umum seluruh fraksi menilai, UU Pemilu yang baru diteken Jokowi merupakan perbuatan melawan hukum.

Akhirnya, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh secara resmi mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi pada Senin, 28 Agustus 2017 sekira pukul 14.20 WIB.

Pendaftaran itu dilakukan oleh Ketua DPRA Teungku Muharuddin dan tim kuasa hukum yang terdiri dari Burhanuddin Jalil, Mukhlis Mukhtar, serta Zaini Djalil. Juga hadir Ketua F-PA Iskandar Usman dan anggota DPD RI Sudirman alias Haji Uma.

Selasa 29 Agustus 2017, DPRA kembali melengkapi alat bukti terkait gugatan uji materil UU Pilkada ke MK. Penyerahan alat bukti ke MK tersebut dilakukan Iskandar Usman Al-Farlaky, didampingi kuasa hukum DPRA Burhanuddin Jalil, Mukhlis Mukhtar, dan anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman.

Dokumen sebanyak tiga kardus dengan masing-masing 12 rangkap diserahkan untuk bukti tambahan. Dokumen tersebut juga dilengkapi surat pengantar yang diteken seluruh kuasa hukum DPRA.

Kamaruddin, kuasa hukum Kautsar dan Tiong yang lebih dulu mendaftarkan gugatan serupa, mengapresiasi langkah DPRA. “Gugatan DPRA memang sedikit terlambat, kalah cepat dengan gugatan warga negara. Tapi tidak masalah, yang penting kita sesama Aceh saling menguatkan. Aceh harus menang,” ujar Kamaruddin.

Menurut Kamaruddin, kekhususan Aceh harus dipertahankan. Apalagi, isi gugatan DPRA tidak jauh berbeda dengan gugatan iayang dilayangkan klaennya. “Kami nantinya akan menghadirkan mantan anggota Pansus DPR RI pada 2006 yang merumuskan UUPA sebagai ahli yang akan memberikan kesaksian di depan persidangan MK, di antaranya Ferry Mursyidan Baldan,” tandas Kamaruddin.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait