Di balik atraksi tarek pukat yang mengasyikkan sebagai tontonan, hidup getir dilakoni nelayan saban hari. Belum lagi jeratan narkoba yang merangsek masuk ke rumah mereka.
NYANYIAN ombak pagi itu mengiringi lincahnya tarikan pukat di tepi laut Gampong Jawa. Semilir angin berhembus ke dinding-dinding perahu di tepi pantai. Beriringan dengan irama alam, beberapa nelayan mulai melakukan aktivitasnya melaut. Mereka bergegas, tak mau dikalahkan oleh sang waktu.
Dikenal sebagai kampung nelayan, sekitar 40 persen warga Gampong Jawa berprofesi sebagai nelayan. Gampong Jawa terletak di Kecamatan Kutaraja. Dari pusat kota, butuh beberapa menit saja untuk berkendara ke sana. Pantai Gampong Jawa yang berada di bibir Samudera Hindia ini segaris dengan Pantai Ulee Lheue di barat Banda Aceh.
Atraksi yang tersohor di Pantai Gampong Jawa adalah tarek pukat. Kegiatan ini menjadi aktivitas rutin para nelayan. Tarek pukat merupakan cara menangkap ikan secara berkelompok dengan memakai jaring. Pada Pekan Nasional Kelompok Tani dan Nelayan Maret lalu, aktraksi tarek pukat para nelayan Gampong Jawa dipamerkan kepada para tamu perhelatan nasional tersebut. Pada hari-hari biasa, kegiatan ini juga menyedot perhatian warga dari luar kampung. Mereka berduyun-duyun datang ke pantai untuk melihat atraksi tersebut.
Walaupun tarek pukat menjadi bagian dari destinasi wisata Aceh, kehidupan para penarik pukatnya yakni nelayan kerap menyimpan kisah duka. Seperti yang dituturkan Abaisyah, salah seorang nelayan Gampong Jawa. Pria paruh baya ini telah mengabdikan sepertiga umurnya di laut. Sebagai nelayan, lelaki yang akrab disapa Ucok ini mengaku kehidupannya sangat bergantung pada keramahan laut. Persoalan cuaca buruk membuat Ucok dan keluarganya harus rela menahan perut kosong seharian. “Jika saya tidak melaut sehari saja, saya dan anak-anak saya tidak bisa makan,” ujar Ucok pada Kamis, 24 Agustus 2017.
Sejak kecil Ucok tertarik bekerja di laut. Ia merasa tak punya keahlian untuk bekerja selain di laut. Lagipula, ia tak berminat bekerja di darat. “Menjadi nelayan hanya perlu kecerdikan dan tenaga saja,” ujarnya sembari menambal pukat yang robek. Karena itu, bangku sekolah tak ada dalam kamus hidup Ucok. Sejak kecil, ia sudah diperkenalkan dengan penghasilan yang bisa diraup oleh seorang nelayan. “Kawan-kawan saya banyak yang mencoba bekerja sebagai tukang bengkel, namun mereka balik lagi ke sini karena memang lebih enak jadi nelayan,” ungkapnya.
Melaut adalah pekerjaan yang menyenangkan bagi Ucok. Jika kondisi alam sedang bersahabat, ia kadang enggan kembali ke darat. Namun, jika kondisi alam memburuk, Ucok sesekali menyesal memilih pekerjaan itu. “Kalau lagi angin kencang itu, saya ingin jadi pekerja bangunan saja.”
Tahun 80-an masa keemasan bagi Ucok. Menangkap ikan sangat mudah saat itu. Cukup melempar pukat di bibir pantai, ikan-ikan pun terjebak ke dalam pukat. “Dulu, di bibir pantai ini saja sangat banyak ikan. Tapi sekarang saya dan kawan-kawan harus berlayar sejauh lima ratus mill lebih baru ada ikannya.”
Parahnya sekarang, setelah jauh-jauh berlayar selama berhari-hari, hasil yang didapatkan tak sebanding dengan cucuran keringat. Salah satu contoh pahitnya ketika musim lalu, Ucok dan kawan-kawannya hanya mendapat omzet Rp2 juta. Namun, dari jumlah ini ada jatah pemilik modal senilai Rp700 ribu. Sisanya, setelah dibagi lagi dengan rekan-rekannya, Ucok kebagian Rp100 ribu saja.
Tak hanya itu, kekecewaan Ucok muncul ketika hasil tangkapan ikan kurang memuaskan. “Sebagian ikan berjenis tuna tak sesuai kilo, ikan-ikan itu seperti kena penyakit, mereka mengecil dari ukuran yang seharusnya. Hal itu yang membuat kami harus menjual murah ikan-ikan tangkapan kami,” ujarnya. Musabab penyakit ikan tersebut adalah limbah kapal-kapal besar yang bertengger di tengah laut. Ucok menyebutkan limbah tersebut dibuang dengan sengaja.
Ketika Ucok dan teman-temannya berjuang keras mencari nafkah di tengah laut, istri dan anak-anaknya dengan sabar menanti kepulangan sang ayah. Ucok memiliki enam anak; tiga perempuan dan tiga lelaki. Ketiga puteranya mengikuti jejak sang ayah. Sejak umur 14 tahun ketiganya telah dibekali jala untuk menjaring ikan.
Namun, kini Ucok gundah setelah salah seorang puteranya terjerat narkoba. Puteranya itu sekarang berada di salah satu pusat rehabilitasi di Banda Aceh dengan status pasien rawat jalan. “Sudah sering saya ingatkan anak-anak saya supaya jangan mudah terpedaya oleh hal-hal begituan. Tapi apa boleh buat, karena mereka sudah punya uang sendiri jadi mudah bagi mereka mendapatkan barang haram itu,” ujar Ucok.
Selain anaknya, banyak teman Ucok juga ikut terkontaminasi narkoba. Menurutnya, belenggu kemiskinan dan kebutaan informasi membuat mereka mudah terpengaruh. Selain itu, maraknya peredaran narkoba melalui jalur laut memberi imbas kepada para nelayan dan keluarga mereka. Ucok berharap pemerintah sesegera mungkin dapat mengatasi hal tersebut.
Belum ada komentar