Budaya Masuk Dinas Setelah Zuhur

Budaya Masuk Dinas Setelah Zuhur
Budaya Masuk Dinas Setelah Zuhur

Separuh hari, hampir semua poli di RSUZA kekosongan dokter spesialis. Pasien hanya dilayani asisten dokter dan perawat.

Ruang tunggu Poliklinik Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh padat oleh pasien yang menanti jadwal pemeriksaan. pada Selasa, awal Agustus lalu. Segala macam administrasi disiapkan sebelum mengambil nomor antrian pada 10 loket sesuai klasifikasi jenis pasien yang mendaftar. Pasien baru, pasien rawat jalan, atau lainnya.

Sebagian sudah mengantri sejak subuh, untuk mendapatkan nomor antrian di bawah angka 50. Sedangkan mereka yang datang pada pukul 08.00 WIB, bisa dipastikan akan mendapatkan nomor antrian tiga digit.

Memasuki awal Agustus, hujan sudah mengguyur Banda Aceh sejak dini hari hingga menjelang siang. Namun kondisi tersebut bukan halangan bagi para pasien dan keluarga pasien yang berjuang mendapatkan pengobatan di rumah sakit umum tipe A itu.

Kursi yang disediakan tak mampu menampung manusia yang berada di ruang utama Poliklinik RSZUA. Sebagian pasien yang duduk di kursi roda memilih menanti panggilan antrian di aula depan pintu Poliklinik yang memang bersebelahan dengan lobi RSUZA. Tak sedikit yang memilih duduk lesehan di samping pintu, karena sudah terlalu lama berdiri.

Hari itu, Selasa (01/8/2017), waktu sudah menunjukkan pukul 10.20 WIB. Pengunjung yang masuk ke Poliklinik semakin ramai. Pasien yang sudah mengantri sejak subuh tidak juga bergeser dari ruang itu. Asnah, perempuan paruh baya asal Desa Lubuk, Kecamatan Aceh Besar, sedang mengantri konsultasi untuk pengambilan obat suaminya yang sudah dioperasi sebulan lalu karena kecelakaan. Dia sudah menanti nama suaminya di panggil oleh petugas di salah satu konter poliklinik.

“Kalau dapat nomor antrian 500, setelah diambil pulang saja lagi. Sekitar pukul lima sore, baru kembali. Saya sudah pengalaman. Jadi, banyak yang bisa kita kerjakan di rumah,” keluh perempuan itu yang sudah akrab dengan situasi di Poliklinik itu.

Konter Poliklinik paling padat hari itu adalah poli bedah umum dan operasi plastik. Ruangan yang memiliki beberapa kamar pemeriksaan itu sudah dipadati pasien dan pendampingnya sejak pagi. Usai menjalani pemeriksaan, beberapa pasien mengerutkan wajah. Mereka mengaku kecewa karena hanya hanya dilayani perawat dan asisten dokter yang masih menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). “Katanya dokter spesialis baru masuk di atas pukul 12,” sebut seorang pasien.

Amatan Pikiran Merdeka ke sejumlah poli di RSUZA, memang kekosongan dokter spesialis sepanjang pagi hingga menjelang siang. Para pasien hanya dilayani asisten dokter yang di bajunya tertera tulisan ‘PPDS’. Setiap ruangan, ia dibantu beberapa perawat saat menangani keluhan pasien.

Irwansyah, pria asal Banda Aceh yang sedang mendampingi mertuanya cek-up usai operasi, siaga mendengarkan panggilan nama mertuanya yang terkena penyakit gondok. Dia berdiri, karena sudah tak ada lagi kursi yang menganggur.

“Dokter yang masuk hari ini dokter memang bagus, namanya dokter Iskandar,” ucapnya kepada Pikiran Merdeka saat ditanya mengapa pasien ramai sekali yang mengantri.

Ia yang sudah bolak balik Poliklinik sejak Kamis pekan lalu mengatakan, konsultasi dan pemeriksaan oleh dr Iskandar bagus, sehingga banyak yang rela mengatri berjam-jam untuk mendapat kesempatan diperiksa oleh dokter spesialis Onkologi itu.

Irwansyah menyebutkan, dr Iskandar SpB (K) Onk bertugas satu kali seminggu, yaitu setiap Selasa. “Itupun baru ada dalam ruangan di atas pukul 12. Jam lainnya, di-hendel oleh PPDS,” katanya.
Ia menjelaskan, bagi pasien yang sudah paham, biasanya mereka memang datang menjelang siang, agar tak lama mengantri. “Memang sudah rahasia umum, semua dokter spesialis baru ada di poli yang ditanganinya pada seusai salat zuhur,” katanya.

Di sudut lain, Zuraidah, 61 tahun, warga Sabang, duduk di kursi roda yang didorong oleh adiknya, Kartini. Zuraidah menderita penyakit kangker payudara sejak tiga tahun lalu. Berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter spesialis di RSUZA, ia tidak dianjurkan untuk operasi, hanya bisa kemo saja.

Karenanya, ia menjalani kemo rutin tiap tiga minggu sekali. Biasanya dia membutuhkan waktu tiga hari di Banda Aceh, dan tinggal di tempat adiknya. Dia yang sudah menunggu sejak pukul 8 pagi, hari itu, memilih menanti di luar ruang poliklinik bedah umum, hingga menjelang siang.

“Kak udah masuk dokter?” tanya Kartini kepada salah seorang petugas perempuan yang terlihat sudah akrab dengannya.

Perawat itu agak sedikit memelankan suaranya dan mengatakan bahwa dokter belum masuk. “Sudah tiga tahun ke poliklinik ini terus. Jadi ya udah macam saudaralah,” ucap Zuraidah.
Selain Zuraidah, ada juga seorang pasien asal Aceh Selatan, yang sejak pagi sudah tidak diperhatikan lagi di ruang IGD RSUZA. Pasalnya, pria bernama Abdul Aziz itu pada Juli lalu, baru saja melakukan operasi hernia di RSUZA. Namun, karena sebelum opesari, pihak rumah sakit memaksa untuk memasangkan keteter, akhirnya setelah operasi laki-laki berusia 63 tahun itu mengalami masalah baru. saluran kencingnya tersumbat.

Akibatnya, dia yang sudah tidak dipedulikan lagi sejak hari kedua pasca operasi, terpaksa dibawa pulang ke kediaman familinya di daerah Lampineng, Banda Aceh, dalam kondisi kesakitan.
Menurut pihak keluarga, tersumbatnya saluran kencing itu terjadi Senin malam. Abdul Aziz yang mulai mengerang kesakitan akhirnya kembali dibawa ke IGD RSUZA malam itu juga. Namun sejak malam tak mendapatkan perawatan apapun.

“Saya tak diapa-apakan. Entah perawat atau dokter sudah 50 kali menanyakan nama dan keluhan penyakit saya. Tapi satupun dari mereka tak ada yang mengangani saya. Benar kata orang, pasien di sini hanya untuk bahan praktek saja,” keluh Abdul Azis dalam kondisi berbaring di ranjang beroda. Ia menanti antrian untuk melakukan cek-up di poli bedah umum.

Semula, Abdul Azis dirujuk dari RSUD Yuliddin Away Tapaktuan karena diminta pihak keluarga untuk melakukan operasi hernia di RSUZA agar mendapatkan pelayanan yang baik. Ternyata yang didapat tak seperti ekspektasi awal, kini Abdul Aziz justru merasa dizalimi pihak RSUZA.

“Andaikan keteter itu tidak dipasang, pasti urusan saya di Banda Aceh sudah selesai dan bisa pulang ke kampung halaman,” katanya.
Ia sudah mewanti pihak rumah sakit untuk tidak melakukan itu terhadapnya, karena berdasarkan pengalaman pada operasi sebelumnya, dia mengalami masalah setelah menggunakan alat tersebut.

Kini ia hanya pasrah dan menanti dokter spesialis yang tak kunjung tiba meski waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Ia berharap, proses ini akan berlangsung cepat, dan ia dapat pulang dan beristirahat dengan tenang.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait