Kontroversi Seputar Uqubat Cambuk

Kontroversi Seputar Uqubat Cambuk
Hukum Cambuk di Masjid Alfalah, Sigli. Foto: PM/Oviyandi Emnur

Saat ini, Aceh menjadi satu-satunya provinsi Indonesia yang memperoleh kewenangan penuh menjalankan syariat Islam. Natangsa Surbakti dalam artikel “Pidana Cambuk dalam Perspektif Keadilan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” yang dimuat jurnal Hukum (17 Juli 2010) menulis bahwa pemerintah pusat telah memberikan kewenangan tersebut melalui UU No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Selain memberikan kewenangan menjalankan Syariat Islam, UU tersebut juga memberikan landasan hukum bagi peradilan syariah di Aceh. Regulasi ini juga memuat penegasan bahwa kewenangan menjalankan syariat Islam ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari otonomi khusus Aceh.

Kewenangan itu ditindaklanjuti dengan dibentuknya sejumlah peraturan daerah yang dikenal dengan istilah “qanun.” Khusus untuk kepentingan penegakan hukum pidana Islam misalnya, terdapat sejumlah qanun yang telah disahkan sebagai sumber hukum materiil.

Namun, hingga saat ini masih ada kontroversi mengenai penegakan syariat Islam di Aceh. Menurut LSM dan aktivis kemanusiaan, kontroversi ini berkaitan dengan formalisasi penegakan syariat Islam dengan menjadikan hukuman cambuk sebagai pidana pokok. Ada yang melihat penerapan pidana cambuk ini sebagai bentuk kekejaman, penyiksaan, dan bertentangan dengan rasa keadilan hukum, serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Adi Hermansyah dalam tesisnya ‘Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Badan (Corporal Punishment) di Indonesia’ dengan kajian khusus di Aceh (2008) menulis beberapa istilah lain dari hukuman fisik atau pidana badan ini.

Menurut dia, ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut pidana badan tersebut, antara lain: beating (pemukulan); blinding (pembutaan); branding (pemberian cap); caning (pemukulan dengan rotan/tongkat); flogging (pencambukan/mendera); mutilation (pemotongan/pengudungan); paddling(pemukulan/dengan cemeti); pillory (penghukuman di muka umum/di tiang).

Dalam hukum Islam, pidana badan ini adalah salah satu pidana yang diberikan secara hudud (ketentuan yang ditetapkan oleh Allah dalam Alquran) atau yang diberikan secara ta’zir (pidana yang diberikan melalui putusan hakim dengan segala pertimbangan).

Hukuman fisik (corporal punishment) merupakan salah satu jenis pidana yang masih digunakan di banyak negara. Berdasarkan data yang dilansir Harm Reduction International pada tahun 2011, terdapat sekitar 40 negara yang masih menerapkan jenis pidana fisik bagi mereka yang melanggar obat-obatan terlarang dan minuman alkohol.

Negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Iran, Yaman, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Libya, Brunei, Darussalam, Maladewa, Indonesia (Aceh), dan Nigeria (negara bagian utara), serta beberapa negara lain masih menggunakan pidana badan tersebut. Padahal, menurut Harm Reduction International, pidana badan seperti hukuman cambuk adalah pelanggaran langsung dari hukum internasional yang melarang penggunaan hukuman fisik.

Karena itu, desakan terhadap penghapusan hukuman cambuk terus mengemuka, baik dari lembaga internasional, maupun nasional, seperti Institute Criminal Justice Reform (ICJR). ICJR meminta pemerintah untuk untuk mengakhiri hukum cambuk Qanun Jinayah atau hukum pidana Islam di Aceh. Selain menciptakan dualisme penegakan hukum di Aceh, Qanun Jinayah juga dinilai tidak sesuai dengan hukum internasional dan hukum pidana nasional.

Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan bahwa qanun yang setara dengan peraturan daerah ini sebenarnya menduplikasi pengaturan pidana di KUHP dan UU lainnya di Indonesia. “Ini menimbulkan dualisme penegakan hukum pidana di NAD, khususnya untuk pasal-pasal kesusilaan yang telah diatur dalam KUHP,” ujar Supriyadi.

Menurut Supriyadi, Qanun Jinayah juga melegitimasi penggunaan hukuman badan atau tubuh di Indonesia, yakni cambuk. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk. Penggunaan hukuman cambuk ini juga masuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

ICJR juga mengritik praktik pengadilan di Mahkamah Syariat Aceh untuk kasus-kasus Qanun Jinayat khususnya akses advokat dan bantuan hukum. “Aspek mengenai bantuan hukum dalam Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, cenderung lemah. Mayoritas tersangka dan terdakwa yang dijerat oleh pasal-pasal Qanun Jinayat umumnya tidak memiliki akses dukungan advokat atau pengacara untuk membantu mereka dalam persidangan,” tulis ICJR.

Dalam kasus ini ICJR tidak melihat adanya dukungan Advokat dan banutan hukum yang diberikan untuk membantu pembelaan hak-hak mereka di depan pengadilan. Padahal, ancaman pidana yang diancamkan termasuk pidana berat.

Pada 2013, Komite HAM PBB yang memonitor kepatuhan negara-negara terhadap kewajiban mereka di bawah ICCPR, menyerukan Indonesia untuk mencabut ketentuan-ketentuan yang mengesahkan penggunaan penghukuman yang kejam di produk-produk hukum lokal di Aceh.

Infografik: PM/Iqbal Ridha

BANTAHAN ULAMA

Menyikapi tudingan tersebut, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Muslem Ibrahim menyesalkan upaya pihak-pihak yang meminta Pemerintah Indonesia menghapuskan pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh.

Menurut Muslem, permintaan itu tidak pada tempatnya sebab peraturan hukum cambuk sudah menjadi hukum positif. Ia juga membantah jika dikatakan hukuman cambuk berseberangan dengan undang-undang di Indonesia.

“Uqubat cambuk adalah qanun (peraturan daerah) yang diterapkan di Aceh dan ini merupakan jabaran dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jadi, tidak ada yang bertentangan dengan peraturan nasional apa pun,” beber Muslem, sebagaimana dilansir kompas.com.

Dari sisi keagamaan, jelas dia, peraturan itu hanya berlaku bagi warga yang beragama Islam dan hukuman tersebut tidak berlaku bagi warga yang beragama non-Islam. “Harusnya mereka bisa melihat dari sisi ini, dari segi aturan agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk di Aceh,” kata Muslem.

Esensi dari pelaksanaan hukuman cambuk itu sendiri, tambah Muslem, bukanlah pada pelaksanaan hukumannya, melainkan efek jera dan pembelajaran yang diberikan kepada masyarakat. Dengan hukuman ini, diharapkan masyarakat menjadi semakin sadar hukum dan bisa berkomitmen untuk tidak melakukan tindakan yang melawan hukum.

Menurut Muslem, pihak internasional, PBB sekalipun, pasti akan menghormati aturan yang sudah ditetapkan oleh komunitas apa pun yang ada di dunia ini.

Senada diungkapkan Badruzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh. Menurut Badruzaman, pihak luar hendaknya tidak melakukan intervensi dan campur tangan akan pelaksanaan hukum di Indonesia, termasuk di Aceh. “Kenapa Aceh yang harus diprotes? Negara maju yang lain, seperti Malaysia, bahkan Singapura dan beberapa negara lainnya, juga memiliki aturan yang lebih heboh dari ini, hukuman mati gantung misalnya, kenapa tidak dipersoalkan? Jadi, tidak ada masalah sejauh ini dengan pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh karena pada hakikatnya ini adalah untuk pembelajaran, bukan ditekankan pada hukumannya,” tutur Badruzaman, dilansir kompas.com.

Badruzaman menegaskan, pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh masih memberikan dampak positif karena ini adalah aturan yang diajarkan oleh agama Islam, agama yang dianut oleh masyarakat di Aceh.

Jauh sebelumnya, tokoh ulama Aceh Tgk H Imam Suja`(almarhum) juga menegaskan, hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh tidak melanggar Hak Azasi Manusia (HAM), karena peraturan tersebut sudah diatur dalam syariat Islam. “Hukuman cambuk itu sudah diatur dalam syariat Islam yang kini sudah diterapkan di Aceh. Jadi, tidak melanggar HAM,” katanya, sebagaimana dilansir Kantor Berita Antara.

Ulama yang semasa hidupnya aktif di organisasi Muhammadiyah ini menjelaskan, Islam merupakan agama yang pertama kali menegakkan HAM, ketika pada zaman jahiliyah perempuan-perempuan dikubur hidup-hidup. “Pada saat Islam datang, maka perempuan yang sebelumnya dikubur hidup-hidup, tidak ada lagi. Oleh karena itu, tidak benar bila Islam melanggar HAM, justru menegakkan HAM,” katanya.

Dikatakan, hukuman cambuk tersebut merupakan hukuman untuk membuat orang jera, agar tidak mengulangi perbuatannya. “Jadi, agama itu adalah aturan, sehingga HAM tidak bisa mengintervensi syariat yang sudah diberlakukan di Aceh.

Hukum cambuk telah menjadi hukum positif yang diatur lewat sebuah qanun, di mana pada saat pembuatannya semua unsur telah dilibatkan, termasuk Mahkamah Agung dan kalangan aktivis masyarakat sipil. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA), sebagian kewenangan soal Syariat Islam juga sudah dilimpahkan oleh Mahkamah Agung ke Mahkamah Syariat di Aceh.[]dsb

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Setan Merah Kesetanan Lagi
Foto: Laurence Griffiths | Getty Images

Setan Merah Kesetanan Lagi