Rapuhnya Payung Masjid Raya

Panasnya Masjid Raya Baiturahman. (Foto PM/Oviyandi Emnur)
Panasnya Masjid Raya Baiturahman. (Foto PM/Oviyandi Emnur)

Sederet persoalan menyelimuti proyek renovasi Masjid Raya Baiturrahman. Dari kondisi payung hingga normalisasi saluran pembungan ditengarai sarat masalah.

Rabu sore, 31 Mei 2017, Mulyadi masih sibuk mengawasi pengerjaan proyek Landscape dan Infrasutruktur Masjid Raya Baiturrahman (MRB). Usai waktu salat Aashar, tepatnya pukul 17.14 WIB, ia meminta operator membukakan beberapa payung bernomor genap untuk pengetesan. Namun, operator juga meminta izin membuka payung lainnya. Alasannya, untuk memantau jika ada sesuatu yang perlu diperbaiki.

Ketika itu cuaca agak mendung, angin juga berhembus lebih kencang dari biasanya. Dalam keadaan seperti itu, kondisi payung sebenarnya rentan terganggu terpaan angin. Namun, pembukaan tetap dilakukan. Sesaat setelah pembukaan hampir penuh, angin mulai mengibas-ngibas kain payung lebih kuat. Lalu tak dapat dihindari lagi, tiba-tiba ikatan pengait pada rangka baja terlepas, kain pun melorot ke bawah.

“Ketika itu sudah banyak pengunjung yang menoleh. Mereka mulai mengambil gambar, tapi tak lama setelah itu petugas bisa menanganinya,” kata Quality Kontrol (QC) PT Waskita Karya Aceh itu kepada Pikiran Merdeka, Rabu (7/6) pekan lalu. Saat melorotnya payung Masjid Raya, ia memang tengah berada di lokasi dan menyaksikan langsung kejadian tersebut.

Banyak tanggapan miring berseliweran. Masyarakat mengkritik rapuhnya payung megah yang telah ditancapkan selama sekian bulan terakhir di masjid kebanggaan masyarakat Aceh itu. Maklum, harga per unitnya ditaksir mencapai Rp10,8 miliar. Ada sekitar 12 payung yang sudah terpasang. Jika ditotalkan sesuai dokumen kontrak proyek ini, maka untuk pekerjaan payung saja anggaran yang tersedot mencapai Rp118 miliar. Melihat harga yang tidak sepadan dengan kualitasnya, masyarakat mulai menyangsikan seberapa lama parasut itu bakal bertahan.

“Payung mahal, tapi rentan rusak karena angin, ujung-ujungnya kita nggak tahu bakal bermanfaat untuk masyarakat atau tidak,” keluh pengunjung Masjid Raya Baiturrahman, beberapa waktu lalu.

BELUM SERAH TERIMA
Mulyadi mengaku gerah dengan pemberitaan media dalam sepekan terakhir, usai copotnya kain payung tersebut. Menurutnya, seluruh pekerjaan Landscape dan Infrastruktur MRB memang belum selesai. “Semuanya masih tahap uji coba,” katanya.

Namun kritikan yang terlontar selama ini seolah-olah program pembangunan yang ia kerjakan telah gagal. Peresmian yang dihadiri Wakil Presiden RI Jusuf Kalla beberapa pekan sebelumnya, sebut dia, tidak serta merta menandakan proyek ini sudah tuntas.

“Seharusnya orang tidak boleh masuk dulu. Karena belum serah terima. Tapi kita tidak bisa memaksakan orang harus mengerti peraturan konstruksi, nanti akan ada yang menganggap kita menghalang-halangi orang ingin menikmati masjid. Ya, terpaksa kita persilahkan masuk,” ujarnya.

Mulyadi merasa serba salah saat memantau proyek di lapangan. Beberapa lokasi, seperti basement yang tengah dirampungkan, namun beberapa pengunjung malah nekat menggunakan toilet di dalamnya tanpa izin. “Ada yang komplain, marmer yang pecah, air kamar mandi yang mampet, nanti juga dianggap bermasalah. Padahal memang masih dalam tahap pengerjaan, seharusnya pengunjung belum boleh menggunakannya,” sambung Mulyadi.

Sesuai kontrak kerja, PT Waskita Karya selaku pelaksana proyek MRB seharusnya telah menuntaskan pekerjaannya pada tahun ini. Namun karena beberapa item capaiannya masih di bawah 50 persen, maka pihaknya mengajukan adendum penambahan waktu. “Lantaran pekerjaan normalisasi saluran drainase di sekitar luar masjid yang memakan watu lebih lama, sehingga berpengaruh ke pekerjaan lainnya,” tambahnya.

Pada prinsipnya, sebut Mulyadi, ia memastikan semua pekerjaan Landscape dan Infrastruktur MRB sudah rampung. Hanya saja pihaknya tetap sering melakukan pengetesan untuk beberapa komponen, terutama payung, serta beberapa penyempurnaan lain.

“Membersihkan saluran misalnya, itu sebenarnya tidak masuk dalam kontrak kita, pekerjaan tambahan. Tapi ini kan ada kaitannya juga dengan masjid,” ujar Mulyadi. Yang ia maksud adalah saluran yang berada di luar masjid sebelah barat. Masalah ini belakangan memicu melubernya air sehingga area dalam sempat tergenang.

Waskita juga mengemban pekerjaan normalisasi saluran air. Pekerjaan drainase terangkum dalam item kerja persiapan dan penunjang yang menghabiskan biaya hingga Rp5,8 miliar. Namun dalihnya, pekerjaan yang dimaksud dalam kontrak tersebut hanya di dalam kawasan masjid.

“Untuk di dalam sudah beres, tapi saat menyalurkan air pembuangan dari masjid ke saluran kota, salurannya macet. Saluran di sisi barat masjid, mislnya, sangat kotor. Jadi percuma jika kita hanya rampungkan saluran dalam masjid, tapi di luarnya tidak beres,” papar Mulyadi. Ia berdalih bahwa upaya membereskan saluran luar untuk mencegah terjadinya banjir. “Walaupun itu sebenarnya bukan tugas kita.”

Persoalan seperti drainase, sebut Mulyadi, merupakan pekerjaan yang membutuhkan kerjasama berbagai pihak, melibatkan dinas lain. Ia telah mencoba berkordinasi dengan pihak Dinas Tata Kota untuk penataan saluran. “Tapi tidak ada solusinya. Mereka tidak punya dana, padahal di sebelah barat Masjid itu dalam saluran nya sudah penuh dengan tanah, karena ada pohon di situ. Mau tidak mau kita yang turun tangan. Kita panggil petugas, bersihkan saluran itu. Kita yang lakukan normalisasi,” tandasnya.[]

http://www.pikiranmerdeka.co/2017/06/16/banyak-kejanggalan-proyek-mrb/

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait