Manfaat Tak Sebanding Biaya Perawatan

Panasnya Masjid Raya Baiturahman. (Foto PM/Oviyandi Emnur)
Panasnya Masjid Raya Baiturahman. (Foto PM/Oviyandi Emnur)

Biaya perawatan payung elektrik Masjid Raya Baiturrahman akan semakin besar di masa mendatang. Bila tidak, segera jadi besi tua tanpa guna.

Jauh sebelum megaproyek pembangunan Landscape dan Infrastruktur Masjid Raya Baiturrahman berjalan, usulan pemasangan payung elektrik juga terjadi di Provinsi Jawa Tengah pada 2005. Rapat paripurna DPRD Jateng membahas pembelian payung untuk Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) berlangsung alot. Suasana mendadak tegang saat rapat yang sejatinya membahas perubahan APBD 2005 itu mengarah ke pembelian payung elektrik.

Dilansir detik.com, dari 80 anggota dewan yang hadir, sebanyak 16 menyatakan tidak setuju dengan pembelian payung elektrik yang harganya mencapai Rp11 miliar. Sedangkan sisa anggota 64 orang menyetujuinya.

“Lebih baik cari payung statis yang harganya jauh lebih terjangkau,” kata ketua komisi B DPRD Jateng, Khafidh Sirotudin saat itu.
Barang yang akan dibeli menurutnya sangat mahal dan mewah. Hal itu terkesan kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah soal penghematan energi. Namun, perdebatan yang berlarut larut diakhiri dengan keputusan voting untuk menghitung berapa orang anggota dewan yang menyetujui dan menolak usulan tersebut. Mayoritas anggota parlemen menyetujuinya.

Sementara dari pihak yang setuju dengan pembelian payung itu berpendapat, beapapun harga payung dan peralatan Masjid Agung Jawa Tengah nanti tentu tidak masalah, asalkan penggunaan dananya transparan. “Kalau sudah jadi nanti, masjid itu kan bisa dinikmati masyarakat Jateng,” kata seorang anggota komisi.

Masjid Agung Jawa Tengah Semarang. Foto: Istimewa

Menariknya, perusahaan pembuat payung elektrik untuk Masjid Raya, merupakan perusahaan yang sama dalam proyek payung Masjid Agung Jawa Tengah pada 2007. Berdasarkan dokumen kontrak pembangunan Landscape dan Infrastruktur MRB, disebutkan bahwa PT Waskita Karya Divisi I yang berkedudukan di Jakarta Timur juga mempercayakan pembuatan payung elektrik kepada PT Megacipta Sentrapersada. Pekerjaan tersebut meliputi pembuatan rangka struktur, ornament, clading, dan elektrikal pembangunan Masjid Agung Jateng.

Dalam Berita Acara Serah Terima pekerjaan itu, PT Mega Cipta masih diberikan tanggung jawab untuk masa pemeliharaan selama 360 hari. Namun setelah itu, tepatnya 10 tahun kemudian dua payung hidrolik masjid itu rusak parah. Penelusuran suaramerdeka.com, kain payung di MAJT sudah tampak usang karena tak tahan didera cuaca yang silih berganti. Rangkaian payung juga tampak longgar, tak mampu lagi menutup dengan sempurna.

Pihak pengelola Masjid Agung Jateng, Muhyidin menuturkan, perbaikan payung dan perawatannya memerlukan dana besar. Sedangkan Pemprov Jateng hanya mampu menggelontorkan dana Rp1,1 miliar dari total usulan pengelola masjid sebesar Rp29 miliar tahun lalu.

“Semua kini sudah mulai rusak, terus terang kita merasa keberatan untuk memperbaiki. Jangankan perbaikan, untuk biaya operasionalnya saja sudah cukup tinggi,” ujarnya. Payung ini pun tak lagi dapat dinikmati masyarakat setempat.

Berkaca dari Masjid Agung Jawa Tengah, Pemerintah Aceh perlu mewanti-wanti jangan sampai bengkaknya biaya perawatan payung MRB di masa mendatang menjadi beban yang sulit dipenuhi, mewarisi kesulitan seperti halnya yang terjadi di Jawa Tengah.

Sesuai dengan Surat Pernyataan Dukungan Maintanance Nomor 035/MCSP/DKG/IV/15, pihak Megacipta akan melakukan pendampingan perawatan operasional payung elektrik sesuai dengan spesifikasi, petunjuk operasional, dan perawatan selama tiga tahun. Megacipta juga menempatkan operator/teknisi untuk melakukan pengoperasian payung elektrik MRB.

Namun, sekalipun masih ada masa pemeliharaan selama 700 hari dibebankan kepada pelaksana, belum juga menjamin operasional payung akan lancar di masa-masa berikutnya. Dibutuhkan dana yang besar untuk perawatan payung, dan itu menggunakan APBA.

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian menuturkan, butuh audit untuk seluruh pekerjaan payung MRB yang selama ini telah berjalan. “Dalam hal ini, kita minta BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) agar segera melakukan audit tertentu,” ujarnya, Sabtu pekan lalu.

Sejak awal, MaTA telah memperingatkan Pemerintah Aceh. Ia menilai, pembangunan ini memang terkesan dipaksakan. Terlebih iklim antara Aceh dan Madinah sangat berbeda. Jika pun tetap dikerjakan, pemerintah seharusnya menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi proyek ini.

“Mekanisme anggaran yang sangat besar tentu perlu diawasi. Ini kan pekerjaan jangka panjang, apalagi ini yang mengerjakannya perusahaan plat merah,” kata Alfian.
Ia berharap, kebijakan pemerintah dalam hal ini tidak hanya ‘kejar tayang’. Ke depan, biaya perawatan payung juga sangat besar. Berkaca dari pengalaman Masjid Agung Jateng, pemerintah perlu memperhitungkan besaran biaya yang akan dikeluarkan nantinya.

Alfian tak menampik bahwa pemugaran Masjid Raya penting untuk kemaslahatan masyarakat Aceh. “Namun bukan berarti praktik anggarannya dikesampingkan, di sinilah peran BPK,” imbuhnya.
Ke depan, MaTA akan melakukan analisis terhadap keseluruhan proyek renovasi MRB sekaligus berkordinasi dengan BPK untuk mengidentifikasi apakah ada temuan atau tidak. “Sekarang kita sedang mengkaji harga payung itu. Kita tidak tahu kualitas payung ini akan bertahan sampai kapan. Intinya, kita sangat mendukung pembangunan MRB, namun pengelolaannya harus transparan,” pungkas Alfian.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait