Masjid Raya, Persoalanmu Kini

Masjid Raya, Persoalanmu Kini
Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh. Foto: PM/OVIYANDI EMNUR

Beragam persoalan muncul pasca renovasi Masjid Raya Baiturrahman. Mulai lokasi penempatan alas kaki hingga bentuk toilet memicu kontroversi di masyarakat. 

Tasya tampak terkejut. Ia tak menyangka akan dihardik seseorang di Masjid Raya Baiturrahman (MRB) Banda Aceh, Sabtu pekan lalu. Siswi kelas I SMP yang mengaji di TPQ Plus Baiturrahman dalam kompleks masjid tersebut ditegur karena menggunakan sepatu di atas lantai keramik yang terbentang di pekarangan masjid.

“Kenapa nggak dibuka sepatunya? Nggak ada perasaan kamu ya!” tuding pria paruh baya itu, ketus.

Tasya menuturkan, sebelumnya ia memang tak berniat menapakkan sepatunya di atas lantai keramik itu. Ia mau menjinjing hingga meletakkan sepatunya itu di tempat penitipan sepatu di depan tempat pengajiannya, TPQ Plus Baiturrahman.

“Belakangan saya lihat kawan-kawan nggak melepaskan sepatunya. Terus, saya tanya, emang sepatunya nggak dilepas? Nggak katanya. Emang boleh gitu? Ya boleh, nggak ada yang perhatiin, kata kawan saya itu,” kisahnya, Sabtu pekan lalu.

Lemahnya pengawasan dari petugas masjid agar pengunjung tak menapakkan sepatu atau sandal mereka di atas lantai keramik, kini menjadi persoalan di MRB. Umumnya, para pengunjung atau jamaah mengabaikan larangan itu. Terlebih saat matahari sedang menyengat di siang hari, hawa panas terasa menyambar telapak kaki saat menginjakkan lantai keramik yang terhampar di halaman masjid.

Perubahan MRB
Semenjak direnovasi, banyak sekali perubahan dari masjid tersebut. Para pengunjung bisa merasakan perubahan dari proyek yang menelan dana APBA senilai Rp458 miliar untuk pembangunan basement, payung elektrik serta pemasangan lantai keramik di seluruh pekarangan masjid.

Salah satunya, para pengunjung sudah tak leluasa lagi menggunakan sepatu atau sandal saat berada di pekarangan masjid. Sepatu atau sandal harus ditaruh di luar pekarangan, persisnya di depan pintu gerbang masuk masjid.

Kepala Desa Blang Bati, Kecamatan Peudada, Bireuen, Munir mengatakan pemasangan lantai keramik menggantikan hamparan rumput yang dulu tumbuh di pekarangan masjid itu kurang tepat. Permasalahannya timbul saat berwudu di lokasi yang berjarak sekitar 50 meter dari masjid.

“Tidak cocok, karena sandalnya kita taruh di sana (luar pekarangan lantai keramik), habis itu jalan kaki kemari, sementara lantai keramik ini kan belum tentu suci,” kata pria yang kerap disapa Keuchik Munir itu, Sabtu pekan lalu.

Ia menambahkan, hal ini sebenarnya bisa diantisipasi dengan mencuci kaki dengan air dalam parit kecil yang mengalir di bawah tangga masjid. Namun, Keuchik Munir mengaku air di parit itu juga tak selalu tersedia bagi para jamaah.

“Seperti Jumat kemarin, kebetulan di bawah tangga nggak ada air di paritnya. Jadi ya serba salah. Tapi kalau ada air, ya oke-oke saja, keramiknya nggak bermasalah,” ujarnya.

Selaian itu, sepatu atau sandal di luar pekarangan lantai keramik juga rawan dicuri karena berserakan begitu saja di dekat pintu gerbang masjid. Kecuali bagi mereka yang menitipkan di tempat penitipan sandal. “Jadi, sebagian jamaah mungkin akan merasa was-was dengan alas kaki yang ditinggalkan di luar halaman masjid.”

Berjalan dengan telapak kaki telanjang di atas lantai masjid yang panas akibat terbakar matahari juga dikelukan sebagian pengunjung. Keuchik Munir merasakan hal serupa. Namun, ia tak terlalu mempermasalahkannya.

Selain itu, dia juga mengeluhkan lokasi wudhuk yang masih menggabungkan pria dan wanita, sehingga berpotensi membatalkan wudhuk bagi yang bersentuhan dengan lawan jenisnya yang bukan muhrim. Hal ini lantaran lokasi wudu lainnya di salah satu sisi masjid yang dulu sudah dibongkar, belum selesai dibangun kembali.

Keuchik Munir datang dari Bireuen bersama istrinya, Fitriani dan dua orang anak mereka. Tujuannya mengunjungi saudaranya di kawasan Neusu, Banda Aceh, sekalian mengunjungi masjid yang menjadi saksi tewasnya panglima perang Belanda, Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler itu.

“Sudah lama saya nggak berkunjung ke sini. Terakhir belum seperti sekarang, masih banyak rumput dan pohon di sini,” kenangnya.

Secara umum, dia mengapresiasi pembangunan masjid yang menurutnya sudah mengalami banyak kemajuan dari sebelumnya. Misalnya, terkait dengan payung elektrik yang membuat pengunjung bisa berteduh dari panas matahari dan guyuran hujan.

“Kalau panas matahari kan payungnya bisa dibuka. Kalau dulu waktu panas, ya sudah panas begitu saja. Kalau sekarang kan bisa berteduh di bawah payung itu. Yang jelas, ada kemajuanlah,” tuturnya.

Sementara pengunjung lainnya, Mufidah juga mengakui adanya perubahan dari pembangunan MRB menjadi lebih bagus dari sebelumnya. Perempuan asal Lhokseumawe ini merasakan perbedaan, salah satunya terkait payung elektrik.

“Kebetulan saya dulu tinggal di luar kota, di Jakarta. Jadi sudah lama nggak berkunjung kemari. Pas pulang, saya lihat sudah bagus. Misalnya sekarang sudah ada payung, jadi orang bisa duduk dan berteduh di situ, payung ini kan identik dengan payung di Madinah,” kata Mufidah.

Ia hanya mengeluhkan kondisi kamar mandi dan tempat wudhuk yang belum semuanya siap dibangun, sehingga membuat dirinya kesulitan saat ingin berwudhuk.

“Karena kamar mandi belum selesai, jadi agak jauh dan sempit lagi jalannya. Kalau dulu kan tempat wudu laki-laki dan perempuan itu dipisah. Yang satu untuk laki-laki dan lainnya untuk perempuan, sekarang sudah digabung semuanya, makanya jadi sempit,” tuturnya.

Karena itu, ia berharap lokasi kamar mandi dan tempat wudhuk bisa dibangun kembali seperti sebelumnya, sehingga tak bercampur lagi antara laki-kali dan perempuan.

Mufidah juga mengkhawatirkan lubang-lubang kecil penutup parit kecil yang menjadi pembatas lantai keramik pelataran masjid. Kondisi itu rawan membuat anak-anak kecil tersandung atau terjatuh. Namun, menurutnya para orangtua bisa mengantisipasi hal tersebut dengan menjaga anak-anak mereka agar tak bermain di kawasan dimaksud.

Ia berharap, seluruh rangkaian renovasi MRB bisa segera dirampungkan. “Kalau bisa dibuat lebih bagus lagi, kan kalau kayak di Madinah betul-betul teduh,” ujarnya.

Terakhir, ia mengahrapakan fungsi pengawasan dan pemeliharaan MRB benar-benar dijalankan. “Maintenance-nya seperti pengadaan tempat sampah. Kayak sekarang kan jumlah tempat sampahnya masih sangat kurang, jadi lingkungan masjid bisa cepat kotor. Selain kebersihan, juga penjagaan dan pengawasan tentunya,” pungkasnya.

Seorang petugas keamanan proyek PT Waskita, Muzir mengaku pihaknya tak mampu mengukur antisipasi terkait dengan keamanan sepatu dan sandal pengunjung yang harus ditaruh jauh dari masjid. “Kalau di sini, nggak sanggup kita ukur. Kalau pun misalnya sepatu atau sandal ditaruh di raknya dekat masjid, tetap juga diambil pencuri,” ujarnya, Sabtu pekan lalu.
Atau, kata Muzir, solusinya para pengunjung bisa menitipkan ke tempat penitipan sepatu dan sandal yang dijaga petugas. Lokasinya ada di basement. Namun, masalahnya basement itu belum bisa dibuka untuk umum.

Sementara terkait keluhan para pengunjung yang merasa kurang nyaman dengan lokasi kamar mandi dan tempat wudhuk yang saat ini hanya satu tempat yang menggabungkan pria dan wanita, Muzir mengatakan hal tersebut bisa ditanyakan langsung ke pihak petugas keamanan MRB. “Itu bisa ditanya langsung sama petugas keamanan masjid. Kalau kami kan petugas keamanan proyek,” katanya.

Hingga saat ini, wewenang pengelolaan dan penjagaan MRB masih dipegang oleh pihak keamanan proyek, yaitu PT Waskita dan belum diserahterimakan kepada pihak pengurus MRB. Saat dikonfirmasi mengenai hal ini, pihak pengurus MRB tak bersedia memberikan komentar.

PM/Oviyandi Emnur

Polemik Toilet
Sebelumnya, model toilet yang dibangun di MRB sempat memicu kontroversi netizen di media sosial. Toilet yang berada di bawah masjid dinilai tidak sesuai dengan tatacara buang air dan bersuci dalam Islam.

Ada yang menyebut model toilet tersebut tak sesuai bila digunakan di kawasan Timur, khususnya Islam karena desainnya hanya familier bagi masyarakat Barat. Terutama untuk toilet buang air besar, karena pembatas yang rendah sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi penggunanya

Salah satu kritikan disampaikan Ketua Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Aceh, Tgk H Faisal Ali. Karena proyek pembangunan toilet itu masih dalam tahap penyelesaian, ia berharap sebaiknya kontraktor pelaksana segera mengubah bentuk dan modelnya agar memenuhi syariat Islam.

“Saya pikir pemerintah juga tidak perlu mencari pembenaran, sebaiknya diperbaiki saja. Jangan sampai masjid yang sudah sangat megah ini tercemarkan dengan toilet yang tidak memenuhi standar syariat,” ujarnya dikutip Serambi Indonesia, Senin pekan lalu.

Menanggapi perihal ini, Kepala Biro Humas Setda Aceh, Mulyadi Nurdin mengajak para wartawan untuk melihat langsung kondisi toilet dan tempat wudhuk di MRB. “Kita ingin kawan-kawan wartawan melihat sendiri fisik bangunan toilet dan tempat wudhuk untuk memastikan bahwa pembangunannya sudah sesuai standar,” ujar Mulyadi dalam siaran pers yang dikirimkan, Senin pekan lalu.

Tim teknik proyek pembangunan MRB, Ipung menjelaskan, pembangunan toilet memang masih dalam tahapan penyelesaian. Dikatakannya, penyekat plastik untuk kloset berdiri belum dipasangi dan akan dipasang pihaknya, sehingga mereka yang menggunakannya tidak terciprat air seni.

Adapun pembatas antar toilet buang air kecil yang dinilai masih kurang tinggi akan ditambah ketinggiannya supaya pengguna merasa nyaman. Selain itu, kata Ipung, pihaknya juga membuat kloset duduk khusus buang air kecil.

Terkait polemik ini, Mulyadi memastikan apa yang dibangun pemerintah telah lebih dulu melihat kebutuhan dan standar yang berlaku, sehingga tidak menimbulkan kontroversi di masa mendatang.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait