Geliat Sang Penantang Lokal

Pasar tradisional diambil alih oleh ritel-ritel modern (Foto freebiespic.com)
Pasar tradisional diambil alih oleh ritel-ritel modern (Foto freebiespic.com)

Di tengah kehadiran ritel nasional, para pebisnis lokal jumawa dengan mendirikan minimarket. Tak takut bersaing dengan hypermarket.

 

Di tengah gempuran ritel-ritel besar berskala nasional, para pebisnis lokal di Aceh juga tak mau ketinggalan berkiprah dalam bisnis tersebut. Hal ini dilakukan dua bersaudara, Jalalus Sayuti dan abangnya Zainuddin Abdullah. Mereka mendirikan minimarket dengan merek dagang utama Mahli di Banda Aceh maupun Aceh Besar.

Mahli merupakan bisnis keluarga Sayuti. Cikal bakal swalayan ini berawal pada 1989. Saat itu, abang Sayuti yang lain, Muhammad Wali, membuka kios pertama di kawasan Simpang Surabaya, Banda Aceh. “Ia bekerja sambil kuliah di Fakultas Ekonomi Unsyiah. Asal mula nama Mahli ini dari nama abang pertama saya ini, Muhammad Wali. Disingkat jadi Mahli supaya mudah diingat,” tuturnya kepada Pikiran Merdeka, Rabu dua pekan lalu.

Kios itu lambat laun berkembang pesat. Beberapa tahun kemudian, Wali membuka satu unit toko di Beurawe, Banda Aceh. Saat itu, kawasan tersebut masih menjadi terminal bus antar provinsi.

Pengelolaannya kemudian beralih kepada Sayuti dan Zainuddin, karena Wali memilih meninggalkan posisinya di swalayan dan berganti profesi menjadi guru.

Sejak saat itu, adik abang tersebut melebarkan sayap bisnis mereka. Beberapa gerai lain mulai dibangun. “Biasanya kalau bangun toko baru, kalau pasarnya masih bagus, kami buat berdekatan. Pasar makin baik, produksi juga makin baik. Sumber-sumber barang yang kami jual masih diambil dari distributor di Banda Aceh,” ungkap Sayuti.

Kini, Mahli dan Mahli Baru bernaung di dalam CV Mahli Baru Retailindo. “Karena kami CV, harus dibagi job. Jadi saya yang jalankan bisnisnya, karena beliau (Zainuddin) sudah menjadi PNS,” sebutnya. Zainuddin Abdullah merupakan pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan Aceh.

BACA: Resah Dikepung Ritel Modern

Swalayan tersebut juga mengalami pasang surut dalam perkembangan bisnisnya. Karena itulah, ada juga beberapa toko yang sudah dibuka harus ditutup kembali karena nyaris tak ada prospek keuntungan. Sayuti mencontohkan minimarket Mahli di Lam Ateuk yang terpaksa ditutup. “Waktu itu, pasar masih sepi dan kami merugi. Sejauh ini, jatuh bangun dalam bisnis sudah cukup kami rasakan. Jalannya kan nggak selalu mulus, jadi sudah lumrah,” ujarnya.

Jatuh bangun itu juga terkait dengan kehadiran hypermaket skala nasional seperti Indomaret dan Alafamart. Secara langsung, minimarket seperti Mahli memang bukan lawan sepadan. Perbedaan mendasar antara hypermaket dengan swalayan lokal, kata Sayuti, seperti gajah dan semut. Menurutnya, daya beli masyarakat di hypermaket sangat besar. “Sistemnya otomatis, pembeliannya dalam partai besar dan harga lebih murah. Sedangkan kita menjual harga Banda Aceh yang sudah beberapa kali di-up oleh distributor. Sedangkan barang mereka (ritel modern) adalah hasil distribusi sendiri,” ujar Sayuti.

Satu sisi, tambah Sayuti, bisnis market di Aceh masih memiliki prospek bagus walaupun ada penetrasi dari ritel skala nasional. Bahkan, kata dia, ritel-ritel skala nasional tersebut masih terus berencana memperluas ekpansi bisnisnya di Aceh. “Tapi, selaku pebisnis lokal, kita jangan bersaing dalam masalah harga dengan ritel-ritel nasional ini. Namun kita tingkatkan kualitas pelayanan. Karena kalau bagi konsumen harga itu nomor dua, yang penting itu service-nya,” kata Sayuti.

Jika bicara soal harga, tambah Sayuti, mayoritas barang di ritel-ritel modern relatif dijual lebih murah karena hasil distribusi sendiri. Namun, yang menjadi keunggulan pasar lokal adalah kebebasan menjual produk apa saja. “Kemenangan ritel lokal adalah kami bisa bebas memasukkan barang apa saja yang kita suka, sedangkan mereka nggak bisa. Berapa SKU (Stock Keeping Unit-kode unit barang yang boleh dijual atau dibeli perusahaan), hanya itu yang bisa dijual,” ujarnya.

Selain itu, faktor penawaran harga juga menjadi nilai lebih di swalayan lokal. Misalnya, jika harga satu botol air mineral di ritel modern dijual Rp3.000 per botol, itu tak bisa ditawar lagi. “Kalau kita masih bisa dinego untuk pembelian dengan jumlah besar. Misalnya, ada orang buat acara, perlu air mineral 100 buah. Kalau dinego masih bisa kuranglah,” ujar Sayuti.

Ia berharap di tengah maraknya ekspansi ritel-ritel nasional di Aceh, pebisnis lokal di Aceh harus termotivasi untuk bersaing sehingga mampu menguasai perekonomian di daerah sendiri. “Minimal pebisnis lokal bisa jadi raja di negeri sendiri. Yang kita harapkan demikian. Jangan sampai nanti datang Alfamart atau ritel nasional lainnya buka usaha di sini. Memang satu sisi baik, tapi sisi lainnya juga nggak bagus. Masak mereka pemain nasional mampu, kita pemain lokal tidak mampu,” ujar Sayuti.

Ia berharap pemerintah proaktif mendukung pasar lokal. Salah satunya, pemerintah harus mampu mendorong perbankan mengeluarkan kredit single digit. Jika sebelumnya suku bunga mencapai 14 persen, bisa diturunkan menjadi 8 atau 9 persen. “Jadi kita pun yang ambil kredit, bunganya tak terlalu besar. Kalau bunganya terlalu besar, harga barang pun akan naik, dan harus dijual lebih mahal kan, kalau nggak, nggak ada untung,” ujar Sayuti.

Bungsu dari empat bersaudara itu menuturkan tujuan keluarganya membuka bisnis swalayan ini agar mereka bisa mengkaderkan generasi-generasi selanjutnya. Untuk membuka satu cabang toko, ia menyebutkan minimal membutuhkan delapan orang staf. “Jadi orang-orang di Aceh ini belajar sama kami. Kalau sudah ada ilmu nanti bisa buka toko sendiri. Jadi tujuan pertama kami untuk merangkul mereka dulu. Nanti kalau kami sudah tua, ada yang menggantikan,” ungkapnya.

Kini, CV Mahli Baru Retailindo sudah memiliki 13 cabang, di antaranya Mahli Swalayan, Mahli Baru, Mahli Baru Toserba, MBMart, Mahli Baru Mandiri, dan beberapa gerai lainnya. Omset setiap gerai mencapai Rp10 juta per hari. Dari seluruh gerai tersebut, Sayuti memiliki 38 karyawan. “Target kami, minimal per tahun bisa buka satu atau dua cabang toko yang baru. Karena sejauh ini kami masih konsisten dan persisten dengan target untuk setiap tahun setidaknya ada toko baru yang dibuka.”

Pebisnis lokal lain yang ikut meramaikan kancah usaha minimarket adalah Tawakkal Swalayan. Dibandingkan Mahli, swalayan ini tergolong baru. Menurut pemiliknya, Taufikil Hadi, Tawakkal Swalayan berdiri pada 2014.

Namun, Taufikil mengaku telah menjalankan bisnis ritel sejak 20 tahun lalu. Hal itu ia lakukan sembari melanglang buana ke Bogor, Surabaya, hingga Malaysia. Baru pada 2009 ia kembali ke Aceh. “Saya kembali ke Aceh dan membuka Hijrah Swalayan di kampung halaman saya, Sigli,” tuturnya Sabtu pekan lalu.

Hijrah Swalayan kemudian berkembang. Kini sudah memiliki tiga pintu toko dan dikelola oleh adik Taufikil. Setelah itu, dengan beberapa pertimbangan, ia membuka Tawakkal Swalayan di Banda Aceh.

Dengan banyaknya ritel-ritel skala nasional di Aceh, ia berharap swalayan miliknya mampu memberikan pelayanan terbaik. Ia menilai kehadiran ritel-ritel tersebut jelas mempengaruhi perekonomian lokal di Aceh.

Konsumen pada akhirnya akan memilih ritel yang mengutamakan kualitas dan kenyamanan, yang dalam hal ini dipraktikkan oleh Indomaret, Alfamart, dan ritel-ritel nasional lainnya. Hal seperti itu yang menurutnya harus ditiru oleh pelaku ritel lokal. “Saat kita selalu protes orang, kita harusnya koreksi diri. Ritel-ritel nasional ini melayani konsumennya dengan baik, disambut di depan pintu. Kita ambil kelebihan mereka ini, lalu kita praktikkan pada kita sendiri,” ujar Taufikil.

Ia menambahkan, “Kalau kita tanya sama perusahaan yang besar, semua mengutamakan pelayanan dan kenyamanan konsumen. Saat dijual kepada konsumen yang pemikirannya maju, ini jadi laku. Kelebihan perusahaan orang lain kita ambil dan jadikan motivasi bagi kita.”

Meski begitu, Taufikil menyebutkan ada keunggulan swalayan miliknya dibanding dengan ritel nasional lainnya. Salah satunya pada jasa antar barang kepada konsumen. “Sedangkan mereka tidak. Harga barang saya juga lebih murah dibandingkan mereka. Kalau mereka kan kena pajak lagi. Yang murah itu kan barang produk mereka sendiri,” sebutnya.

Taufikil tak mau berkomentar mengenai peran pemerintah terkait upaya mengatasi persaingan antara ritel nasional dan ritel lokal di Banda Aceh ini. Namun, ia berharap agar gerai-berai baru ritel nasional seperti Indomaret dan Alfamart ini tak dibangun lagi di Aceh. “Ya kalau ditanya saya, ya jangan ditambah. Kenapa harus ditambah lagi.”

Pemerintah Kota Banda Aceh kini mulai sementara memang menyetop izin baru pembangunan gerai Indomaret di Banda Aceh. Adapun untuk para pemain bisnis ritel besar lain seperti Alfamart dan Seven Eleven memang belum diberikan izin sama sekali untuk mendirikan gerai. Hal ini dilakukan untuk “memberi nafas” bagi swalayan lokal dan pasar tradisional.

Kepala Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan Banda Aceh, Rizal Junaedi mengatakan pihaknya sedang menyusun Peraturan Walikota tentang Penataan Pasar Rakyat, Toko Tradisional, dan Toko Swalayan. “Hal ini agar adanya keseimbangan dan persaingan yang sehat serta memberikan perlindungan bagi UKM (Unit Kecil Menengah),” ujarnya, Sabtu pekan lalu.

Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI menyatakan akan memperketat aturan terkait ritel modern yang akan diatur dalam dua skema. “Yang pertama kami akan atur mengenai keberpihakan dan yang kedua tentang pengendalian ritel modern,” ujar Deputi Bidang Industri dan Perdagangan, Kementerian Koordinator Perekonomian, Edy Putra Irawady dikutip KONTAN, Senin pekan lalu.[]

 

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait