Upaya negoisasi Senator Sudirman tak berbuah manis. Pemerintah Aceh Besar terkesan buang badan untuk menyelesaikan masalah.
Sebelum barak Bakoy dibongkar pada Rabu pekan lalu, Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI asal Aceh Sudirman mencoba mengupayakan mediasi. Sudirman atau akrab disapa Haji Uma memediasi 18 kepala keluarga penghuni barak dengan Pemerintah Aceh dan Polda Aceh, pada 27 Januari lalu.
Hasil mediasi terlihat sebulan kemudian dengan keluarnya surat dari Plt Gubernur Aceh untuk Bupati Aceh Besar pada 20 Februari. Isi surat itu menyarankan Bupati Aceh Besar Mukhlis Basyah menyelesaikan permasalahan relokasi korban tsunami di Barak Bakoy secara arif dan bijaksana dengan melibatkan semua pihak terkait.
Sebelumnya, pada 30 Januari Polda Aceh melayangkan surat dengan permintaan serupa kepada Pemerintah Aceh Besar. Namun, permintaan ini lebih kepada upaya menyukseskan Pilkada Aceh 2017.
Sejak awal Januari sebenarnya para penghuni barak telah khawatir tempat tinggal tersebut dibongkar. Hal ini tak terlepas dari pembongkaran pada 21 Desember 2016. Saat itu, dua dari lima barak pengungsi tsunami di Gampong Bakoy dibongkar Pemerintah Aceh Besar.
Pembongkaran atas perintah Bupati Mukhlis Basyah itu untuk menertibkan barak yang ditengarai dihuni secara ilegal dan rawan maksiat. Menurut Asisten I Setdakab Aceh Besar, Mukhtar, yang ikut turun ke lokasi saat itu, pembongkaran kedua barak itu tindak lanjut dari pembongkaran yang terhenti pada Januari 2014.
Menurut Mukhtar, Pemerintah Aceh Besar telah memberikan waktu dua tahun agar penghuni pindah. “Tapi, kenyataannya makin banyak saja warga yang tinggal secara ilegal di barak tersebut,” ujar Mukhtar seperti dikutip Aceh Tribunnews. Setelah pembongkaran itu, para penghuni tiga barak yang tersisa diberi tenggat hingga 31 Januari untuk angkat kaki.
Pembongkaran itu kemudian memang diurungkan pada Januari setelah keluarnya surat dari Polda Aceh dan Plt Gubernur Aceh. Barulah pada April, Pemerintah Aceh Besar melakukan eksekusi yang tertunda tersebut.
Respon Mukhlis Basyah
Sebelum pembongkaran, pada 4 April Bupati Mukhlis Basyah merespon surat Plt Gubernur Aceh. Dalam surat itu Mukhlis menyebutkan Pemerintah Aceh Besar telah memverifikasi penerima 398 rumah bantuan Saudi Charity Campaign. Para penerima bantuan tersebut ditetapkan oleh BRR pada 14 April 2009.
Dari 398 rumah bantuan, 58 unit berada di Gampong Neuheun, 200 unit di Gampong Miruek Lamreudeup dan sisanya di Gampong Lam Ujong.
Hasil verifikasi ulang terhadap 396 (seperti dituliskan di poin b surat itu) calon penerima, kata Mukhlis, hanya tiga orang yang belum menerima bantuan tersebut. Mereka adalah Edi Alberto, M Kasim Ahmad dan Cut Siti Aminah. Ketiganya merupakan penghuni barak Bakoy.
Menurut Mukhlis Basyah, hanya tiga orang tersebut yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Aceh Besar. Hal ini sesuai berita acara serah terima antara Pemerintah Aceh dengan Bupati Aceh Besar pada 2 Maret 2011 tentang penerima 398 unit rumah bantuan tersebut. “Sedangkan lima belas penghuni barak Bakoy adalah data berdasarkan keputusan BRR yang tidak pernah dilimpahkan tanggung jawabnya kepada Pemerintah Aceh Besar,” tutup Mukhlis Basyah.
Haji Uma menilai Pemerintah Aceh Besar terkesan buang badan untuk menyelesaikan masalah tersebut. “Dan berdalih bahwa ini merupakan masalah pemerintahan bupati periode sebelumnya. Jadi yang Anda urus itu rakyat atau masa jabatan bupati?” ujar Haji Uma beberapa hari sebelum pembongkaran barak Bakoy.
Jika melihat penjelasan surat Plt Gubernur Aceh, kata Haji Uma, permasalahan relokasi penghuni barak Bakoy terkatung-katung karena Pemerintah Aceh Besar tidak melibatkan Pemerintah Aceh untuk memverifikasi penerima 398 unit rumah bantuan tersebut. “Saya pikir, masalah korban tsunami Barak Bakoy telah diupayakan jalan penyelesaian secara bijaksana, ternyata sama sekali tidak demikian,” ujarnya.
Haji Uma meminta Pemerintah Aceh Besar untuk mengupayakan solusi penyelesaian masalah secara bijaksana dan bermartabat dengan memperhatikan rasa keadilan bagi korban tsunami di Barak Bakoy. “Lihat nasib mereka, gunakan hati nurani, mereka bukan binatang. Kita seharusnya malu dengan masyarakat dunia, hampir 13 tahun pasca tsunami masih ada korban yang terkatung-katung sampai hari ini. Padahal, dana rehabilitasi dan rekonstruksi bencana tsunami sangat luar biasa banyaknya.”
Barak Bakoy sendiri pernah beberapa kali ditulis media luar negeri. BBC misalnya, pada 2014 kantor berita ini menyorot soal 64 keluarga yang masih menghuni barak setelah 10 tahun tsunami berlalu.
Semestinya, tidak ada lagi pengungsi korban tsunami di Aceh setelah masa kerja Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias berakhir pada 2009. BRR adalah badan yang diberi mandat membangun kembali dan juga mengelola dana rekonstruksi pasca tsunami 2004.
Saat itu, ada beberapa penghuni yang mengaku dipindahkan dari satu barak ke barak lain karena tidak kunjung mendapatkan rumah bantuan. Laporan itu juga menyebut tentang penghuni barak yang memegang surat bukti sebagai korban tsunami. Dokumen resmi itu ditandatangani oleh kepala desa, camat, pejabat kepolisian dan seorang saksi.[]
Belum ada komentar