Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) meminta pihak kejaksaan untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam indikasi korupsi proyek perencanaan gedung Kanwil Kemenag Aceh.
“Biasanya, kasus yang sudah dilakukan penggeledahan, berarti ada proses pengusutan kasus yang sedang berjalan. Kita berharap, kasus ini jangan sampai tertunggak. Jangan sampai macet. Siapa saja yang terlibat harus dicekal,” kata Koordinator MaTA, Alfian kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (22/4).
Alfian juga meminta kejaksaan mengungkap seluruh nama tersangka yang sudah ditetapkan. Ia mengingatkan Kejari Banda Aceh untuk bersengguh-sungguh menangani kasus korupsi.
“Dalam catatan kita, Kejari Banda Aceh pernah menangani kasus Damkar. Dari kasus ini sudah ada 10 tersangka, tapi sudah setahun lamanya belum ada perkembangan. Ini sudah muncul lagi kasus yang mereka ungkapkan. Jangan sampai mangkrak juga,” beber Alfian.
MaTA berharap, hadirnya kejaksaan harus benar-benar dapat memberi kepastian hukum pada upaya pemberantasan korupsi di Aceh. Tidak hanya menggeledah, kemudian mengendap dan tidak sampai ke pengadilan. ”Menetapkan tersangka kan tidak mungkin seumur hidup. Kita butuh kepastian. Artinya, ada awal dan juga ada akhir. Kita ingin kejaksaan umumkan siapa saja, siapapun, termasuk pimpinan sekalipun, itu juga harus diumumkan. Tidak boleh dirahasiakan, ini kan wilayahnya harus terbuka. Bukan rahasia negara itu,” tegasnya.
Menilik beberapa kasus besar yang ditangani Kejari Banda Aceh, MaTA khawatir kasus Kemenag juga tak akan pernah selesai. Karena itu, perlu peran masyarakat serta media untuk ikut mengawalnya. “Jangan sampai ini didiamkan. Kita semua harus terus mengawalnya,” sebut Alfian.
Alfian menilai, pihak kejaksaan terkesan ragu-ragu dalam menangani kasus itu. Sebab, sejauh ini saja nama para tersangka masih dirahasiakan. “Jaksa tidak punya alasan menolak mempublikasi nama-nama tersebut,” katanya.
Penerapan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016, lanjut dia, tidak bisa digunakan sebagai dalih merahasiakan nama tersangka. “Mereka saya dengar menggunakan Inpres Nomor 1 Tahun 2016, ini kan penegasan kepada kelembagaan Polri dan Kejaksaan soal percepatan proyek pembangunan strategis nasional. Sedangkan pembangunan di Kemenag itu tak termasuk. Kasus ini juga terjadi tahun 2015, sementara Inpres itu 2016,” jelas Alfian.
Inpres tersebut, tegas Alfian, tidak berlaku surut. Karena itu, ia meminta kejaksaan tidak membohongi publik. Ia mengaku mengantongi sejumlah catatan mengenai proyek nasional yang sedang berjalan di Aceh.
“Cuma lima paket di Aceh. Dan, Kemenag tidak termasuk. Jadi, kalau mereka (kejaksaan) juga tidak mempublis, jelas mereka tidak serius untuk mengungkap kasus ini. Dari catatan kami, banyak sekali proses penggeledahan semacam itu tapi tidak ditidaklanjuti lagi,” ujarnya.
Selain itu, MaTA juga mengingatkan bahwa penyimpangan menggunakan mekanisme tender mengindikasikan bahwa korupsi tidak berdiri sendiri, akan tetapi ada arahan dari pihak pimpinan. “Makanya kasus ini perlu dikawal agar aktornya terungkap. Sikat semuanya. Jangan ada yang tinggal. Kalau biasanya dalam kasus pengadaan barang dan jasa itu otomatis Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)-nya pasti kena. Kalau tidak, ya kejaksaan harus bisa memberi klarifikasi nanti kenapa KPA tidak kena. Kita perlu ingat, kasus korupsi seperti ini tak pernah berdiri sendiri,” kata Alfian.
Terakhir, yang mesti juga ditelusuri, kata Alfian, terkait aliran dana. Dalam hal ini, aktor rasuah diketahui pintar bermain sangat ‘abu-abu’, tidak langsung terlibat. “Ini juga perlu diusut, jangan diabaikan. Ini jarang sekali ditelurusuri oleh kejaksaan. Nah, dalam kasus ini (Kemenag) kita berharap, jika ada kerugian negara, pihak kejaksaan bisa menelusurinya, termasuk jika pimpinan menerima aliran dananya. Itu harus diusut. Dia juga terlibat,” imbuhnya.[]
Belum ada komentar