Pergantian General Manager (GM) PLN Aceh selalu dibarengi dengan pemadaman bergilir yang merugikan konsumen.
Wakil Ketua DPRA Teuku Irwan Djohan mengatakan krisis listrik telah menjadi permasalahan akut di Aceh dari masa ke masa. “Kami telah berulang kali memanggil General Manager PLN agar masalah tersebut dapat segera diselesaikan,” katanya.
Di tahun pertama ia menduduki legislator, pihaknya telah memanggil General Manager PLN yang saat itu dijabat Sulaiman Daud. “Berulang kali kami melakukan diskusi untuk menyelesaikan permasalahan listrik Aceh, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Persoalan ini ternyata belum kunjung selesai hingga sekarang,” ungkap politisi NasDem ini.
Saat GM PLN Aceh dijabat Bob Syaril, lanjut dia, DPRA juga memanggilnya karena di saat bersamaan listrik di Aceh dalam kondisi byar pet. “Saat itu saya tanyakan ke beliau (Bob Syaril) apa yang dapat dilakukan Pemerintah Aceh untuk dapat membantu menuntaskan permasalahan listrik di Aceh,” ungkap Irwan.
Belum lama kepemimpinan Bob Syaril berpindah ke tangan Jefri Rosiadi, PLN Aceh berulah lagi. “Ini aneh, pemadaman listrik selalu terjadi di setiap pergantian General Manager PLN Aceh,” katanya.
Dari info yang diperolah pihaknya, kata Irwan Djohan, krisis listrik di Aceh akibat belum adanya kesepakatan proses negosiasi penjualan listrik antara PLTU Nagan Raya dengan pihak PLN. Kabarnya, sejak tahun lalu, PLTU Nagan menjual listrik ke PLN dengan harga Rp700 per kWH. “Kini PLN meminta discount pada PLTU Nagan agar harga per kWH dihitung Rp600. Namun PLTU Nagan Raya menolak permintaan tersebut,” katanya.
Di sisi lain, PLN juga bersikap tertutup dalam urusan kompensasi bagi pelanggan yang merasa dirugikan. Selama ini hanya sebagian kecil masyarakat yang mendapatkan kompensasi atas pemadaman listrik tersebut. “Hak kompensasi bukanlah hal sepele yang dapat diabaikan PLN,” sebut Irwan Djohan.
Ia menjelaskan, hak tersebut telah diatur dalam SK Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor 16 Tahun 2003 yang berisi perintah memberikan kompensasi kepada pelanggan yang mengalami gangguan ataupun kerugian akibat tidak optimalnya kinerja PLN. “Selama ini banyak masyarakat yang tidak tahu akan hal itu. PLN seharusnya jujur dan terbuka dalam hal ini,” lanjutnya.
Menyelesaikan masalah listrik Aceh, DPRA segera menyusun rencana untuk menyambangi Kementrian BUMN. Dewan juga akan melaporkan kondisi listrik Aceh ke Kementrian Energi dan Sumberdaya Daya Migas (ESDM) dan PLN Pusat.
TERANCAM DIGUGAT
Baca: PLN Aceh Habis Gelap, Gelap Lagi…
Sementara itu, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) akan menggugat PLN Aceh atas kerugian yang dialami masyarakat akibat pemadaman listrik. “PLN tidak cukup hanya meminta maaf melalui media massa, pelanggan juga harus mendapatkan kompensasi atas pemadaman listrik,” sebut Ketua YARA Safaruddin.
Ia mencontohkan salah satu perusahaan listrik di Australia yang memberikan kompensasi gratis listrik selama satu bulan bagi warganya yang mengalami pemadaman listrik. Contoh lain, lanjut dia, beberapa perusahaan maskapai penerbangan Indonesia yang sigap memberikan kompensasi kepada para pengguna jasa jika ada kendala tertentu yang terjadi.
“Misalkan kalau ada delay karena kerusakan teknis tertentu, mereka langsung membayar kompensasi kepada para penumpang. Tapi, kenapa PLN tidak melakukan hal itu?” kata Safaruddin kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (4/8/2017).
Menurutnya, pemadaman listrik yang dilakukan PLN selama ini tak jarang menimbulkan kerugian bagi beberapa pegiat usaha yang menggunakan listrik sebagai penunjangnya. “Sekurang-kurangnya, kalau mati lampu mereka harus beli lilin, minyak untuk genset. Belum lagi berimbas pada kerusakan barang elektronik dan menjadi pemicu kebakaran,” beber Safar.
Jika pemadaman listrik masih terjadi di Aceh YARA segera menggugat PLN. “Kami juga akan melaporkan PLN Aceh ke Komisi VI DPR RI,” katanya.
Seharusnya, menurut Safaruddin, Aceh tidak lagi mengalami pemadaman bergilir dengan kesediaan energi listrik saat ini. “Pasokan arus listrik di Aceh sudah surplus. Apalagi PLN juga dibantu oleh beberapa pembangkit listrik yang tersebar di beberapa daerah di Aceh, seprti turbin Arun, PLTU Nagan Raya, Lueng Bata, dan beberapa pembangkit lain yang menyuplai puluhan megawatt arus listrik,” katanya.
Karena itu, lanjut dia, menjadi suatu keanehan kalau sampai sekarang masih terjadi pemadaman bergilir yang merugikan masyarakat Aceh. “Jangan-jangan memang ada permainan dalam persoalan ini,” tandas Safaruddin, tanpa merincikan ‘permainan’ yang ia maksudkan.[]
Belum ada komentar