Menanti Kiprah Parlok Baru

Tgk Muhibbussabri A Wahab, Ketua Umum PD Aceh. Foto Oviyandi Emnur
Tgk Muhibbussabri A Wahab, Ketua Umum PD Aceh. Foto Oviyandi Emnur

Menurunnya tren partai lokal di parlemen semestinya memicu Parlok baru untuk meraih lima puluh persen kursi dewan pada Pileg 2019.

Dua puluh tahun menjadi politisi telah mengajarkan banyak hal bagi Tarmidinsyah Abubakar. Saat duduk di Partai Amanat Nasional (PAN) Aceh, dia turut mengamati perkembangan partai lokal paska lahirnya MoU Helsinki.

Aceh yang mendapat otonomi khusus kemudian melahirkan Undang-undang Pemerintahan Aceh. Dari UUPA itu, Aceh salah satunya berwenang membentuk partai politik lokal sebagai upaya desentralisasi.

“Tapi semakin ke sini semakin jauh dari upaya Aceh mengejar desentralisasi itu. Malah sebaliknya, parnas masih menguasai legislatif dengan kepemimpinan yang sentralistik,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat (24/02/17).

Edo, demikian politisi itu akrab disapa, lantas menjadikan faktor tersebut sebagai salah satu alasan mendirikan partai lokal baru: Partai Gabungan Rakyat Aceh Mandiri disingkat GRAM pada Desember 2016.

Parlok itu lahir saat penetrasi parlok yang sudah ada melemah di parlemen (DPRA). Sejumlah akademisi pun mempertanyakan keinginan Edo ketika membentuk GRAM.

“Bang Edo ini aneh, saat tren parlok menurun, Bang Edo justru bikin parlok baru,” Ketua Umum Partai GRAM itu memeragakan pertanyaan akademisi.

Edo dengan tegas menyatakan, dia tahu betul apa yang diperjuangkannya. Dia ingin mengembalikan marwah rakyat Aceh.

Bukankah meminta otonomi khusus untuk menjadikan Aceh mandiri, tapi faktanya dalam dua kali Pileg pasca MoU Helsinki, suara Parlok di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh belum mencapai 50 persen dari kursi tersedia.

Rakyat Aceh, sebut Edo dalam sebuah pernyataan resmi Partai GRAM, tidak perlu membanggakan diri dalam politik jika semua partai lokal hanya memperoleh kursi DPRA dibawah lima puluh persen.

Baca Juga : Menakar Nasib PA

Dia menambahkan, jika ingin dihargai masyarakat dunia, harus ada beberapa partai politik lokal untuk maju pada pemilu legislatif 2019, sehingga mendapatkan kursi DPRA di atas 50 persen.

“Jika ini terwujud barulah rakyat Aceh bicara hak-hak yang melewati batas konstitusi RI, kita akan lakukan perubahan dari Aceh,” ujar mantan Sekretaris Umum DPW PAN Aceh itu.

Kehadiran parlok baru sangat penting, menurutnya, apalagi Partai Aceh sebagai lokomotif Parlok di Aceh saat ini trennya semakin turun di legislatif.

Dia berharap, jika nanti lahirnya partai lokal baru di Aceh, haruslah menjadi partai politik yang reformis. GRAM menurutnya hadir untuk memberi pilihan baru bagi masyarakat Aceh.

“Jika misalnya PA mewakili eks kombantan GAM dan PDA mewakili suara ulama, kita akan mewakilin elemen masyarakat,” kata putra Lhoksukon itu.

Partai GRAM tak akan mengenakan seragam dengan warna khusus seperti partai lainnya, untuk menghindari kesan parpol sebagai target politik suatu kelompok.

Alumni Fakultas Ekonomi Unsyiah itu menegaskan, “Sekarang sudah modern. Partai tak perlu dijalankan dengan gaya militer. Kita harus mengubah wajah perpolitikan.”

Siapa saja boleh bergabung dengan Partai GRAM, tambahnya. Pihaknya pun sudah mempersiapkan diri menjelang Pileg 2019, setidaknya sudah memiliki pengurus daerah di 15 kab/kota saat didaftarkan ke Kemenkum HAM akhir tahun lalu.

HARUS BERSATU

Baca Juga : Menguak Kelemahan di Tubuh PA

Pada Rabu 28 Desember 2016, Partai Daerah Aceh (PD Aceh) dan Partai GRAM, mendaftar sebagai partai politik lokal baru di Aceh, ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Aceh.

Tgk Muhibbussabri A Wahab, Ketua Umum PD Aceh mengatakan, partai politik lokal harus bersatu dalam menyongsong Pileg 2019.

Dia misalnya menggambarkan, kekalahan pasangan calon yang diusung parlok pada Pilkada 2017, karena antara sesama parlok tak saling mendukung.

Sebagai masyarakat awam dia menggambarkan, Paslon yang diusung Partai Aceh kalah disebabkan oleh strategi politik yang keliru saat kampanye.

Dia mengamati pada Pilkada 2012 dan Pilkada 2017, Paslon usungan PA dalam kampanyenya lebih menonjolkan hegemoni Partai Aceh, bukan sebagai kandidat kepala daerah.

“Pengalaman saya sendiri pada Pilkada 2012, kami serukan ‘Hidup PA’. Trik ini tidak bagus, apalagi jika mereka memiliki partai pendukung lainnya selain PA,” kata Abi Muhib kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (25/02/17).

Seakan-akan, tambahnya, masyarakat Aceh harus memilih yang beratribut merah. Sementara masyarakat Aceh yang cerdas akhirnya tak lagi memberikan suara kepada Paslon yang diusung PA, tapi dialihkan ke kandidat lain yang tak diusung PA.

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Satgas PA Bireuen Dibacok
Taufik menjalani perawatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit setempat. (pikiranmerdeka.com/Joniful Bahri)

Satgas PA Bireuen Dibacok