Perolehan kursi Partai Aceh di parlemen kian menyusut dalam dua pemilihan legislatif terakhir. Banyak kandidat usungan partai lokal berkuasa itu juga bertumbangan dalam Pilkada 2017. Bagaimana nasib PA ke depan?
Kekalahan kandidat Partai Aceh dalam Pilkada 2017 tak terlepas dari faktor internal dan eksternal yang melilit lokomotif partai lokal di Aceh itu. Bahkan konflik itu sudah menyala semenjak 2006, setahun paska perjanjian damai.
Setidaknya hal itulah yang diamati mantan aktivis Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), Taufik Al Mubarak. Pesta Pilkada awal tahun ini menempatkan Irwandi Yusuf sebagai pemenang, bukan Muzakkir Manaf yang diusung Partai Aceh.
Menurutnya, pertarungan Irwandi Yusuf dan Muzakkir Manaf alias Muallem merepresentasikan perseberangan jalan dua kubu eks kombatan GAM; yang disebutnya perseteruan senior dan junior.
“Kalau melihat penyebabnya, kita harus memulai dari tahun 2006,” ujar Taufik Al Mubarak kepada Pikiran Merdeka, Jumat (24/02/17).
Dia menyebut pada Pilkada 2006, Mualem lebih menjaga perasaan senior GAM seperti Malik Mahmud, Muhammad Usman Lampoh Awe, dan Zaini Abdullah, dengan mendukung pasangan Ahmad Humam Hamid-Hasbi Abdullah, alih-alih mendukung Irwandi yang sama-sama dari GAM lapangan.
Irwandi maju dari jalur independen sebagai Cagub Aceh pada 2006 tak lepas dari gagalnya komunikasi politik para elite GAM. Padahal dari MoU Helsinki, GAM nyatakan mengubah haluan perjuangan, dari gerakan bersenjata ke perjuangan politik. Saat itu GAM dihadapkan pada dua hal: momentum Pilkada 2006 dan wacana pendirian partai lokal.
Elite GAM lantas menggelar Duek Pakat Bansa Aceh Ban Sigom Donja di Gedung Dayan Dawood, 20-21 Mei 2006. Forum itu memilih wakil dari GAM maju dalam Pilkada 2006. Dukungan Panglima Wilayah GAM Tgk Nashiruddin bin Ahmed-Muhammad Nazar secara mengejutkan mengungguli jagoan elite GAM dari kalangan tua, Hasbi Abdullah-Ahmad Humam Hamid.
Namun hasil rapat itu tak diterima. Timbul konflik. Hingga satu dari pasangan yang diusung mundur. GAM coba meredaam perpecahan dengan menyatakan tak ikut dalam Pilkada 2006 tapi fokus pembentukan partai politik lokal menghadapi Pemilu Legislatif 2009.
Tak lama, sebut Taufik, di Aceh Jaya, Humam Hamid dan Hasbi Abdullah—adik kandung Zaini Abdullah—dideklarasikan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur dari Partai Persatuan Pembangunan.
Baca Juga: Menanti Kiprah Parlok Baru
Kabar itu membuat para eks Panglima Wilayah GAM dan aktivis SIRA gesit mencari pengganti Tgk Nash. Dipilihlah Irwandi Yusuf yang mewakili GAM di Aceh Monitoring Mission. Setidaknya 15 dari 17 Panglima Wilayah dalam teritorial GAM mendukung Irwand; sisanya menyokong Humam-Hasbi (H2O). Irwandi lantas dideklarasikan sebagai Cagub berpasangan dengan Muhammad Nazar dari Partai SIRA.
“Saya melihat pada Pilkada 2006, eks GAM masih setengah-setengah kembali dalam NKRI, khawatir melanggar sumpah,” cerita blogger politik itu, di sebuah warung kopi.
Menjelang Pilkada selanjutnya, Irwandi Yusuf kembali maju. Besar harapannya, ia diusung Partai Aceh yang sudah diketuai Mualem. Tapi politikus Partai Aceh menolak.
Tak berapa lama, Irwandi mendengar Partai Aceh mengusung Zaini Abdullah–Mualem sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.
Namun sebanyak 20 dari 23 wilayah KPA/PA menolak paket Zaini-Muzakir. Sebagian dari mereka lalu beranjak ke kubu Irwandi dan membuat mereka didepak dari PA.
Perpecahan internal eks kombatan GAM itu bahkan digambarkan sebagai “Pertarungan GAM vs GAM dalam Pilkada Aceh” oleh International Crisis Group, dalam jurnal edisi 15 Juni 2011 berjudul ‘Indonesia: GAM vs GAM in the Aceh Elections’. Jurnal tersebut mengutip sumber salah satunya dari blog Taufik Al Mubarak berjudul ‘Partai Aceh Terbelah’.
Menurutnya, jika mencari kambing hitam di balik kemerosotan PA, tak boleh dipandang sepenuhnya akibat (misal) adanya kepentingan Jakarta. “Tapi harus dilihat sebagai akibat kesalahan kita sendiri,” kata mantan Redpel Harian Aceh ini.
Pun begitu, dia berpandangan, terkikisnya suara PA di parlemen dalam dua pileg terakhir dan kekalahan mayoritas kandidat usungan PA pada Pilkada 2017, tak lantas membuat kader PA kembali menciut di Pileg 2019.
Bisa jadi akumulasi kekalahan itu menjadi bahan evaluasi bagi Partai Aceh ke depan. Misal, sebutnya, Partai Aceh tak lagi menggunakan strategi yang disebutnya “Kampanye Maop” seperti selama ini: merah di mana-mana.
Baca Juga: Menguak Kelemahan di Tubuh PA
“Menurut saya, Partai Aceh bisa saja memperoleh suara lebih banyak nanti atau malah sebaliknya,” sambung pria Pidie yang pernah maju sebagai Caleg Hanura pada Pileg 2014 itu.
PA BELUM MATI
Saifuddin Bantasyam, akademisi Fakultas Hukum Unsyiah yang kerap memberikan padangan politik Aceh, pun melihat, masa depan Partai Aceh tidaklah suram meski Gubernur Aceh 2017–2022 bukan usungan mereka.
Kini masa depan PA berada di tangan internal mereka sendiri, termasuk kader-kader yang masih duduk di parlemen hingga masuknya masa Pileg 2019.
Pada pemilihan anggota legislatif nanti, sebutnya, Partai Aceh bisa saja bangkit dan menjadi lokomotif parlok untuk meraih 50 persen kursi di DPRA atau kabupaten/kota.
“Mereka bisa memperbaikinya jika mau belajar pada Pileg 2014, tapi saya tidak tahu apakah PA akan mengambil pelajaran. Jika tidak, mereka bisa saja kembali kehilangan kursi,” jelasnya kepada Pikiran Merdeka, akhir pekan lalu.
Saifuddin mencatat tiga hal penting bagi PA yang harus diperhatikan betul jika ingin lebih baik ke depan.
Pertama dia menyebut pengkaderan. “Apakah sudah siapkan caleg untuk Pileg 2019 atau masih mengandalkan wajah lama? Jika ada peningkatan kapasitas kader, mungkin hasilnya akan lebih bagus.”
Strategi kampanye menjadi hal penting selanjutnya bagi PA. Jika parlok ini masih mengumbar slogan “MoU Helsinki”, “Jakarta tak becus” atau “UUPA harga mati” dalam kampanyenya, prediksi Saifuddin, kursi PA akan kembali menyusut. Melainkan haruslah mengakomodir kepentingan rakyat Aceh secara umum, bukan kepentingan kelompok tertentu.
Ketiga, sebutnya, Partai Aceh harus membangun hubungan harmonis antara legislatif dengan eksekutif.
Sejatinya sistem Pilkada dan Pileg yang tak serentak, urai Saifuddin, membuka peluang cukup besar bagi Partai Aceh.
Sepanjang 2017–2019, anggota legislatif dari Partai Aceh baik di DPRA maupun DPRK, harus memanfaatkannya untuk mengangkat isu aspiratif, bukan mengedepankan kepentingan kelompoknya saja.
“Apa yang bisa dilakukan PA di parleman selanjutnya, apakah membangun komunikasi yang baik atau terus mementingkan ego partai. Tapi masalahnya sekarang sedikit pelik,” ujarnya.
Kini Irwandi Yusuf–Nova Iriansyah akan memimpin Aceh di mana DPRA masih terkait dengan kebijakan kepala daerah sebelumnya. Pasangan baru ini harus lebih dulu mengerjakan PR dari pemimpin sebelumnya.
Tak hanya di level provinsi, di tingkat dua pun, kader PA yang menduduki parlemen harus membangun komunikasi dengan eksekutif baru.
Dia misalnya menyebut di Kabupaten Pidie. Pasangan bupati/wakil bupati terpilih bukanlah kandidat usungan PA, sementara di DPRK Pidie saat ini mayoritas diisii legislatif dari PA.
“Jika kader PA mampu mengubah tiga hal itu, saya yakin mereka pasti akan lebih baik di Pileg nanti,” tandas pengajar mata kuliah Hukum dan Masyarakat, Sosiologi, Antropoligi Fakultas Hukum Unsyiah itu.[]
Belum ada komentar