Pembangunan gedung Madani Center menyisakan banyak masalah. BPK menemukan kerugian negara Rp1,6 miliar dalam proyek itu.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh merilis sebuah temuan berkaitan dengan Belanja Modal Pemerintah Kota Banda Aceh Tahun Anggaran 2015 dan 2016. Dalam laporan tersebut ditemukan adanya kerugian keuangan negara pada proyek pembangunan gedung Banda Aceh Madani Education Center (BMEC) tahap II mencapai Rp1,6 miliar.
“Pemkot Banda Aceh melaksanakan kegiatan belanja modal tahun anggaran 2015 dan 2016 sampai dengan Oktober, tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya serta syarat-syarat umum kontrak,” tulis BPK dalam temuannya.
Adapun temuan yang dimaksud adalah penambahan item sewa scaffolding sebesar Rp1,6 miliar yang tidak sesuai dengan ketentuan. Selain itu terdapat kelebihan pembayaran untuk pekerjaan bekisting sebesar Rp202 juta.
Dalam rincinya, BPK menilai persetujuan menambah item baru berupa penyewaan scaffolding itu tidak memenuhi kriteria sebagaimana mekanisme perubahan kontrak. Hal itu merujuk pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang menyatakan perubahan yang dapat dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bersama penyedia barang/jasa dalam kotrak, meliputi tambah kurang volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak, dalam arti mengurangi volume satu pekerjaan namun menambah volume pekerjaan lain. “Sehingga nilai aset yang diterima adalah sama,” terangnya.
Selain itu, perubahan kontrak juga meliputi tambah kurang jenis pekerjaan, mengubah spesifikasi teknis pekerjaan dengan kebutuhan lapangan, serta mengubah jadwal pelaksanaan. “Sedangkan dalam hal ini, biaya sewa scaffolding sebesar Rp1,6 miliar yang digunakan sebagai alat/pendukung pekerjaan lantai, otomatis mengurangi nilai aset yang seharusnya diterima,” papar BPK.
BPK menyebutkan, biaya sewa scaffolding seharusnya menjadi kewajiban penyedia jasa untuk menyediakannya, tanpa harus membebankan biaya tambahan kepada APBK agar output tersebut dapat dilaksanakan.
Sewa scaffolding, berdasarkan keterangan PPTK dan penyedia jasa, sebenarnya merupakan item pekerjaan sebagai alat bantu pendukung pekerjaan plat lantai, yang semula telah ada dalam dokumen pengadaan dan kontrak awal. Namun, berdasarkan analisa BPK terhadap dokumen kontrak awal, komponen yang termasuk dalam pekerjaan plat lantai hanya mencantumkan pekerjaan beton, besi dan bekisting. “Tidak terdapat item sewa scaffolding,” lanjut BPK.
Pihak PPK saat diwawancarai tim BPK menjelaskan, mereka menyetujui penambahan item ini atas beberapa pertimbangan. Saat itu PPK sempat khawatir pihak penyedia jasa akan meninggalkan pekerjaan tersebut jika tidak diberikan penambahan sewa scaffolding.
Sementara berdasarkan keterangan PT Bumi Ayu Kencana (BAK) dalam berita acara pemeriksaan fisik, mereka mengakui adanya ketidakcermatan saat menawarkan pekerjaan lantai atap level +15.00, sehingga mereka menambahkan item sewa scaffolding.
Baca: Lahan Gedung BMEC, Antara Pemerintah Aceh Vs Pemko Banda Aceh
Hasil pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan, shop drawing yang dibuat dari Detailed Engineering Design yang merupakan bagian dari dokumen pangadaan, ketinggian lantai atap tersebut diketahui berada di level +15.45 meter dari lantai 1. “Hal ini seharusnya sudah menjadi perhatian dari penyedia jasa saat memasukkan penawaran,” papar BPK.
Persoalan berikutnya yaitu kelebihan pembayaran atas kesalahan hitung pekerjaan bekisting pada pekerjaan kolom sebesar Rp202 juta. Berdasarkan keterangan penyedia jasa dan konsultan pengawas, BPK mendapati bahwa penggunaan bekisting pada pembuatan kolom di lapangan digunakan sebanyak dua kali untuk tiap bekistingnya.
“Namun berdasarkan back-up data, volume bekisting yang digunakan dan ditagihkan ke pengguna jasa adalah sebanyak satu kali pemakaian, sehingga memperbesar volume bekisting untuk kolom dua kali lipat dari volume pemakaian sebenarnya,” ungkap BPK.
Atas temuan ini, BPK menyimpulkan bahwa Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Banda Aceh tidak cermat dalam menyetujui item sewa scaffolding yang tidak sesuai dengan kriteria sebagaimana dipersyaratkan untuk perubahan kontrak. “Dan rekanan pelaksana telah melanggar ketentuan dalam kontrak, karena mengusulkan penambahan item scaffolding yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya,” sambung BPK.
Sebagai upaya tindak lanjut, BPK merekomendasikan kepada Walikota Banda Aceh untuk meminta Kadis PU mempertanggungjawabkan indikasi kerugian negara sebesar Rp1,6 miliar atas biaya sewa scaffolding. Sedangkan mengenai kesalahan perhitungan volume bekisting, BPK meminta Dinas PU agar memerintahkan PT BAK segera mengembalikan biaya sebesar Rp202 juta ke kas daerah.
Sementara itu, Plt Walikota Banda Aceh Hasanuddin Ishak menyatakan telah mengerahkan jajaran inspektorat berkordinasi dengan Dinas PU untuk menelisik secara detail mengenai temuan BPK tersebut. Namun bagaimana kelanjutannya, ia mengaku belum menerima laporan.
“Setiap temuan itu harus ditindaklanjuti. Tindak lanjutnya ada bermacam cara. Ada yang cukup dengan administrasi, ada juga yang harus disetor. Inspektorat telah menanganinya dengan BPK, langkah apa yang diambil, itu saya belum tahu,” kata Hasanuddin kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
SUDAH TUNTAS
Adapun Kepala Dinas PU Banda Aceh Samsul Bahri mengaku telah menyelesaikan segala persoalan berkaitan dengan hal itu. Ia menjelaskan, temuan BPK tersebut telah selesai ditindaklanjuti jauh-jauh hari sebelum pergantian kepala BPK RI Perwakilan Aceh. Hal itu termasuk pengembalian kerugian negara sebesar Rp 1,6 miliar.
Baca: Lahan Gedung BMEC, Antara Pemerintah Aceh Vs Pemko Banda Aceh
“Kami jauh-jauh hari sudah berkordinasi dengan BPK agar tidak terjadi penyimpangan dalam tahapan pembangunan gedung Madani Center,” kata Samsul saat dikonfirmasi melalui telepon, Sabtu lalu.
Untuk diketahui, pemerintah kota Banda Aceh pada tahun anggaran 2016 menggunakan belanja modal sebesar Rp272 miliar, dan merealisasikannya sebesar Rp139 miliar atau 51 persen dari anggaran tersebut. Adapun realisasi dari belanja modal itu sebagian digunakan untuk pembangunan gedung Madani Center tahap II. Hal itu menyusul selesainya pembangunan struktur bawah (pondasi) gedung tersebut pada tahap I tahun 2015 lalu.
Situs resmi Dinas PU Banda Aceh menuliskan, “Total dana yang dibutuhkan untuk keseluruhan Pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Banda Aceh Madani Education Center) ini adalah Rp823.498.478.000.” Dalam publikasi itu, Pemerintah Kota Banda Aceh juga mengungkapkan, Gedung BMEC akan meliputi Convention Center dengan kapasitas 4000 orang, pusat pelatihan dan penginapan, terutama diperuntukkan bagi peneliti dan peserta pelatihan, serta untuk umum dan rumah sakit bertaraf international.
Namun di balik itu, pembangunan gedung yang disebut-sebut sebagai proyek monumental Pemko Banda Aceh ini menguak sejumlah persoalan. Selain temuan BPK, berdasarkan informasi yang dihimpun Pikiran Merdeka, diketahui lahan pembangunan BMEC juga masih menyisakan sengketa kepemilikan antara Pemkot Banda Aceh dengan Pemerintah Aceh. Kabarnya, tanah seluas 7 hektar itu masih tercatat sebagai aset Dinas Pendidikan Aceh.
Pada masa kepemimpinan Walikota Banda Aceh dijabat Mawardi Nurdin, tercapai semacam kesepakatan pemakaian lahan bekas SMK 1 itu dengan pemberian kompensasi sebesar Rp50 miliar oleh Pemko Banda Aceh ke Pemerintah Aceh. Namun, sampai Gedung BMEC didirikan pada masa kepemimpinan Walikota beralih ke Iliza Sa’aduddin Jamal, komitmen untuk pelunasan kompensaasi itu tak kunjung tuntas. Bahkan pernah ada upaya penyelesaian dari kedua pihak, namun tak mencapai satu kesepakatan.[]
Belum ada komentar