Masa Kampanye Sebatas Pengerahan Massa Pendukung?

Abu Tumin dukung Irwandi Yusuf (Foto UP)
Abu Tumin dukung Irwandi Yusuf (Foto UP)

Masa kampanye yang ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sudah dimulai sejak 26 Oktober 2016. Selama hampir tiga bulan berlalu, pola kampanye yang dilakukan dari masing-masing kandidat hampir seragam. Antara lain masih melakukan mobilisasi massa di setiap kampanye terbuka dengan membayar semua kebutuhan mereka.

Dalam berbagai kesempatan, setiap calon kandidat Gubernur Aceh yang bertarung di Pilakda Aceh diyakini melakukan mobilisasi massa besar-besaran hanya untuk menunjukkan kekuatannya. Sebut saja Rapat Akbar Tarmizi Karim-Machsalmina 1 Oktober 2016 lalu. Hal sama terjadi pada kampanye Muzakir Manaf di Lapangan Keunire, Pidie, dan di Lapangan Landing, Lhoksukon. Terakhir, kampanye akbar Irwandi-Nova di Lapangan Blang Asan, Kecamatan Peusangan, Bireuen.

Rizkika Lhena Darwin, Survey Manager Aceh Institute menyebutkan, kesempatan kampanye tidak digunakan sebagai ajang pengenalan visi misi maupun program. Menurut dia, kampanye kerap digunakan sebagai ajang mempertontonkan ekskulifitas diri dan kelompok dengan menekankan hal negatif diri kandidat lain. “Dalam hal ini, ada misi edukasi politik yang hilang bagi masyarakat,” ujar Rizkika, Sabtu, 21 Januari 2017.

Dalam beberapa kampanye yang diamatinya, lanjut Rizkika, masih ada jarak yang cukup terlihat antara kandidat dan massa pendukung. “Misalnya pada beberapa kampanye, mayoritas massa lebih memadati jalan dibandingkan memadati lapangan(dekat podium).”

“Kampanye juga menjadi ajang memperlihatkan dukungan antar kandidat,” sebut dia lagi.

Amatan pihaknya, kata dia, beberapa kandidat belum menunjukkan visi misi real yang meyakinkan masyarakat dari segi programatik atau ideologis. Antusias massa mengamati kampanye juga dinilai tidak terlalu fokus, kecuali karena beberapa kampanye didukung oleh beberapa faktor lain semisal kehadiran artis penghibur.

Rizkika menuturkan, mencerdaskan masyarakat lewat kampanye cerdas adalah bagian mewujudkan proses keterpilihan pemimpin yang berkualitas. “Sebenarnya masyarakat tidak membutuhkan (pola) kampanye seperti sekarang ini, kecuali masyarakat yang sudah putus asa terhadap demokrasi elektoral,” bebernya.

Senada dikatakan pengamat politik dari Universitas Syiah Kuala, Effendi Hasan. Dia menilai, pola kampanye selama ini masih menerapkan pola-pola lama. “Dalam setiap Pilkada di Aceh, kampanye yang dilakukan lebih terkesan sebagai ajang untuk menunjukkan kekuatan kepada lawan politik,” katanya.

Disebutkannya, mobilisasi sebanyak mungkin masyarakat untuk datang ke lokasi kampaye terus dilakukan dengan berbagai cara. “Bahkan dengan membayar kendaraan yang akan membawa masyarakat, termasuk mobilisasi dari kabupaten lain,” kata, Sabtu pekan lalu.

“Tentu pola-pola seperti ini tidak sesuai dari tujuan kampaye itu sendiri untuk pencerdasan politik bagi masyarakat,” sambung Efendi Hassan.

Baca: Pergeseran Dukungan Untungkan Kubu Irwandi

Menurut Effendi, tujuan dari kampanye terbuka sejatinya merupakan media untuk menyampaikan segala program kerja ke depan kepada masyarakat, sehingga dapat menilai apakah calon tersebut layak untuk diberi amanah memimpin Aceh.

“Bila itu dilakukan, kampaye tersebut benar-benar memberi pencerdasan bagi masyarakat dalam memilih pemimpinnya,” terang Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Politik Unsyiah ini.

Dalam fenomena politik di indonesia selama ini, terutama dalam setiap menjelang Pemilu partisipasi masyarakat sebagai pemilih lebih banyak dilakukan dengan cara-cara mobilisasi. Hal ini pun terjadi di Aceh. “Sangat jarang kita lihat masyarakat datang dengan kesadaran sendiri ke lokasi kampanye. Walaupun ada, sangat sedikit. Apalagi selama kesadaran politik lebih banyak dibentuk secara prakmatis,” katanya.

Kondisi tersebut menunjukkan kalangan elit selama ini telah gagal dalam membangkitkan kesadaran politik masyarakat. “Jadi, model kampanye yang dipraktikkan selama ini tidak menjadi indikator mutlak sebagai dukungan masyarakat terhadap calon-calon tertentu. Bisa saja yang datang ke arena kampanye masyarakat yang sama untuk calon yang berbeda,” katanya.

Efendi Hassan menuturkan, pola kampanye setiap calon gubernur maupun bupati/walikota di Aceh belum dapat dikatakan telah memenuhi subtansi pencerdasan politik bagi masyarakat. “Bisa saya katakan hanya sebagai ajang tunjuk kekuatan, sehingga setelah kampanye banyak terjadi kejadian-kejadian seperti bentrokan antara pendukung, perusakan baliho calon dan lain-lain,” tegas Effendi.

Penyebanya, menurut dia, karena subtansi kampanye telah menyimpang dari tujuan sebenarnya. Sehingga, masyarakat tidak mendapatkan pendidikan politik dari setiap kampanye yang dihadirinya.

Padahal, kata Effendi, yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam setiap ajang kampanye adalah mampu menyampaikan visi dan misi serta program kerja yang akan ditawarkan kepada masyarakat. “Dalam istilah marketing politik, ini momen untuk menjual produk sehingga masyarakat sebagai pembeli tertarik untuk membeli produk yang ditawarkan itu.”

Semenatara itu, ia menyayangkan jika kampanye sudah digunakan sebagai ajang untuk saling hujat. “Kalau ada calon yang mengunakan kampanye untuk menghujat, memfitnah dan menjatuhkan lawan, itu perlu keberanian dari penyelenggara Pilkada untuk menghentikannya. Penyelenggara Pemilu harus memberi sanksi kepada setiap calon yang menyalahi aturan kampanye,” harapnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Dua Jalan Lintas Nasional di Gayo Lues Putus Total
Salah satu titik jalan yang putus total di daerah Kendawi Kecamatan Blangkejeren, Kamis (22/10/15) | Pikiran Merdeka/Anuar Syahadat

Dua Jalan Lintas Nasional di Gayo Lues Putus Total