Menyingkap Tabir Kematian Murtalamuddin

Menyingkap Tabir Kematian Murtalamuddin
Menyingkap Tabir Kematian Murtalamuddin. (FOTO IST/YARA)

Dari ujung telepon suara Faridah terdengar terisak-isak, Jumat pekan lalu. Ia tak kuasa menahan tangis. “Saya bukan tak terima ajal suami saya. Tetapi perlakuan orang itu yang diduga telah memperlakukan suami saya dengan cara yang tidak pantas,” ujarnya.

Faridah, 38 tahun, adalah istri Murtalamuddin, warga Matang Kumbang, Kecamatan Baktia, Aceh Utara, yang ditemukan meninggal dunia pada Selasa, 25 Oktober 2016.
Jenazah Murtalamuddin ditemukan dua penambang pasir di dekat jembatan Arakundo, Gampong Tok Blang, Kecamatan Julok, Aceh Timur. Saat ditemukan, jasad pria 43 tahun itu berbalut celana coklat tua dan kaos coklat. Mukanya agak bengkak. Ambulans dari Puskemas Julok kemudian membawa jenazah itu ke Rumah Sakit Graha Bunda Idi Rayeuk untuk divisum.

Faridah menduga, suaminya dianiaya polisi. “Maunya, sehabis dianiaya dikembalikan (jasadnya) ke rumah kami atau ke rumah sakit,” ujar Faridah. Ia tak menduga suaminya terlalu cepat pergi meninggalkan dirinya dan tiga anak mereka yang masih kecil.

Padahal, pada Sabtu 22 Oktober 2016, Faridah tak memiliki firasat aneh. Kondisi Murtalamuddin juga sehat. Siang itu, sekira pukul 14.00 WIB, suaminya sempat berkali-kali meminta izin kepadanya. Tak lama setelah itu, Murtalamuddin meninggalkan rumah menggunakan Honda Jazz bernomor polisi BK 1369 QU.

“Dek, saya pergi sebentar, ya,” ujar Faridah meniru perkataan suaminya. Namun, Muratalamuddin tidak mengatakan tujuan keberangkatannya.
Meski tidak memiliki firasat buruk, Faridah mengaku sempat terlibat pembicaraan yang tidak biasa dengan suaminya. Ia bahkan ditanyakan suaminya dengan pertanyaan yang belum pernah didengar sebelumnya, selama 18 tahun usia pernikahan mereka.

“Dek, seandainya saya mengalami kecelakaan dalam suatu perjalanan suatu hari nanti, apa kamu bakal tahu wajah saya,” aku Faridah meniru pertanyaan suaminya kala itu.
Gelagat lain dirasakannya, saat putra bungsunya—yang baru memasuki umur satu tahun—terus merengek memanggil ayahnya sejak Faridah kehilangan kontak dengan suaminya.

“Dia sempat tarik-tarik badan saya. Rambut saya juga sempat dijambak-jambak. Namun saya tidak menaruh curiga apapun saat itu,” kisahnya.

Namun, sejam setelah keberangkatan Murtalamuddin, Faridah tiba-tiba ingin menelepon suaminya. Sayangnya, berkali-kali dihubungi, telepon Murtalamuddin tak ada yang menjawab. Ia tak merasa putus asa. Pada Minggu (23/10/2016), ia terus mencari keberadaan Murtalaluddin kepada seluruh keluarga dan kerabatnya.

Usahanya tak sampai di situ saja. Keesokan harinya ia mendatangi pekerja tambak—milik mendiang suaminya—untuk menanyakan keberadaan suaminya sembari terus menelpon ke nomornya. Namun, hasilnya masih saja nihil.

Pagi Selasa (25/10/2016) sekira pukul 11.00 WIB, ia didatangi adik almarhum, Zainal Abidin, yang juga bermaksud mencari keberadaan pria tiga anak itu. “Saya bilang, saya tidak tahu keberadaannya. Padahal sudah saya cari hingga ke tambak,” ujar Faridah.

Tak berselang lama setelah Zainal menanyakan perihal tersebut, tiba-tiba Zainal ditelepon salah seorang rekannya yang menginformasikan penemuan manyat di Krueng Arakundo. Mengetahui hal itu, Faridah langsung menebak bahwa manyat itu adalah suaminya.

“Spontan tubuh saya lemah lunglai. Tidak tau harus buat apa. Saya harus dipapah oleh beberapa keluarga yang saat itu berada di rumah saya,” aku Faridah. Ia kembali tersedu.
Setelah itu, Faridah juga menerima kabar dari kepala desa setempat jika suaminya telah meninggal. Ia diminta menjemput jenazah Murtalamuddin di Rumah Sakit Graha Bunda.Kematian Murtalamuddin benar-benar membuat istri—yang sudah membina hubungan selama belasan tahun tersebut—dan kerabatnya sangat terpukul. Lebih-lebih yang dirasakan tiga anak almarhum, masing-masing berusia 17 tahun, 11 tahun, dan satu tahun.

Menurut Faridah, Murtalamuddin adalah pria yang baik dalam kesehariannya. Ia bahkan pernah menjabat geusyiek di gampong mereka menetap selama dua periode berturut-turut. Namun, akhir-akhir ini Murtalamuddin lebih memilih memfokuskan diri pada pekerjaan.

“Sesekali ia bertani di sawah. Tapi seringnya dia mengelola tambak,” kenang Faridah.

DARAH DI MOBIL

Beberapa hari usai almarhum dikebumikan, keluarga mendatangi Polres Aceh Timur untuk mengambil mobil milik korban. Saat itu, lagi-lagi keluarga menemukan kejanggalan. Kaca depan mobil yang berpapasan dengan bangku kemudi pecah. Kondisi dalam mobil acak-acakan.

Selain itu, terdapat bercak darah di bagian kiri bangku tengah. “Bekas darah juga kami temukan di bagian pintu belakang mobil,” cerita Faridah.

Namun, kala itu keluarga lebih memilih bungkam karena masih dalam suasana berkabung. Pihak keluarga lebih memilih membawa pulang mobil milik almarhum tersebut.

Sebelumnya, adik almarhum, Zainal Abidin yang ditemani pihak keluarga juga sempat singgah ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Zubir Mahmud untuk mengecek kebenaran terkait isu korban sempat dibawa ke rumah sakit oleh beberapa anggota polisi sebelum akhirnya ditemukan menjadi manyat di sekitar sungai Arakundo.

“Setelah dicek ke pihak rumah sakit, ternyata memang benar ada rekam medis yang berisi nama suami saya. Saat itu, adik ipar saya langsung melunasi iuran perawatan sesuai dengan yang tertera di kertas tersebut,” pungkas Farida.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait