Konversi Gegabah, Rawan Krisis Likuiditas

Bank Aceh makin identik dengan peternak uang. Andalkan kredit konsumtif, bunga SBI dan bunga deposito di bank lain.
Bank Aceh, Bank Peternak Uang.

Setelah berganti kulit ke syariah, Bank Aceh dinilai rawan krisis likuiditas. Nasabah belum sepenuhnya yakin bank ini bisa bertahan di tengah melemahnya pertumbuhan perbankan syariah tanah air.

Bank Aceh resmi berubah dari sistemnya dari konvensional menjadi syariah pada 19 September 2016, setelah mengantongi izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keberanian Bank Aceh itu membawa angin segar pada bisnis perbankan syariah tanah air. Bank beromzet Rp20 triliun ini membuat pangsa pasar perbankan syariah ‘pecah telor’. Pangsa pasar perbankan syariah menembus angka 5 persen, dari sebelumnya 4,81 persen.

Tak hanya itu, bank yang telah mengantongi dana pihak ketiga sebesar Rp16,5 triliun dan menyalurkan pembiayaan Rp12,1 triliun ini juga mendongkrak aset bank syariah di Indonesia, dari Rp272,6 triliun melesat ke angka Rp305,5 triliun.

Sebelum Bank Aceh masuk, aset perbankan syariah tak pernah menembus angka 5 persen dari total penbankan nasioanal. Hal ini menjadi angin segar bagi perkonomian nasional.  “Kalau total aset perbankan nasional yang sebesar Rp6,405 triliun dibagi dengan aset perbankan syariah, angka (pangsa pasarnya) didapat 5,16 persen-5,3 persen,” kata Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Mulya E Siregar, di Jakarta, Selasa 27 September 2016.

Namun, perubahan Bank Aceh menjadi sistem syariah dinilai masih meninggalkan cela. Masalah besar masih mengancam bank milik rakyat Aceh ini. Di antranya, berpotensi penarikan besar-besaran yang tidak diantisipasi dengan aturan hukum dalam bentuk qanun.

Sumber Pikiran Merdeka di internal Bank Aceh mengatakan pihak manajemen bank masih was-was bila terjadi rush atau penarikan tunai secara besar-besaran di luar perkiraan. Hal itu, kata dia, karena nasabah penyimpan dana mengkhawatirkan bank itu akan ditutup.

Mennurut dia, kekhawatiran itu didasari kondisi lemahnya perbankan syariah. Bisa saja tutupnya sejumlah kantor cabang bank syariah bisa berimbas pada Bank Aceh Syariah. “Tidak ada qanun penanggung jawab yang mengatur ketika terjadi krisis liquiditas, gubernur sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP) dapat mengucurkan dana talangan,” ujaranya, Kamis, dua pekan lalu.

Sumber ini menjelaskan, surat pernyataaan jaminan menanggulangi jika krisis modal dan krisis likuiditas yang diteken Gubernur Aceh seperti yang diminta OJK diberikan tanpa sepengetahuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Meskipun syarat tersebut tak diminta OJK, namun berdasrakan aturan pemerintah daerah, gubernur tak bisa mengucurkan uang dengan serta merta meskipun bank sedang terjadi krisis. Gubernur mesti meminta persetujuan DPRA.

Baca: Bank Aceh Syariah Setengah Hati

“Untuk spin off saja dulu kita ada qanun. Tapi ketika spin off dicabut tak ada qanun pengganti, padahal resiko ini lebih besar. Selain itu, hingga kini belum ada qanun yang mengatur jaminan gubernur untuk menanggulangi bila terjadi krisis likuiditas,” katanya.

Merujuk kepada Surat Edaran Gubernur BI kepada seluruh bank konvensional di Indonesia No 11/24/DPbS, perihal perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum syariah disebutkan dalam hal calon pemegang saham, adalah pemerintah pusat atau pemerintah daerah, maka harus dilampiri berbagai dokumen.

“Di antaranya, dalam hal pemegang saham pemerintah sebagai PSP harus dilampiri dokumen berupa surat pernyataan bersedia untuk mengatasi kesulitan likuiditas Bank Umum Syariah yang ditandatangani oleh pejabat yang mewakili pemerintah,” katanya.

Gubernur dinilai terlalu ceroboh karena menyerahkan surat tersebut harusnya tanpa sepengetahuan DPRA. “Seharusnya, gubernur memiliki mandat yang diberikan oleh DPRA. Maka dibutuhkan qanun yang mengatur hal tersbut,” sambung dia.

Dikutip dari Majalah Info Bank terkait rating 118 bank di Indonesia yang dipublikasi pada 2015, kondisi keuangan bank syariah cukup memprihatinkan. Hanya tiga bank yang masuk kategori sangat bagus, empat dalam kondisi keuangan yang bagus dan lima lagi dengan kondisi kurang bagus. Hal ini berbanding terbalik dengan mayoritas bank konvensional bersatatus sangat bagus.

Sementara itu, sejak Juli 2014 hingga saat ini, kantor Bank Syariah dan kantor Unit Usaha Syariah (UUS) menyusut sebanyak 305 kantor. Di Aceh sendiri, beberapa waktu lalu, Bank Mega Syariah di Jalan Teuku Umar dan Bank Mandiri Syariah di Lambaro juga harus ditutup.

Sumber lain di internal Bank Aceh ini memberi pengakuan lebih berani. Ia berani mengklaim sejak awal para pegawai tak sepakat Bank Aceh beralih ke sistem syariah. Bukannya tak setuju berprinsip syariah, namun mengingat resiko dan lemahnya antisipasi pemerintah membuat mereka meminta bank ini tak terburu-buru menjadi syariah.

Menurut sumber ini, mesktinya unit syariah dibesarkan terlebih dahulu sebelum dikonversi seluruhnya. “Kalau bank syariah sudah cukup kuat, maka akan memberi jaminan Bank Aceh Syaiah tak akan ditinggalkan oleh para nasabah,” katanya.

Karena itu, lanjut dia, 90 persen pegawai Bank Aceh tak setuju menjadi syariah karena mereka mengakuinya ini adalah syariah abal-abal.

Direktur Bank Aceh Syariah Busra Abdullah yang dikonfonformasi Pikiran Merdeka mengaku sedang melaksanakan tugas di luar daerah. “Maaf dek, saya berangkat besok pagi. Minggu depan ya, Kamis dan Jumat minggu ini saya ada dinas di luar daerah. Konfirmasi juga dengan Humas Bank Aceh agar bisa kita ambil waktu yang lebih tepat, terima kasih,” tulis Busra Abdullah dalam pesan WhatsApp-nya, Selasa, 8 November 2016.

Sementara Humas Bank Aceh Amal Hasan yang dikonformasi mengaku sedang berada di Jakarta. Ia berjanji akan melihat schedule untuk bisa diwawancarai.

Di sisi lain, anggota komisi III DPRA Yunardi Natsir mengatakan tak mengetahui adanya surat jaminan yang diserahkan gubernur kepada OJK. “Soal surat dukungan maupun jaminan itu, saya kurang paham, karena kewenangan gubernur sebagai PSP,” ujarnya, Sabtu pekan lalu.

Politisi NasDem ini mengatakan pihaknya di Komisi III sudah berkonsultasi dengan berbagai akademisi dan praktisi hukum seperti M Jafar dan Mawardi Ismail soal pengalihan status bank Aceh. Menurutnya, kini tak ada masalah lagi soal peralihan Bank Aceh Syariah. Alasannya, sistem perbankan diatur secara nasional oleh Bank Indonesia sehingga saat Bank Aceh menjadi syariah, tak perlu lagi adanya qanun pengganti.

Saat ditanyai bila terjadi krisis likuiditas,Yunardi menolak berkomentar. Dia berjanji akan mempelajari masalah tersebut. Termasuk kewenangan Gubernur Aceh yang dapat memberikan dana talangan bila terjadi krisis likuiditas.

Ia mengamini bahwa gubernur harus meminta persetujuan DPRA sebelum bertindak memberi dana talangan kepada Bank Aceh Syariah bila sewaktu-waktudiperlukan. “Saya kurang paham soal ini, tapi nanti kami akan mengkajinya lagi,” pungkas Yunardi.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait