Pinjaman Luar Negeri, Pemerintah Aceh Langgar Aturan

Proyek Rente Abu Doto
Proyek Rente Abu Doto

Selain membebani rakyat, Pemerintah Aceh dinilai melanggar aturan terkait rencana pinjaman luar negeri.

Pengamat Hukum Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail menyangkannya kebijakan pinjaman luar negeri Pemerintah Aceh. Apalagi mengutang di saat Aceh sedang kaya dan punya anggaran sendiri untuk membangun rumah sakit.

Mawardi menjelaskan, pengeloalaan keungan Aceh dalam peminjaman uang ke luar negeri telah diatur dalam Qanun Keuangan Aceh. Anehnya, kata dia, Pemerintah Aceh tiba-tiba melanggarnya. “Aturan peminjaman uang ini tidak berazaskan kepada keislaman, kita sudah ada syariat Islam dan sudah mengadopsi sistem ekonomi syariah,” ujar Mawardi, Jumat, 4 November 2016.

Hak peminjaman Aceh, lanjut dia, diatur dalam Qanun No.10/2014. “Aceh hanya boleh menggunakan pinjaman yang diatur sesuai Syariat Islam. Namun, bicara soal riba lebih tepatnya MPU yang berbicara. Yang penting lagi jangan ke masyarakat saja diajarkan syariat Islam, tapi pemimpin juga harus diajarkannya,” ungkap mantan Dekan Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Lebih konyol lagi, kata Mawardi, pinjaman dilakukan saat keuangan Aceh masih kuat dan membayarkan ketika kondisi keuangan sudah melemah. “Di tahun 2027,  dana Otsus 0 persen, sehingga ini sangat fatal. Sementara di tahun 2022 kemampuan Otsus Aceh hanya tinggal 2 persen lagi,” katanya.

Ia menyebutkan, yang memberatkan bukan gubernur terpilih  sekarang ini karena hanya membayar suku bungan. “Namun yang membayar itu gubernur terpilih tahun 2022 hinggan tahun 2036 yang akan membayar utang luar negeri itu,” tambahnya.

Senada dikatakan pengamat ekonomi dari Unsyiah, Syukriy Abdulllah. Menurutnya, mekanisme utang luar negeri sebenarnya telah diatur Pemerintah Pusat. “Utang luar negeri itu disetujui sesui rasio kemampuan daerah dan pendapatan daerah yang didapatkan tahunan,” katanya.

“Jika melihat dari Surat Keputuusan Menteri Keuangan hanya memberikan sebesar 2,5 persen dari rasio pendapatan. Di atas rasio itu, tidak boleh dipinjamkan. Ini untuk menjaga daerah agar tidak dibebabni oleh utang luar negeri,” ujar doktor jebolan UGM ini.

Andaikan rencana pinjaman itu disetujui Pemerintah Pusat, lanjut dia, dikhawatirkan uang itu tidak mampu dikelola denga baik. Selain itu, pinjaman tersebut akan berdampak terhadap dana alokasi umum (DAU) ke Aceh. Selain itu, pemotongan DAU juga akan terjadi jika keterlambatan pembahasan APBA dan menungaknya pembayaran utang luar negeri.

Penolakan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh itu juga datang dari Kepala Ombudsman Aceh, Taqwaddin. Ia menilai, pinjaman tersebut merupakan kebijakan tidak tepat meskipun dilakukan melalui melalui persetujuan Menteri Keuangan. Hal ini, akunya, dikarenakan anggaran yang dimiliki Aceh masih cukup banyak dan mampu membiayai pembangunan rumah sakit tersebut.

Sementara itu, menurut Survey Manager Aceh Institute Rizkika Lhena Darwin, pada dasarnya Aceh punya kemampuan anggaran tanpa harus berutang. Caranya dengan mengevaluasi program atau kebijakan yang tidak tepat sasaran dan tidak mendesak.

“Selain itu, Aceh tiap akhir tahun anggaran selalu meninggalkan SILPA yang besar. Ini merupakan bentuk ketertinggalan Pemerintah Aceh dalam implementasi kebijakan,” katanya.

Padahal, tegas dia, dengan adanya evaluasi soal efisiensi anggaran maka tanpa utang luar negeri pun Aceh mampu membangun rumah sakit regional. “Ini yang harus disadari oleh Pemerintah Aceh,” tandas Rizkika Lhena, didampingi Publication Manager Aceh Institute, Danil Akbar.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait