Simbolisasi Yahudi terus menggerogoti sendi kehidupan masyarakat Aceh. Persoalan itu kembali memicu ketegangan di UIN Ar-Raniry.
Dor. Dor. Dor. Dor. Empat letusan sejanta api terdengar dari kerumunan di halaman Auditorium Ali Hasyimi di sela-sela memperingati ulang tahun Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry ke-53.
Suara tembakan peringatan polisi itu terdengar saat aksi dorong-menorong antara seratusan mahasiswa beralmamater biru dengan petugas Satpam UIN Ar-Raniry. “Jika terjadi aksi kriminal di kampus, kami tetap masuk,” seru Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol T Saladin.
Kericuhan tersebut disebabkan oleh demo mahasiswa ketika berlangsungnya acara Dies Natalis di dalam auditorium yang juga dihadiri Gubernur Aceh. Mahasiswa menuntut pihak kampus tuntaskan ragam persoalan di UIN Ar-Raniry semenjak dipimpin Rektor Farid Wajdi, terutama meminta pembatalan logo baru UIN Ar-Raniry yang dianggap menyerupai simbol Yahudi.
Forum Alumni Eksekutif Ar-Raniry menilai logo baru UIN Ar-Raniry hasil sayembara adalah bagian dari simbolisasi Yahudi di Negeri Serambi Mekkah. Logo tersebut mengandung unsur bintang david (segi enam) dan tidak mencerminkan unsur ke-Aceh-an.
“Kami menuntut batalkan logo tersebut agar tidak memunculkan kegaduhan publik secara meluas,” ujar Imam Juwaini, Ketua Forum Alumni Eksekutif Ar-Raniry Banda Aceh.
Logo baru Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry hasil sayembara memang menimbulkan pro-kontra. Pada Agustus hingga September 2016, UIN Ar-Raniry mengadakan sayembara desain logo UIN Ar-Raniry dengan mengangkat tema menjadi universitas yang unggul dalam pengembangan dan pengintegrasian ilmu keislaman, sains, teknologi dan seni.
Salah satu kriteria penilaian dalam sayembara tersebut, sebagaimana dilansir halaman resmi ar-raniry.ac.id, 14 Agustus 2016, desain logo harus mencakup “akademis yang agamis, bentuk, kearifan lokal, representatif, dan dapat diaplikasikan pada berbagai macam media” dan “karya yang dihasilkan tidak mengandung pornografi dan SARA, serta hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.”
Namun jika melihat hasil sayembara, logo baru UIN Ar-Raniry karya Fandy Diadline Widi Anugerah, jauh dari dua item dalam 9 kriteria penilaian oleh dewan juri. Setidaknya demikian disampaikan pengamat arsitektur seni perancangan dan desain interior dari Fakultas Teknik Unsyiah, Zulfikar Taqiuddin.
Menurutnya, logo pemenang itu memang tampil lebih modern dengan menggunakan konsep geometric-islamic pattern (pola keislaman) dan berwarna abu-abu kebiruan.
“Cuma yang jadi masalah logonya di dalam itu berbentuk bintang sekilas terlihat seperti Salib ya,” ujar Zulfikar Taqiuddin pada Pikiran Merdeka, Sabtu (22/10/16).
Dari segi estetika, sambung Sarjana Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu, logo karya Fandy bersifat massif. Tak ada kekutan dari segi filosofi, hanya unggul dari bentuknya. Menurutnya, pro-kontra terhadap bakal logo baru UIN Ar-Raniry itu karena tak semua orang bisa memahami maksud logo tersebut.
Fandy Diadline menjelaskan, logo karyanya memadukan konsep keislaman yang disimbolkan dengan bintang segi delapan dan sains dengan simbol garis simetris atom. “Saya memilih melakukan sedikit perubahan dalam desain atom,” sebutnya dalam filosofi berkas karya sayembara.
Alumni UIN Maulana Malik Ibrahim itu menambahkan, dia mengubah ilustrasi atom jauh lebih abstrak menghindari kesan klise, hingga menjadi garis-garis lurus simetris dan saling terhubung. Dia berimajinasi.
“Saya ingin membuat logo yang membuat mahasiswa dan penghuni kampusnya bangga untuk memakainya. Tidak hanya untuk formalitas almamater atau cover makalah belaka,” sambung warga Malang, Jawa Timur itu.
Namun menurut Zulfikar Taqiuddin, logo karya Fandy Diadline banyak lubang atau celah jika dilihat dari segi garis simetris di bagian tengahnya. Menurut para ahli, kata dia, banyak lubang pada satu logo itu tidak bagus. “Saya malah melihat simbol atom berupa garis simetris itu tidak mewakili sains dan malah membingungkan karena bentuknya abstrak.”
Secara simbol, kata dia, tidak harus ada Tugu Darussalam tapi setidaknya bisa menggambarkan filosofi Aceh lainnya seperti unsur kerjasama. Logo baru UIN karya Fandy Diadline tidak ada unsur ke-Aceh-an sama sekali. “Lubang-lubang di situ malah mencerminkan berpencar-pencar,” urainya.
Suatu logo menurut Zulfikar Taqiuddin secara tak langsung mempengaruhi karakteristik lembaga. UIN Ar-Raniry yang dulunya berstatus IAIN Ar-Raniry tak lagi dianggap Jantong Hate Rakyat Aceh.
Sebab filosofi sebelumnya, kata dia, Jantong Hatee masyarakat Aceh didapuk kepada IAIN Ar-Raniry sebagai lembaga ilmu pengetahuan islam dan Unsyiah untuk ilmu pengetahuan umum. Keduanya saling bersinergis. Kini tak ada lagi filosofi Jantong Hate di UIN Ar-Raniry dengan berubah status.
Rektor UIN Ar-Raniry Prof Farid Wajdi Ibrahim menimpali, bintang yang membingkai logo karya Fandy bukanlah bintang david atau bintang enam simbol Yahudi.
Menurutnya, desainer membuat bintang delapan yang merupakan simbol keislaman populer dan dipakai dimana-mana. Dia menegaskan, logo karya Fandy Diadline belumlah final. Pihak kampus kata dia sudah sepakat memodifikasinya.
Sementara di sisi lain, calon logo baru UIN yang kontroversi itu dinilai akibat perubahan status IAIN menjadi UIN. “Ketika menjadi UIN dengan sendirinya berdiri fakultas dan jurusan-jurusan sains. Artinya harus ada perubahan logo agar sesuai dengan visi UIN,” sebut Safaruddin SH, Direktur Eksekutif Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), kepada Pikiran Merdeka, Senin (17/10/2016).
Menurutnya wajar pihak rektorat UIN Ar-Raniry menghendaki perubahan logo yang mendasar agar sesuai dengan visi baru. Dinilainya, karya pemenang sayembara sudah menjawab pengintegrasian sains dan Islam.
“Dulu saya katakan IAIN harus tetap menjadi kampus kajian Islam dan dikembangkan hingga menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Sementara kajian-kajian umum biar dipelajari di Unsyiah saja. Jangan saling serobot. IAIN harus mewarnai Unsyiah dengan nilai-nilai Islam. Tapi saat itu, ide saya justru ditolak, bahkan banyak mendapat kecaman. Nah, inilah akibatnya,” ungkap Safaruddin.
Menurutnya dampak penghapusan IAIN di Darussalam lebih besar dibanding perubahan logo. “Logo itu kan casing, sementara nama lembaga IAIN itu adalah mesinnya. Terasa aneh, waktu diganti casing semua ribut, sementara ketika mesinnya dicopot semua diam membisu,” sebut Safaruddin.
Selasa (18/10/16) pagi, sekitar jam 10 lewat, Rektor UIN Ar-Raniry Farid Wajdi Ibrahim keluar sejenak dari acara Dies Natalis, menenangkan mahasiswa dan memberikan penjelasan terkait tuntutan mereka. Dia lantas kembali masuk ke gedung Auditorium Ali Hasjmy. Aksi demo itu kemudia berakhir setelah Kapolresta Banda Aceh bernegosiasi dengan para mahasiswa.[]dbs
Belum ada komentar